“Untuk ode komandan, sebagai bapak, guru kehidupan, sahabat, sekaligus
abang bagi kader-kadernya. Tabik!
Jika kau datang kemari, ke tempat di mana aku beserta puluhan pemuda dilahirkan kembali menjadi manusia. Kau bakal berjumpa dengan lelaki bertubuh tegap, berjengot dan berambut cepak beruban. Orang mengenalnya sebagai seorang yang berwibawa. Tak jarang pula orang membencinya, karena ia terlalu sombong, aku mendengarnya dari orang. Kataku lain pula.
Semenjak kecil, ia sudah dieja oleh kawan-kawannya sebagai seorang pemberang, keras kepala serta teguh pendirian. Biar seperti itu, segala yang diucapkan selalu mewarnai hidup kawannya. Jika dulu ia pandai mewarnai teman seperjuangan, sekarang ia mempunyai ladang yang setiap tahun memanen tiga ratusan anak muda yang telah ia warnai cara pandang hidupnya. Lebih dari itu, ada puluhan pemuda yang selama tiga tahun lebih pula setia menemani hidup lelaki tua di masjid megah itu.
Masjid megah yang berdiri tepat di sebelah sekolah yang pernah menjadi ikhtiarnya untuk dijadikan ladang berdakwah. Ya, di sekolah itu dulunya berdiri sebuah Surau Seng. Surau yang seluruh kerangka tubuhnya berdiri dari seng, beralaskan adonan semen, terselimuti tikar kain yang siap memberi kehangatan bagi puluhan pemuda di malam hari. Benar sekali, jika kau kemari beberapa tahun lalu, kau akan melihat kesahajaan hidup lelaki tua bersama kader-kadernya itu.
Lelaki tua itu hanyalah pendatang di kotaku, sejak ia membulatkan tekat untuk mendirikan sekolah, ketika ia memiliki kader, sejak itu pula semua orang, tua-muda, besar-kecil memanggilnya komandan.
“Kenapa wajah kalian lesu!” Tanya lelaki tua itu, bergetar karena marah melihat gambaran wajah putus asa.
“Tidak mengapa, Ndan,” sahut si Sugek dengan nada parau.
“Kalian sudah makan malam?”
“Belum…”
“Semua, kumpul di Surau Seng.”
Si lelaki tua “Komandan” jarang sekali pulang ke rumah, hanya untuk tidur sekalipun. Sering ia mengajak istrinya ketika malam. Menemani kader-kader dari suaminya meramaikan surau yang luasnya tak seberapa itu. Kali ini, ia menemani Komandan bermalam di surau seng.
“Glomprang!” Telapak tangan lelaki tua memerah.
Di luar surau bintang kejora berkedipan. Langit begitu bersih, dengan satu cahaya kuning bolam begitu ranum dan bulat. Malam yang menegangkan bagi segrombolan pemuda di dalam surau. Dari luar, Tuhan sekan-akan ingin memberi tahu mereka soal kehidupan, tentang pijar bulan penuh keberanian memberikan terang di tengah malam meski sendirian. Soal bintang-bintang kejora yang berkedipan. Meski bakal padam dihalau mega mendung. Bakal muncul pula di kala terang. Ya, soal keberanian.
“Di surau ini bukan tempatnya pengecut. Jika kalian merasakan lapar, dan dengan rasa itu pula semangat kalian hilang. Berarti sekarang saya berhadapan dengan orang-orang gagal!” Gertaknya disambut suasana hening.
“Semua keluar, kita pergi ke warung megono,” lanjutnya dengan nada lebih halus.
Berjalan lurus sejauh lima ratus meter menunggangi kuda besi payah, tepat di perempatan, belok kiri maju ke depan lima puluh meter. Di situlah mereka selalu berkunjung malam hari. Nasi megono dengan sambal dan tempe mendoan, adalah pengantar mereka untuk menjemput mimpinya di kala tidur.
