KOTOMONO.CO – Orang bilang, ketika seorang lelaki dan perempuan saling bersahabat cukup lama, kemudian mereka menikah, mereka akan hidup bahagia selamanya. Bener nggak sih? Rasa-rasanya kok nggak gitu–gitu amat.
Menurut saya, kalau anggapan itu benar, mestinya nggak perlu dong banyak buku kiat-kiat berumah tangga bahagia yang dipasang di rak-rak toko buku atau perpustakaan? Kalau itu benar, apa artinya video-video ceramah di youtube tentang bagaimana membangun rumah tangga yang sakinah dishare kemana-mana juga?
Dan faktanya, rumah tangga siapapun tak bisa mengelak dari berbagai problem. Selalu saja ada yang mampir ke rumah. Entah itu di ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, bahkan sampai ke kamar pribadi pula.
Seperti kisah yang dituturkan lewat film Teman Tapi Menikah, yang diadaptasi dari novel karya Ayudia Bing Slamet. Rupanya jalinan persahabatan yang lama dan dipuncaki dengan pernikahan pun tak menjamin hidup mereka jadi bahagia. Film ini terbagi ke dalam dua sekuel. Sekuel pertama ditayangkan pada tahun 2018, sedang sekuel kedua tayang pada tahun 2020.
Pada sekuel pertama, film ini mengisahkan hubungan sepasang kekasih, Dito dan Ayu. Sejak usia belia, tokoh Dito—yang diperankan Adipati Dolken—telah memiliki rasa kagum pada Ayu yang dimainkan Vanessa Priscilla. Keduanya bertemu pada saat sama-sama duduk di bangku SMP.
Dari perkenalan akhirnya mereka berteman. Begitu akrab dan sangat dekat. Sampai-sampai hubungan pertemanan itu terus berlanjut saat mereka duduk di bangku SMA. Sebagai anak putih abu-abu, tentu mereka sudah mulai mengenal yang namanya asmara.
Dito yang dikenal ganteng, gemar olahraga dan musik, plus ketua OSIS itu membuat banyak teman-teman perempuan satu almamaternya klepek–klepek. Situasi itu pula yang membuat Dito menjadi laki-laki yang mudah cari pacar. Bahkan, berkali-kali menjalin hubungan dengan teman perempuan yang berbeda-beda.
Alasan Dito melakukan itu sebenarnya bukan karena memanfaatkan kegantengannya, apalagi posisinya sebagai ketua OSIS. Ia lakukan itu justru demi Ayu, sahabat baiknya itu. Ia tak ingin kehilangan Ayu. Terutama, saat ia tahu kalau si Ayu berpacaran dengan kakak kelasnya, Darma.
Hubungan Ayu dengan Darma sungguh membuat Dito terbakar api cemburu. Karenanya, ia lampiaskan dengan cara itu. Ya, pura-puranya agar ia terlihat sebagai seorang cowok yang tegar di hadapan Ayu, meski sesungguhnya hatinya remuk redam.
Usut punya usut, perasaan serupa ternyata juga dialami Ayu. Keputusannya untuk menerima Darma pun sebenarnya sekadar untuk mengalihkan perhatiannya yang terlalu besar pada Dito. Ia sangat tidak bisa menerima jika Dito menjadi milik orang lain, walau itu adalah teman baiknya sendiri.
BACA JUGA: Penyebab Rusak Sebuah Hubungan, Bukan Orang Lain, Tetapi Diri Sendiri
Makanya, diam-diam keduanya saling memperhatikan satu sama lain. Mereka juga memiliki rasa yang sama. Kasihan kalau-kalau ada di antara mereka yang tersakiti. Tetapi, mereka sama-sama enggan menunjukkan rasa cemburu mereka satu sama lain.
Bertahun-tahun sudah mereka sama-sama memendam rasa cemburu itu. Sampai pada akhirnya keduanya dipisahkan oleh ruang yang berjarak. Dito kuliah di Bandung, Ayu di Jakarta.
Iya sih, jarak memang tidak bisa memutus tali persahabatan. Mereka masih saling bertukar kabar. Tapi, diam-diam mereka punya kisah yang serupa. Ada perasaan yang berharap singgah di hati mereka. Perasaan itu datang dari orang lain.
Merasa tak nyaman dengan perasaan orang lain itu, Dito rupanya merasa tak lagi sanggup berpura-pura. Ia memutuskan untuk menjauh dari perasaan orang lain yang teralamatkan padanya. Ia lantas menerjang kepura-puraannya, dan mengungkapkan isi hatinya di hadapan perempuan yang selama ini ia cintai.
Lalu, apa jawaban Ayu? Ayu tak begitu saja menerima, walau ia sebenarnya memiliki perasaan yang sama. Ayu malah merasakan kekecewaan mendalam atas sikap Dito yang selama ini tak jujur padanya. Dan, tambah kecewa lagi manakala Dito mengungkapkan perasaan itu justru di saat Ayu ingin melupakan dan membuang perasaannya pada Dito. Ayu takut jika perasaan itu justru akan menggoreskan luka pada hati mereka.
Sikap Ayu itu membuat Dito juga merasakan kekecewaan yang serupa. Ia merasa perjuangannya untuk menemui Ayu dan menumpahkan segala isi hatinya sia-sia belaka. Tetapi, ia juga menyesal karena telah melakukan kesalahan fatal dalam menjaga hubungan baik mereka.
Dengan menggenggam rasa kecewa dan penyesalan, Dito putuskan untuk kembali ke Bandung. Ia ingin sekali mencampakkan kisah lukanya itu. Merampungkan kuliah ia lakukan sebagai pelampiasan. Begitu pula dengan kerjaannya sebagai pemusik.
Sampai di sini tampak jelas, bahwa film ini ingin mengatakan, mustahil bagi sebuah jalinan persahabatan antara seorang lelaki dan perempuan itu tak memicu benih-benih asmara tumbuh. Walau begitu, persahabatan yang demikian berisiko melahirkan konflik batin pada keduanya. Sikap pura-pura yang ditunjukkan dalam film ini jelas-jelas memperlihatkan kecenderungan itu.
Namun, agaknya film ini memilih untuk tidak membuat penontonnya kecewa. Pada sekuel ini, film diakhiri dengan adegan romantis. Oleh film ini, hubungan asmara mereka diarahkan pada jenjang pelaminan, bukan menolaknya dengan cara berpura-pura.
Sekuel kedua yang ditayangkan pada tahun 2020 dimulai dari babak pernikahan. Dua sejoli, Dito dan Ayu (yang akhirnya digantiperankan oleh Mawar Eva de Jongh) dipersatukan di bawah satu atap. Mereka menjalani perannya sebagai pasangan suami-istri muda.
BACA JUGA: Kota Pekalongan dalam Empat Puisi Pendek Karya Ibnu Novel Hafidz
Babak ini mulai memperlihatkan watak asli masing-masing tokoh. Ayu masih mendambakan dirinya menikmati betul masa-masa berdua bersama Dito. Maklum, selama bertahun-tahun asmara mereka tumbuh dan gugur berkali-kali karena sama-sama menekan perasaan mereka masing-masing. Mereka tak pernah merasakan bagaimana rasanya pacaran.
Wajar, jika Ayu ingin mengalami masa-masa pacaran itu. Ia ingin sekali mengajak Dito plesiran. Hanya berdua. Mereka pun memancang rencana-rencana.
Sayang, rencana tinggallah rencana. Kenyataan selalu punya jawaban yang berbeda. Bayangan mereka tentang piknik berduaan itu memudar seketika, manakala mereka dikejutkan dengan kehamilan Ayu. Mereka sama sekali belum siap menerima kehamilan itu, shock!
Malahan, Ayu sempat depresi. Ia dihantui oleh bayangannya sendiri kalau-kalau ia jadi seorang ibu dengan segala kerepotannya. Sementara Dito merasa masih belum cukup mampu menanggung beban sebagai seorang ayah.
Keadaan itu membuat situasi di dalam rumah mereka tak pernah sepi dari suara-suara yang memekakkan telinga. Tak jarang pula mereka saling bertolak punggung. Hanya karena kecemasan atas ketidaksiapan mereka menjadi orangtua.
Tetapi, takdir tak bisa ditolak. Kenyataan itu terpaksa mereka terima. Di saat itulah keduanya mulai dibingungkan oleh pilihan-pilihan. Karir Dito yang menanjak dengan sekian jadwal padat manggungnya, mesti dihadapkan pada sifat Ayu yang terus-menerus manja emoh ditinggal. Beruntungnya, mereka akhirnya dipertemukan dengan orang-orang yang memberi nasihat arif tentang hubungan berumah tangga. Mulailah mereka belajar mendewasa, meski awalnya terpaksa.
BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?
Pada bagian ini, saya rada tergugah pada nasihat teman Dito, “Kalau tangan pegel dipijit apa dipotong? Dipijitkan. Nah seperti itu menghadapi Ayu”. Sekalipun nasihat itu disampaikan dengan gaya enteng-entengan, tetapi cukup dalem juga. Cukup menusuk bagi orang-orang yang memilih membela mati-matian egonya ketimbang menjaga hubungan rumah tangga tetap utuh. Apalagi, bagi mereka yang justru melarikan diri dari tanggung jawab sebagai suami dengan berburu orang ketiga.
Berangsur keduanya mulai meletakkan egonya. Mereka menjadi lebih bisa saling menerima keadaan. Hanya, di saat ego itu mulai menurun tensinya, eh muncul lagi ketegangan baru. Ayu sangat ketakutan jika harus melahirkan secara sesar. Ayu sangat ingin melahirkan dengan cara normal.
Dito berusaha setenang mungkin menghadapi ketakutan Ayu. Dan, di antara ketakutan itu, Dito mampu memanfaatkan celah. Ia mengajak Ayu untuk mencarikan nama yang baik untuk anaknya.
Cerita berlanjut, melahirkan, dan (mungkin) keduanya hidup bahagia. Semoga saja.
Dari sekuel kedua ini, tampak bahwa sedekat apapun hubungan persahabatan atau pacaran, belum akan bisa diketahui tabiat asli masing-masing. Sepasang kekasih, apabila memasuki jenjang pernikahan, baru akan mengerti watak asli masing-masing.
BACA JUGA: Review Film Losmen Bu Broto
Tak heran juga sih kalau ada orang belum mau menikah karena belum siap. Mengapa belum siap? Barangkali aja belum siap kalau belangnya ketahuan sama pasangan. Atau, belum siap karena belum sanggup mengubah sikap dan perilakunya. Atau juga, belum siap karena belum sanggup direpoti dengan seabrek masalah yang datang kemudian.
Yang jelas, menikah bukan sesuatu yang main-main. Makanya, yang lebih perlu disiapkan adalah kesanggupan kita menerima keadaan masing-masing apa adanya. Sekalipun berat, tak boleh menyerah. Karena sesungguhnya, kebahagiaan itu bukan sekadar bagaimana kita mampu membangun rumah beserta kelengkapan dan kemewahannya. Akan tetapi, bahagia itu karena kita bisa saling menerima satu sama lain.
Sebuah pesan yang sangat cerdas dimainkan oleh film peraih Piala Maya (2019) untuk kategori penyunting gambar terbaik dan berhasil menggondol predikat pemeran pasangan terfavorit pada ajang Indonesian Movie Actors Award (2019).