KOTOMONO.CO – Apa jadinya bila pemberantas kejahatan malah terlibat kejahatan? Eiitss…ini bukan yang terjadi di kepolisian Wakanda lho, tetapi Itulah yang terjadi dalam film 21 Bridges (2019).
Film bergenre drama kriminal ini bercerita tentang seorang detektif yang berhadapan dengan kasus perampokan yang tak biasa. Bak kotak pandora, perampokan itu terbongkar maka jutaan misteri pun ikut tersingkap.
Kisah diawali dari Andre Davis (Chadwick Boseman), seorang detektif Kepolisian New York (NYPD) yang menghadap Internal Affair (semacam Divisi Propam di Mabes Polri) untuk mempertanggungjawabkan semua kasus yang ditanganinya karena selalu berakhir tembak di tempat. Davis sama sekali tak menyesali timah panas yang menewaskan delapan tersangka dalam sembilan tahun bertugasnya dan empat tersangka sejak dirinya menjadi detektif.
Davis tinggal bersama ibunya yang tua renta. Ayahnya, Reginald Davis, yang juga seorang polisi wafat 19 tahun lalu, saat dirinya masih kecil, setelah ditembak mati salah seorang dari tiga perampok yang disergapnya. Ini seolah melegitimasi kredo bahwa satu kaki seorang polisi sudah berada di liang lahat, karena tugasnya bisa membuatnya dijemput maut kapan saja dan di mana saja.
Beranjak tengah malam, dua pemuda bertopeng dan bersenjata semi-otomatis, Raymond Jackson (Taylor Kitsch) dan Michael Trujillo (Stephan James) merampok sebuah toko wiski. Mereka yang tadinya hendak mengambil 30 kg saja, sesuai order si bandar, mendadak terkejut begitu mendapati kokain yang berada di kulkas berjumlah 300 kg, sehingga kemudian mereka mengambil 50 kg kokain.
Keduanya kalang kabut dengan kedatangan mendadak empat polisi. Baku tembak tak terhindarkan, bahkan Trujillo tak sengaja menewaskan si penjaga toko. Setelah empat polisi itu tewas, keduanya berupaya kabur. Ndilalah, datang empat polisi lagi dan baku tembak lagi-lagi terjadi. Barulah ketika semuanya telah tewas, mereka lekas meninggalkan tempat.
BACA JUGA: Review Film Losmen Bu Broto
Tewasnya delapan polisi dan penjaga toko tadi membuat polisi pun berdatangan untuk memeriksa TKP, terutama dari Polsek 8-5 institusi asal delapan polisi itu dan Davis sendiri. Davis sempat bersitegang dengan Kapolsek 8-5, Kapten McKenna (J.K. Simons), yang menuding insiden itu sebagai balas dendam para penjahat terhadap Davis karena doyan menembak mati para kriminal. Untungnya, ketegangan itu dapat didinginkan oleh Wakil Kepala NYPD, Deputi Spencer.
Ketika Davis mengecek kulkas penyimpanan kokain, datang Frankie Burns (Sienna Miller), detektif narkotika Polsek 8-5. Mulanya Davis tak nyaman dengan kehadirannya yang dianggap politis, namun kemudian pasrah karena kedatangannya merupakan perintah Kapten McKenna. Mereka juga sempat berdebat dengan seorang agen FBI dan Wakil Walikota New York, Antoine Mott soal bagaimana tersangka ini harus lekas dicari dan siapa yang berwenang melakukannya.
Davis meminta semua perbatasan Pulau Manhattan, New York, terdiri dari 21 jembatan, tiga sungai, empat terowongan, dan stasiun, ditutup untuk mencegah Jackson dan Trujillo. Sementara agen FBI itu mencibir keputusan Davis, Mott setuju tapi hanya memberi waktu sampai jam lima pagi.
BACA JUGA: The Adam Project (2022), Perjalanan Waktu dan Berdamai dengan Masa Lalu
Jackson dan Trujillo berupaya menghilangkan jejak dengan membakar mobil sedan mereka sebelum menemui si bandar bersama makelarnya, Toriano Bush. Mereka marah terhadap Bush dan si bandar karena order itu tak saja luput satu angka nol, tapi juga membuat mereka harus kabur sejauh-jauhnya karena membunuh delapan polisi.
Davis dan Burns mencari kedua bandit itu di apartemen mantan pacar Bush. Keduanya tak ada di tempat, namun perempuan itu membeberkan jati diri mereka yang juga kawan-kawannya semasa kecil. Trujillo pernah masuk militer seperti Jackson, namun dipecat karena berkelahi dengan seorang sersan. Perempuan itu juga mengatakan kalau Bush biasa pergi ke kelab malam bernama Pan-Am karena pacarnya bekerja di situ.
Bush terlacak berada di Pan-Am untuk menemui pacarnya. Sersan Butchco dan Sersan Dugan langsung merapat ke Pan-Am sebelum Davis datang. Tanpa babibu, Sersan Butchco langsung menembak kepala Bush dan menyebabkan keributan di kelab itu. Davis yang tiba beberapa saat setelahnya marah sekaligus heran mengapa Butcho seketika menembak Bush yang belum tentu terlibat dalam perampokan. Sesuatu yang mencurigakan dari rekan-rekannya Polsek 8-5 mulai tercium Davis.
Sementara itu, Jackson dan Trujillo menemui Adi, seorang akuntan yang membuka jasa pencucian uang dan pembuatan identitas baru untuk menghindari kejaran polisi. Sayang, Letnan Kelly dan anak buahnya mengetahui keberadaan mereka. Adu tembak kembali terjadi, berakibat tewasnya si empunya apartemen. Sebelum tewas, Adi memberi sebuah flashdisk berikut sandinya kepada Trujillo.
BACA JUGA: 4 Pelajaran yang Bisa Dipetik Dari Film Miracle In Cell No. 7
Keduanya berlari menuju sebuah tempat pemotongan babi tak jauh dari apartemen Adi. Davis dan Burns yang mendapatkan informasi dari saluran radio langsung mengejar mereka dan berhasil memergoki keduanya di jalan. Jual beli tembakan lagi-lagi terjadi dan Jackson tertembak di lambungnya. Mereka kemudian berpencar, tapi Jackson mati tertembak Davis.
Davis kemudian menyergap Trujillo yang menyandera Burns. Kecurigaan Davis mulai terjawab ketika Trujillo mencoba mengungkapkan kehadiran empat polisi pertama di toko wiski itu, yang mengetuk pintu seperti penganut Saksi Yehuwa bertamu dan seolah ditunggu-tunggu si penjaga toko yang disebutnya sesekali menengok arlojinya. Burns terus memaksa Davis menembak Trujillo, tetapi tak digubris. Akhirnya Trujillo kabur dan Davis segera mengomando para polisi untuk memblokade sampai radius tujuh blok.
Burns mempertanyakan sikap Davis yang menolak menembak Trujillo, berbeda dengan biasanya yang hobi mengobral peluru. Davis hanya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Lebih-lebih, Letnan Kelly dan anak buahnya terlebih dulu tiba di apartemen Adi saat Davis dan Burns masih di Pan-Am.
Trujillo bersembunyi di sebuah hotel. Dia menyandera salah satu tamu di kamarnya dan memakai laptopnya untuk membuka flashdisk Adi. Ternyata, isi flashdisk itu menunjukkan daftar nomor lencana anggota Polsek 8-5 yang kecipratan uang hasil penjualan kokain. Pantaslah bila polisi ingin sekali mengenyahkan dirinya dan Jackson.
BACA JUGA: Mencuri Raden Saleh, Ketika Lukisan Menjadi Inspirasi Perlawanan
Trujillo kemudian berusaha menyamarkan identitasnya sebelum kabur. Dia terkejut melihat polisi berada di lobi hotel, sehingga dia kabur lewat dapur hotel. Polisi yang berjaga di belakang hotel mengetahuinya dan lekas menembakinya. Davis yang, sekali lagi, memergoki Trujillo berusaha mengejarnya dan mobilnya diambilalih Burns. Kejar-kejaran antar keduanya berlangsung menegangkan dan melelahkan, hingga Trujillo masuk ke stasiun, menerobos antrian dan menabrak banyak orang. Trujillo berhasil masuk kereta bawah tanah yang akan berangkat, disusul Davis yang meminta para penumpang untuk mundur ke gerbong paling belakang.
Trujillo dan Davis saling berhadapan di gerbong paling depan. Nahas, Trujillo ditembak dari kejauhan oleh Burns yang kehadirannya tak disadari Davis. Kontan saja, Davis marah karena Trujillo jelas-jelas telah menjatuhkan pistolnya. Pengejaran bandit itu berakhir antiklimaks dan Davis meninggalkan stasiun dengan ekspresi agak kecewa.
Ada Ironi yang Tersibak di Film 21 Bridges
Eits, ceritanya belum selesai. Kapten McKenna terkejut dengan kehadiran Davis di rumahnya. Davis sudah mengantongi flashdisk yang dibawa Trujillo dan telah mengecek isinya. Davis mengatakan bila para anggota Polsek 8-5 sengaja mengenyahkan Jackson dan Trujillo, juga Bush, agar kongkalikong Polsek 8-5 dengan bandar narkoba tidak terbongkar. Empat polisi yang datang pertama ke toko wiski itu hendak mengambil kokain di sana, namun keduluan Jackson dan Trujillo. Tidak semua dari delapan polisi itu kecipratan uang penjualan kokain, namun kematian mereka sudah pasti ulah sang Kapolsek.
BACA JUGA: 4 Film Pendek Keren yang Bisa Kamu Tonton Gratis di Youtube
Kapten McKenna menjelaskan, itu semua berawal sejak dirinya memimpin Polsek 8-5. Sekitar 70 persen lebih anggotanya mengalami perceraian dan beberapa anggotanya tidak punya tempat tinggal tetap. Dua anggotanya yang lain tewas, masing-masing muntah darah dan kecelakaan, setelah menenggak minuman beralkohol melebihi ambang batas. Gaji mereka tak memadai, sementara mereka dibenci lusinan warga kota yang mereka lindungi selama 24 jam.
Keterlibatan mereka dalam transaksi kokain hanya semata untuk membuat asap dapur mereka, termasuk Burns, tetap mengepul. Dia juga mengatakan, jika Davis nekat membongkar aib Polsek 8-5 maka Davis akan was-was seumur hidup karena rekan-rekannya yang kecipratan uang kokain itu takkan tinggal diam dengan aksi Davis.
Davis tutup telinga terhadap gertakan Kapten McKenna dan mengatakan lebih memilih menatap mata iblis ketimbang berpaling dari wajah sang Kapolsek. Kematian ayahnya dulu memotivasinya untuk tetap gigih membongkar semua jenis kriminalitas, termasuk yang dilakukan Kapten McKenna cs. Apapun halangannya, Davis bertekad menerjangnya meski harus sampai menembak mati pelakunya.
BACA JUGA: Film 12 Cerita Glen Anggara Bukan Soal Romansa, tapi Juga Realita
Davis ternyata sudah dibidik Kapten McKenna cs. Adu tembak antara mereka tak terelakkan, tapi Davis berhasil menyikat habis mereka. Burns yang membidik Davis mengatakan bila dirinya telah mengambil flashdisk itu, tapi Davis mengatakan telah membocorkan isinya lewat media sosial dan Burns bisa dipenjara seumur hidup jika masih bernafsu membunuhnya. Polisi lainnya tampak mengepung rumah itu saat Davis membawa keluar Burns yang tangannya terborgol dan tampak pasrah karena kalah langkah dengan Davis.
Pesan yang saya tangkap dari film garapan Brian Kirk itu seakan kontras dengan kebanyakan tuduhan terhadap polisi korup. Bila umumnya polisi korup karena nafsu bergaya hidup hedon, maka polisi dalam Film 21 Bridges terlibat bisnis kokain agar ekonomi rumah tangganya terjaga. Pendapatan yang diterima tak sepadan dengan beban kerja dan risikonya. Korupnya polisi tak melulu karena haus kemewahan, melainkan terdesak situasi ekonomi atau demi keselamatan keluarganya.
Saya kemudian teringat dengan sosok Bripka (Purn) Seladi, seorang pensiunan polisi lalu lintas yang pernah viral di tahun 2016 dan diundang ke acara Hitam Putih Trans 7. Sewaktu aktif, beliau memilih bekerja sambilan memulung botol bekas ketimbang harus makan uang haram. Profesi memulung itu masih dilakoninya ketika sudah pensiun, bahkan sesekali memberi pelatihan mengolah sampah plastik di beberapa sekolah.
BACA JUGA: Film Godse (2022), Potret Orang Baik yang Kadung Kecewa Dengan Pejabat Korup
Apapun motifnya, keterlibatan polisi dalam bisnis kotor tak bisa dibenarkan. Apalagi, bila sampai memicu konflik polisi versus polisi. Trust issue publik atas kepolisian jadi makin sulit diatasi, sebagaimana publik hari ini yang belum selesai geram dengan pembunuhan Brigadir J yang diotaki Kadiv Propam, lalu sekarang makin dongkol dengan dugaan pelanggaran prosedur dalam Kerusuhan Kanjuruhan.
Tagar #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice, juga masalah asal tangkap yang dilontarkan di DPR tempo hari, seyogyanya menjadi alarm agar polisi serius memperbaiki kinerjanya agar kepercayaan publik terhadapnya tak lagi anjlok. Pilihannya hanya dua, berubah sekarang atau selamanya dibenci?