KOTOMONO.CO – Noktah wilayah itu bernama Landungsari. Sebuah nama perdukuhan masa silam. Muasalnya, dinisbahkan dari asma tokoh manikam lokal. Awal sejarah Landungsari tak luput dari nama seorang wali bernama Kyai Landung atau biasa disebut Mbah Landung. Yaitu seorang penghuni pusara bernisan delapan. Dia adalah Mbah Landung.
Siapakah sebenarnya Mbah Landung ?
Pada akhir abad ke-17, terdapatlah seorang kyai perantau dari daerah Demak yang bernama Ki Jajarsari bin Hasan bin Malik yang sedang melakukan perjalanan ke arah barat yang masih berupa hutan belantara.
Mbah Landung sendiri diperkirakan hidup pada abad 16 hingga abad 17. Atau pada tahun 1600 sampai 1700an. Beliau berasal dari wilayah Semarang bagian timur, atau yang saat ini disebut wilayah Kota Demak.

Singgah di daerah yang masih dipenuhi pepohonan, disitulah beliau membabat alas (membuka hutan), membuat gubuk sebagai tempat peristirahatannya, bercocok tanam, dan menata lingkungannya hingga menjadi asri, kini pemukiman tersebut dikenal dengan nama Landungsari.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Dekoro Kota Pekalongan
Beliau pulalah yang mengajarkan kepada masyarakat untuk bercocok tanam secara berjajar rapi hingga hasilnya dirasakan lebih baik dari pola tanam yang asal tebar. Pola tanam berjajar tersebut membuatnya dikenal dengan nama Jajarsari.
Adapun sosok Mbah Landung menurut penuturan warga sekitar dan tokoh masyarakat lainnya yang sering ditemui secara gaib, diketemukanlah cerita yang senada, yaitu Mbah Landung merupakan seorang Jawa dengan tinggi sedang, berpakaian khas Jawa (seringnya wulung ), dan memakai ikat berwarna wulung.
Warna wulung ini adalah sebutan untuk menyebut warna gelap antara biru, hijau dan ungu yang mengarah mendekati hitam. Menurut penuturan mbah Azam (alm) pemilik tanah lingkungan Mbah Landung, bahwa Mbah Landung seorang kyai mumpuni, keturunan wali yang memiliki wilayah dari Gringsing sampai Petarukan Pemalang, sering memberikan wangsit kepada orang yang dikehendakinya.
Beliau berikat wulung dan sering berbusana adat Jawa. Cerita tersebut diperkuat oleh penuturan sesepuh warga bernama Mbah Warmat yang lahir tahun 1942, warga Landungsari Rt 03 Rw 01, yang sering ditemui Mbah Landung secara gaib maupun di alam mimpi.
Gambaran Mbah Landung sama yaitu khas ikat wulung bercorak maupun polos berwarna hitam yang tak pernah ketinggalan. Dari pertemuan secara gaib itulah sesepuh Warmat diwariskan tiga barang peninggalan Mbah Landung yang berupa ikat dari kain, Al Quran Istanbul yang berukuran supermini, dan sebuah batu akik berwarna perak. Barang-barang tersebut dapat disaksikan hingga sekarang, meskipun terkadang salah satu barang tersebut sering hilang dan kembali dengan sendirinya.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Poncol Kota Pekalongan
Ki Jajarsari/Mbah Landung yang berilmu tinggi mempunyai nama sandang Ki Ageng Nugroho. Jejak yang dapat disaksikan hingga sekarang di Landungsari adalah sebuah kompleks pemakaman/petilasan yang berada di gang 1 C Landungsari (letaknya di dalam kompleks rumah warga).
Di komplek tersebut ada empat pasang batu nisan yang berjajar. Ada dua versi yang beredar mengenai isi makam tersebut. Dari arah timur, makam pertama berisi pusaka (gaman), makam kedua adalah tempat Petilasan Mbah Landung, makam ketiga berisi kitab-kitab, dan makam keempat atau makam paling barat berisi pakaian/ageman beliau. Hal inilah yang dituturkan oleh seorang sesepuh warga Mbah Warmat yang mengaku titisan Kaki Cengis.
Menurut penuturan Mbah Warmat, jasad Mbah Landung / Ki Jajarsari bin Hasan bin Malik sebenarnya dimakamkan di Demak. Sedangkan makam nomor dua dari timur tersebut adalah petilasan. Namun ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa dari arah timur yaitu makam istri Mbah Landung, makam kedua adalah makam jasad Mbah Landung, dan yang ketiga dan keempat adalah makam pengikutnya.
