KOTOMONO.CO – Dalam hidup, kita kerap kali mengalami kejadian yang direncanakan dan yang tak direncanakan. Bagaimana jika kita mengalami kejadian kedua, tak direncanakan? Apakah kita bisa menolak dan mengabaikannya? Rasanya tidak mungkin sebagai manusia. Rasa lapar dan haus terus menggelayuti. Meski di dalam perut telah terasa kenyang. Manusia mengenal rasa tak berbatas. Rasa yang harus terus dikejar, selama masih mampu dikejar. Apa perasaan itu juga yang dialami Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro?
Bilamana, misalnya kita menemukan jam tangan di jalan. Sementara, kita tak menemukan siapa-siapa untuk mencurahkan pertanyaan. Kita akan membawanya terlebih dahulu. “Barangkali, besok ada yang mencari dan menghubungi,” itulah yang terpikir dalam benak kita.
Lantas, bila kita ujug-ujug diberi kuasa. Tentu tak bisa menolak juga dong, ini semacam berkah yang memang diberikan Gusti pada hamba-Nya yang telah berjibaku selama bertahun-tahun menantikan hari itu tiba.
Menuju Keberuntungan
Saat Senin, 24 Februari 2014, Lana Soelistianingsih, masih menjadi Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen dihubungi laman Tempo.co. Ia yang juga Istri dari Ari Kuncoro yang kala itu masih menjabat Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI).
Lana dalam wawancara dengan Tempo itu, menganalisis bila Joko Widodo yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta bisa memenangi pemilu presiden, maka nilai tukar (kurs) rupiah akan menguat signifikan. Bahkan Lana memperkirakan penguatan bisa sangat tajam hingga Rp 10 ribu per dolar Amerika Serikat. Musababnya, Jokowi diprediksi bisa menghadirkan kestabilan politik. Itu juga yang memengaruhi kestabilan ekonomi yang banyak investor inginkan.
Dengan judul dan tanggal penayangan berbeda, laman Tempo kebetulan lagi demen dengan menghadirkan narasumber Lana. Itu juga yang tampaknya meyakinkan Partai berlambang moncong banteng, mantap mengusung putra asli Solo itu. Ada harapan yang tersemat dari masyarakat, salah satunya Ekonom yang berpengalaman selama 10 tahun lebih seperti Lana.
Benarlah, Jokowi menjadi Presiden. Bahkan telah memasuki periode kedua kali ini. Namun, prediksi mengenai kurs Rupiah tak pernah benar-benar terjadi. Bahkan, untuk mencapai target Rp 12 ribu di akhir periode pertama tak tercapai. Dalam catatan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada hari pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014 kurs Rupiah berada di posisi 12.041 per dolar AS. Sementara menjelang 4 tahun kepemimpinan pakde, Rupiah mengalami fluktuasi sempat berada di posisi 13.542 per dolar AS pada 2 Januari 2018 ke posisi 15. 221 per dolar AS pada 19 Oktober 2018.
Kebetulan Pertama
Tak seberapa lama, dari pelantikan Jokowi periode kedua. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengalami kekosongan seusai masa bakti Fauzi Ichsan, sejak 2015 sebagai Kepala Eksekutif LPS berakhir pada 31 Desember 2019.
BACA JUGA: Siasat Licik Youtube dan Skinny24 Indonesia yang Undur Diri
Sesuai amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 65 ayat 2, kepala eksekutif LPS diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden. Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan mengusulkan dua nama, yakni Direktur Utama PT Danareksa, Arief Budiman, dan Direktur Strategi dan Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat.
Usulan mengenai keduanya ditolak oleh Presiden. Lantas, Menkeu mesti mengirimkan kembali usulan nama baru, berdasarkan UULPS paling lambat 14 hari sejak penolakan. Usulan berikutnya, berisi nama lawas Budi Hikmat dan Lana Soelistianingsih, yang telah menjadi Direktur sekaligus Kepala Riset dan Ekonomi di Samuel Aset Manajemen selama 7 tahun terakhir. Barangkali ini kebetulan pertama yang dialami Lana, dari usulan itu. Ia lah yang akhirnya terpilih sebagai Kepala Eksekutif LPS yang bertugas menyelesaikan persoalan bank bermasalah. Pelantikannya terbubuh dalam sejarah, pada 20 Februari 2020 silam.