“Bukankah uang Komandan tidak banyak,” tanya Sugek pada temannya.
“Ini kan ajak Komandan, berarti ia sedang ada uang.”
“Hus, makan saja. tak usah banyak omong,” saut Ari nimbrung.
Hampir setiap malam berakhir di warung megono, di tempat yang sama pula mereka makan. Sesekali si lelaki tua itu menolaknya, bukan karena tidak mau. Tapi karena perekonomian sedang tidak beres. Jika datang masa itu, mereka bakal menjamak waktu makan hingga pagi hari, dengan makan seadanya dan bersahaja tentunya. Tak terbaca lagi air muka lesu karena lapar, mereka benar-benar kapok dan terdidik. Maksudku, mereka benar-benar melakukan apa yang dikatakan gurunya.
Dari sebuah kontrakan reot, tiga bulan lagi bakal habis masa sewanya. Timbul kegelisahan dari sepasang suami istri. Lelaki tua tak mengira masa itu bakal menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya.
“Apa kita harus tetap bertahan di sini, Bu?” ajaknya berunding dengan kekasih hidupnya.
“Soal anak-anak di Surau Seng, bangaimana, Yah?” Lanjutnya, “Sekolah juga harus kita pikirkan.”
“Di desa, Ayah punya lahan untuk bertani.”
“Kita pindah ke sana?” Kali ini terdengar sedikit memprotes.
“Tidak ada pilihan lain, Bu.”
“Soal sekolah, suaru dan kader-kaderku. Itu menjadi urusanku,” Lanjutnya.
Hari itu tidak seperti biasanya. Haji Abdul, Haji Saleh serta Ustad Manhat bertandang kerumah lelaki tua itu. Duduk di kursi dari anyaman bambu, lelaki yang lebih tua dari Komandan mengetarkan hatinya.
“Siapa yang kekeh mendirikan STM?” Pertanyaan itu muncul dari Haji Abdul.
“Sejak Awal, saya tidak sepakat dengan sekolah itu,” sambung Ustad Manhat.
“STM hanya bakal menghasilkan anak-anak bergajulan,” suara Haji Saleh sedikit diangkat.
“Benar kau akan pindah?” tangan Haji saleh meraih lutut lelaki dihadapanya yang merasa terhakimi.
“Bukan saja kau akan menjadi pengecut, kau bakal menjadi penghianat atas apa yang telah kau perjuangkan selama ini. STM berdiri karena kau berhasil meyakinkan kami. Lantas setelah berjalan kau bakal meninggalkannya? Benar-benar seorang penghianat.” Tangan Haji Abdul mencengkram erat pundak lelaki tua itu.
Di hadapanku, lelaki tua itu melanjutkan ceritanya.
“Setiap kali bibirku ingin menjawabnya, ia hanya mampu bergetar. Sedangkan peluh mercucuran melewati sela-sela mataku.” Di bawah pohon palem, aku benar-benar melihat matanya bekaca-kaca.
“Selama ini ada yang salah darimu, seharusnya yang kau pikirkan adalah umat. Bukan dirimu sendiri, pantas saja Tuhan tak memikirkan atau mengurusmu. Pantas pula perekonomianmu hancur. Perbaikilah, dan jangan jadi penghianat.”
“Pesan itu yang hanya dapatku ingat dari almarhun Haji abdul,” lanjutnya.
Aku pandangi benar-benar bentuk wajahnya yang tak semuda ketika kejadian itu. Ya. Sekarang Suaru Seng sudah dirobohkan, berdirilah masjid megah dihadapkanku. Berkat sikap pemberangnya, keras kepalanya dan teguh pendiriannya akan tidak meninggalkan apa yang sudah ia bangun dan terus mempertahnkannya. Di sini, aku melihat pesan dari hatinya “Aku Titipkan Muhammadiyah Kepadamu.” Tabik