Peristiwa Menarik Makam Mbah Landung
Ada kisah menarik yang muncul dari Makam Mbah Landung ini. Peristiwa pembunuhan masal yang dilakukan pasukan Jepang di depan gedung Kompetai tanggal 3 Oktober 1945 menjadikan warga kota Pekalongan kalang kabut, berlarian meninggalkan kota ke arah selatan.
Selang beberapa hari mereka kembali menyaksikan gemuruh suara tank-tank Jepang menuju arah Semarang. Kendaraan-kendaraan tersebut berhenti di tugu perbatasan Pekalongan-Batang, tepatnya di wilayah Cerme (sebelah barat Kalibanger sampai tikungan Posis).
Dentuman tank-tank pasukan Jepang meluluhlantakkan pepohonan wilayah utara jalan. Beberapa kali moncong kendaraan itu di arahkan ke selatan namun tidak terjadi apa-apa, padahal di wilayah selatan terdapat beberapa rumah penduduk yang dipadati oleh para pengungsi.
Dari peristiwa tersebut muncul rumor atas keramatnya Kyai Landung menyelamatkan wilayahnya dari gempuran tank pasukan Jepang, karena di situlah terdapat makam Mbah Landung.
Cerita di atas merupakan salah satu pengalaman sejarah yang dituturkan beberapa warga sekitar makam yang hidup semasa itu dan diwariskan turun temurun kepada anak cucunya. Masih terdapat beberapa cerita lain dari sumber-sumber yang berbeda namun relevan mengenai keramatnya wilayah Landungsari, terutama kawasan sekitar makam Mbah Landung yang dulu terkenal angker.
Lingkungan makam dahulu dikelilingi tambak ikan yang airnya tak pernah kering walau musim kemarau. Namun di akhir tahun 1970, lingkungan telah berubah. Sebelah utara kini telah berdiri bangunan toko-toko sehingga tidak nampak lagi dari jalan raya, kanan kirinya telah berdiri bangunan-bangunan, hingga apabila peziarah ingin menuju komplek makam, maka harus melewati lorong kecil.
Kini kompleks pemakaman tersebut hanya tersisa tanah 15m x 10m dengan bangunan 4m x 8m dengan empat makam yang sudah dipaving. Konon menurut penuturan warga sekitar komplek makam, yang membuat tempat itu angker dan keramat adalah berbagai pengalaman gaib yang sering terjadi. Sebelum makam tersebut dipugar pada masa lurah Saminto, masih sering terjadi hal-hal gaib.
Dikatakan oleh mbah Azam yang merupakan pensiunan baret hijau Siliwangi tersebut bahwa sekitar tahun 1965-1971 seorang Pastur ahli pengobatan dari Solo, setiap melewati Pekalongan sering bermalam di makam mbah Landung, padahal waktu itu menurut kesaksian warga kondiisi makam kurang terurus.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Keputran Kota Pekalongan
Bangunan makam terdiri bari batu merah setinggi 1 meter dan pagar bambu setinggi 1 ½ meter, semi terbuka dan beratap genteng, dengan kondisi lantai yang rusak berukuran 4 x 6 m, sementara disebelah utara dan selatan makam terdapat tambak yang tak pernah kering walau dimusim kemarau.
Sebelah timur berupa semak belukar, hanya ada jalan setapak menuju makam dan disebelah barat 5m dari makam terdapat tembok tua, pagar rumah warga keturunan Tiong Hoa.
Meski kondisinya demikian sang pastur sering menziarahi makam tesebut. Warga lingkungan menuturkan bahwa Mbah Landung memiliki pusaka tongkat.
Tongkat tersebut sering menampakkan diri dan berjalan. Bahkan ada beberapa warga tahun 1970-an yang sering menyaksikan. Selain itu, sebelum kompleks pemakaman tersebut diberi atap, burung yang terbang di atasnya akan terjatuh.
Riwayat lainnya mengatakan bahwa wilayahnya dijaga oleh ular buntung. Kalau ada orang yang mengganggu makamnya, ular tersebut menampakkan diri. Muncul pula beberapa pantangan yang dianut oleh warga pada saat itu.
Baca juga : Sejarah Terbentuknya Kota Pekalongan
Diantaranya adalah warga Landungsari dilarang mengadakan pertunjukan wayang. Tatkala ada beberapa orang yang melanggarnya maka orang tersebut mendapat celaka.
Sumber : Naela Khikmiah, Slamet Riyadi, Sumali Sudarja, Ust. Isnaini – Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan.