KOTOMONO.CO – Pekan awal bulan Januari 2021, stasiun televisi lokal yang ajib itu menayangkan sebuah berita tentang Silverman. Siapa itu? Yang jelas, Silverman tentu bukan Spiderman. Bukan pula Iron Man. Juga nggak sama dengan Superman.
Tapi Silverman barangkali kelak akan jadi super hero. Siapa tahu? Nasib orang tidak ada yang bisa memprediksi, ya kan?
Sementara waktu, mereka masih harus menarik napas panjang. Berjuang mati-matian demi mempertahankan hidup, menjadi penghibur jalanan yang menurut saya sih nggak cukup menghibur juga. Sebab, tak ada yang dilakukannya selain membaluri sekujur tubuhnya dengan cat warna keperakan. Lalu, menyodorkan kotak kardus kepada pengguna jalan yang tengah berhenti di lampu merah.
Ada yang menceburkan uang recehan ke kotak kardus itu. Ada pula yang angkat tangan. Juga ada yang pura-pura tak melihat. Respon macam itu sah-sah saja. Hidup di jalanan memang harus berhadapan dengan kenyataan yang sukar dimengerti, sebagaimana keberadaan Silverman ini.
Dari mana asal mereka? Kapan mereka ada? Sepertinya tiba-tiba saja muncul di jalanan. Namun, jika ditarik mundur, fenomena Silverman sudah pernah muncul di tahun 2013. Tepatnya, di Bandung.
BACA JUGA: Betapa Dongkolnya Saya Ketika Lewat Jalan Mas Mansyur dan Gatot Subroto
Kala itu, kehadiran manusia perak (Silverman) cukup menyedot perhatian warga Bandung. Apalagi, usaha pengemisan yang dilakukan itu punya misi mulia. Yaitu, menghimpun dana bagi anak yatim. So, siapa yang nggak akan tersentuh kalau udah gitu?
Cuma ya, lagi-lagi, ada juga warga yang menyangsikan. Apakah duit yang mereka pungut dari pengguna jalan itu beneran disalurin ke anak yatim atau untuk kebutuhan mereka pribadi. Kalau memang tersalur ke anak-anak yatim, syukurlah. Tapi kalau untuk kebutuhan mereka sehari-hari, rasa-rasanya berat untuk merelakan sekeping recehan.
Itu di Bandung. Tahun 2013. Pekalongan?
Fenomena Silverman sepertinya ditanggapi serius oleh Pemerintah Kota Pekalongan. Lewat Kasi Penegakan Perundang-undangan pada Satpol PP, Silverman disejajarkan dengan PGOT (Pengemis Gelandangan dan Orang Telantar). Itu disampaikannya di stasiun tv lokal beberapa waktu lalu. Katanya, “Sesuai aturan semua orang yang meminta-minta dengan cara dan alasan apapun termasuk Silverman, pengamen, dan anak-anak pembawa kotak amal di jalanan adalah melanggar sehingga harus ditertibkan.”
Menurut Pak Kasi, mereka (Silverman) telah melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketertiban Umum. Alasan itulah yang membuat pihaknya merasa perlu menertibkan mereka. Ya, itu memang sudah tugas mereka.
Tak pelak, operasi penertiban pun digencarkan. Silverman menjadi salah satu yang kena razia. Meski begitu, operasi penertiban umum ini tetap mendahulukan asas kemanusiaan dan dilakukan dengan pendekatan yang humanis, aku Pak Kasi dalam tayangan berita berdurasi dua menitan itu.
Tentu, apa yang dilakukan pihak Satpol PP sudah benar. Sesuai dengan tupoksinya, sebagai penegak peraturan dan perundang-undangan. Setiap pelanggaran aturan memang kudu ditindak. Fix! Sepakat!
Akan tetapi, urusan Silverman yang dinyatakan sebagai bagian lain dari PGOT, bukan urusan sepele. Fenomena Silverman—juga genre PGOT lainnya—perlu dipandang dari sudut lain. Terutama, kaitannya dengan kesempatan kerja.
BACA JUGA: Kota Pekalongan Cocok Jadi Kota Wisata, Nggak Punya SDA Nggak Masalah kok!
Saya yakin, di dunia ini mana ada orang yang mau menganggur. Kalau ada, itu kebangeten! Setiap orang pastinya ingin memiliki pekerjaan yang jelas sebagai ikhtiar untuk mempertahankan hidup, mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan mewujudkan harapan masa depannya.
Data BPS Kota Pekalongan menyebutkan, tahun 2019, jumlah penduduk usia angkatan kerja ada 168.344 jiwa. Dari jumlah itu, 158.635 (94%) bekerja dan 9.709 (6%) masih menganggur. Jumlah pengangguran itu masih didominasi oleh laki-laki, yakni sebanyak 5.747. Sedang 3.962 orang perempuan menganggur. Untuk data terbaru tahun 2020 belum keluar.
Dilihat dari usia, jumlah pengangguran terbuka di Kota Pekalongan justru didominasi oleh anak muda dengan rentang usia 20-24 tahun, sebanyak 1.462. Padahal, secara keseluruhan, populasi mereka tergolong paling banyak, yaitu 14.761 jiwa. Posisi kedua, diduduki oleh mereka yang berusia antara 30-34 tahun, dengan jumlah penganggur 1.176. Sedang jumlah keseluruhan angkatan usia ini sebanyak 11.223 jiwa.
Angka 6% tentu nggak bisa diremehin. Apalagi di dalam 6% ini jumlah penganggur terbesar adalah mereka yang merupakan anak-anak muda yang punya banyak potensi. Ide-ide mereka masih segar. Kreativitas mereka masih tinggi-tingginya. Tetapi, apabila kreativitas itu tak tersalurkan dengan baik, maka bukan tidak mungkin keberadaan anak muda penganggur ini akan menyumbang pertumbuhan populasi Silverman di Kota Pekalongan.
BACA JUGA: Berharap Informasi yang Komplit tentang Gapura Nusantara
Diakui atau tidak, Silverman boleh dibilang merupakan bentuk kreativitas liar. Dengan modal seminim mungkin, yaitu minyak goreng atau minyak tanah plus cat sablon warna keperak-perakan, ia melumuri sekujur tubuhnya untuk mendapatkan uang dari para pengguna jalan. Alih-alih menjadi seorang penghibur, sejatinya yang mereka lakukan adalah mengemis.

Saya kira, jika mereka dikelola dan diolah agar mau menjadi bagian dari upaya menyemarakkan dunia pariwisata boleh juga tuh. Misal, mereka dikelola untuk melakukan performance art di Kawasan Budaya Jatayu ataupun di pelataran Gapura Nusantara alun-alun. Bolehlah, mereka menjadi daya tarik tersendiri kayak manusia patung di Kota Lama Jakarta. Dan, siapa tahu pula ada banyak orang yang ingin berswafoto bersama Silverman bak foto bareng Spiderman!
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya