KOTOMONO.CO – Kota Pekalongan punya akun Twitter, tapi di belakang jumlah followersnya belum ada “ribu’ atau “juta”. Walikota juga punya Instagram sih, cuma ya gitu, jarang posting. Belum lagi Facebook-nya yang sudah seperti akun yang ditinggal pemiliknya.
Belum banyak pemerintah daerah di Indonesia yang memakai jasa buzzer. Meskipun kita sama-sama tahu, kalau buzzer dipakai pemerintah pusat, walau dengan dalih ‘influencer’. Betapa seringnya kita mendengar kabar pemerintah pusat yang, menggelontorkan dana miliaran hanya untuk membayar ‘influencer’. Tapi itu di pusat! Sedangkan pemerintah daerah, desas-desus pun nyaris tidak ada.
Meski begitu, saya tidak akan mengatakan kalau pemerintah daerah bersih dari buzzer. Lihat saja bagaimana Anies Baswedan begitu banyak pendukungnya di media sosial, utamanya Twitter. Pemerintah provinsi Jawa Tengah, pun tak ada kabar mengeluarkan anggaran untuk menyewa buzzer atau pendengung. Namun, walaupun tanpa buzzer, Ganjar Pranowo bisa mengatasinya sendiri. Ha wong followersnya banyak. Terakhir saya memantau, pengikut Ganjar di Twitter bahkan mencapai 1,9 jutaan.
Tetangganya, Jawa Timur dan Jawa Barat juga sama-sama memiliki gubernur dengan kapasitas followers udah kayak artis internasional. Khofifah punya basis pengikut di Twitter, sampai saya menulis ini, sebanyak 500 ribu sekian. Sementara Ridwal Kamil, bapak-bapak yang agak nyentrik itu, pengikutnya di Twitter sanggup mengungguli Ganjar dengan 4,4 juta sekian followers.
BACA JUGA: Menyambut Baik Dewas Batik TV yang Surprise Banget!
Namun itu baru di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat kota atau kabupaten, hampir nggak ada buzzer atau kekuatan di media sosial. Walikota dan bupati yang aktif di media sosial, dan punya kans untuk menjadi pendengung buat dirinya sendiri pun baru sedikit.
Misalnya, Walikota Bogor, Bima Arya yang aktif di Twitter dan punya pengikut sampai 400 ribuan. Lalu Walikota Semarang Hendrar Prihadi, yang punya sekitar 77 ribu pengikut.
Sementara, Kota Pekalongan punya akun Twitter, tapi di belakang jumlah followersnya belum ada “ribu’ atau “juta”. Walikota juga punya Instagram sih, cuma ya gitu, jarang posting. Belum lagi Facebook-nya yang sudah seperti akun yang ditinggal pemiliknya.
Sengaja saya hanya mencantumkan akun-akun pejabat tersebut yang di Twitter. Ini bukan berarti saya mengabaikan media sosial lain. Melainkan di Twitter lah buzzer bermunculan. Dan di Twitter pula para pejabat itu bisa merespon sesuatu secara langsung.
Kendati saya sepakat kalau buzzer itu merusak demokrasi. Tapi nggak adanya buzzer di tingkat pemerintah daerah, atau masih sedikitnya pemerintah daerah yang mau jadi akun buzzer itu sendiri, justru membuat masyarakat seolah ‘buta’ terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan para pejabat di daerahnya.
BACA JUGA: Selain Literasi, Istri Walikota Pekalongan Perlu Diangkat Jadi Bunda untuk Bidang Lain
Coba bayangkan, betapa pemerintah daerah akan terbantu oleh buzzer. Mereka tidak perlu menyewa slot-slot di koran lokal atau bahkan ‘nimbrung’ anggaran ke sana. Toh yang tayang di koran lokal cuma berita luarnya doang. Sementara, masyarakat, terutama netizen yang tak berhenti mengetik komentar itu, saya yakin tak banyak yang mau membaca koran.
Sebab itulah, saya mengusulkan Pemkot Pekalongan untuk menyewa buzzer atau pendengung. Setidaknya, mereka-mereka inilah yang akan bergerak meladeni komentar-komentar nyinyir netizen tentang kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Ayolah, Pak… mbok ya sadar, mengandalkan koran untuk citra ibarat Kong Guan tanpa wafer. Gitu lhooo.
Jujur pak, belakangan ini saya jengah membaca nyinyiran netizen pada setiap kebijakan Pemkot Pekalongan yang muncul. Padahal Pemkot Pekalongan punya program-program yang sangat bagus dan relevan. Program-program yang, menurut saya cukup untuk membenahi Kota Pekalongan sampai Pilkada mendatang. Program-program yang juga futuristik dengan dana yang fantastis.
Namun nyinyiran netizen tak mendapat tanggapan dari pemkot, atau minimalnya yang membela walikota. Kalau yang sepakat dengan kebijakan tentu ada, tapi mereka ini muncul sembarang, tidak sistematis, dan ala kadarnya. Itupun sekadar mendukung kebijakannya, bukan walikotanya. Pemkot butuh yang membelanya, bukan kebijakannya. Titik!
Saya mengamati, lima tahun terakhir, walikota atau calon walikota, disamping mengandalkan wartawan koran, juga menginisiasi berbagai acara untuk meningkatkan elektabilitas dan memoles citra positif di masyarakat. Padahal cara tersebut sangat primitif untuk kota yang punya program Smart City itu.
Pihak pemkot dan jajarannya yang masih mengira pengguna media sosial cuma anak muda, mungkin perlu untuk menata ulang jalan pikirannya. Jika saja mereka mau ‘sidak’ ke grup-grup Facebook saja, tentu akan terkaget-kaget angkatan tua yang malah mendominasi ketimbang golongan pemuda.
Saya rasa, kalau informasi kebijakan Pemkot Pekalongan hanya disebar lewat koran dan acara tertentu, itu hanya sanggup menjangkau sebagian kecil lapis masyarakat. Siapa sih yang baca koran? Paling-paling cuma orang-orang di sekolahan, kampus, atau kantor yang notabene memang taat pada pemerintah daerah.
Sedangkan acara, yakin nih masyarakat di lokasi bakal ngeh kebijakan? Besar kemungkinan mereka akan terjangkit virus lupa, apalagi kalau selepas acara diberi amplop. Eh.
Saya jadi berandai-andai. Seumpama Pemkot Pekalongan beneran punya buzzer, betapa ramainya khasanah per-medsos-an di kota ini. Para tukang kritik (baca: nyinyir) kebijakan pemkot dengan mudahnya bakal ketahuan dan harus siap mendapat serangan tujuh hari tujuh malam dari para buzzer.
Tapi kita juga harus mempertimbangkan hal positifnya. Jika Pemkot serius merekrut buzzer, ini justru membuka lapangan pekerjaan. Ah tapi, persyaratannya pasti berat.
Karena menjadi seorang buzzer, syaratnya paling tidak memiliki banyak pengikut, dan jika di Facebook, kalau bisa berteman dengan 5 ribu orang lebih. Atau akrab sama orang terkenal, atau setidaknya pernah foto bareng walikota.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.