Kebetulan Kedua
Pada hari pelantikan Lana, BNI tempat Ari Kuncoro menjadi Komisaris Utama sejak 2017 mengumumkan telah berpisah. Sebab dua hari sebelumnya, Kementerian BUMN telah menunjuk Ari Kuncoro menjadi Wakil Komisaris Utama/Independen dari BRI yang merupakan salah satu perbankan perusahaan plat merah.
Itu artinya, kebetulan kedua menghampiri Ari yang sudah dilantik sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) dalam kurun waktu 5 bulan. Sebelumnya Ari Kuncoro, telah mencicipi jabatan di perusahaan plat merah lainnya, BNI sebagai Komisaris Utama pada 2017–2020. Kini memperoleh jabatan di luar sivitas akademika sebagai orang yang memberikan nasihat terkait kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan.
Terlepas dari gonjang-ganjing yang meliputi atas keterpilihannya sebagai Wakil Komut. Ari tetap menatap kedepan. Meski ia dituduh telah melakukan rangkap jabatan. Kebetulan ada yang membela, sebagaimana dijelaskan Arya Sinulingga, Stafsus Kementerian BUMN yang menyebutkan tidak ada dalam aturan BUMN mengenai batasan orang yang menjabat komisaris, apalagi Arya juga ditunjuk menjadi komisaris di 2 BUMN.
Hal itu diperkuat oleh pernyataan Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Riza yang sudah memafhumi pejabat rangkap jabatan. Apalagi, bila melihat sejumlah menteri yang juga merangkap jabatan dalam partai politiknya. Jadi, sudah lumrah. “Ndakpapa, wong yang penting kompetensi yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan,” ujar Faisol.
Kebetulan Ketiga
Apapun yang diperoleh ketiga kalinya, biasanya mendapat hadiah gelas atau piring. Itu bagi rakyat biasa. Namun, bagi orang terhormat sekelas Ari Kuncoro memperoleh hal spesial lainnya. Terasa seperti amnesti, ujar Said Didu. Namun, ini lebih menyenangkan apalagi langsung dari Presiden melalui Menkumham karena berupa kelonggaran peraturan. Setelah selama lebih dari satu tahun seperti berada dalam pusaran kontroversial. Kini menemui ujung yang jelas: tak lagi melanggar aturan dalam Statuta UI.
Peraturan Pemerintah yang baru diteken pada 2 Juli 2021, disebutkan Saleh Husin, Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) sudah digodok semenjak akhir 2019. Itu artinya seusai Ari menjabat Rektor Universitas Indonesia (UI) pada 25 September 2019. Memang lama, pemerintah harus menunggu kemarahan orang banyak dulu. Kalau sekarang, mah jadi lebih lega mau di mana pun dapat tawaran ya pak. Bahkan, di jabatan non-struktural sekalipun di institusi lain.
Menariknya, dalam Statuta UI yang telah direvisi ini juga ada tambahan pada ayat 4 pasal 41 menampilkan wajah gahar Rektor UI yang memiliki wewenang memberikan atau mencabut gelar kehormatan, gelar akademik dan penghargaan akademik seseorang berdasarkan pertimbangan Senat Akademik (SA).
BACA JUGA: Susu Beruang dan Hal-hal yang Belum Selesai di Masyarakat
Selain itu, ada ayat 5 pasal 41 menyatakan bahwa rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.
Reaksi sejumlah Dosen dan pegawai UI pun bisa dipastikan kincep mengetahui aturan yang begitu menggoyahkan dapur untuk terus kemebul, bilamana mereka berseberangan dengan pimpinan. Tak ada pilihan lain, kecuali diam dan sembari berharap memastikan kelak bisa berada di posisi yang lebih tinggi dibanding sekarang. Sejumlah prinsip realistis yang mengemuka tersodor, “Lebih mengedepankan result ketimbang progres.”
Diam bukan berarti menjadi badut. Dalam hati mengutuk dan mengomel-omel bila disaksikan. Twitter secara berkala menghadirkan sedikit umpatan tersembunyi, sambil menyangsikan untuk tertawa. Sebab tahu sama tahu, kondisi sedang serba sulit. Sungguh ironi Negeri Wakanda ini.