KOTOMONO.CO – Siapa sebenarnya sosok Suster Robertin si pembela Kelompok Marginal di Kota Pekalongan?
Soeurs de Notre Dame (SND) merupakan lembaga suster Katolik yang didirikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat kurang mampu di sekitar. Seperti halnya di Susteran Santa Bunda Maria yang berkantor di sisi utara RSUD Kraton Kota Pekalongan. Susteran ini menjadi kongregasi perkumpulan SND pertama di Indonesia yang menjadi tempat pelayanan karya kesehatan, pendidikan, dan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan.
Melalui SND, para biarawati begitu tulus melaksanakan panggilan Tuhan, memberikan pelayanan dan pengabdian. Seperti yang dilakukan Suster Robertin. Sebagai seorang suster, ia mesti menjalani hidup dengan penuh keyakinan, bahwa hidup adalah untuk mengabdi. Walau memang, jalan hidup demikian tidak mudah.
Seorang biarawati punya kewajiban untuk membaktikan hidup kepada Tuhan. Seorang biarawati juga diikat oleh tiga kaul. Dan, ia mesti lebih memperhatikan orang-orang di sekitar.
Kisah Awal Mula Menjadi Biarawati
Murniasih Yulita atau kini biasa dipanggil dengan sapaan akrab suster Maria Robertin sejak kecil sudah tertarik untuk mendedikasikan hidupnya kepada ajaran agama. Baginya, panggilan menjadi seorang biarawati tidak didasari oleh alasan khusus. Hanya bermula pada keinginan untuk menjalani hidup dengan keseharian, berdoa dan berbuat baik. Sampai pada akhirnya, di usianya yang ke 18 tahun, Maria Robertin atau biasa dipanggil Robertin memutuskan untuk bergabung dalam kongregasi Susteran Santa Bunda Maria. Tepatnya, pada tahun 1982.
Tahun itu menjadi tahun bersejarah baginya. Ia mulai menjalani proses atau tahapan untuk menjadi seorang suster. Semuanya dijalaninya dengan baik, hingga akhirnya ia bergabung ke dalam SND sebagai postulan.
Tahap pembinaan dari mulai postulan selama 1-2 tahun, kemudian masa novisiat selama 2 tahun, sampai pada tahap yuniorat selama 5-9 tahun telah dilewati Suster Robertin.
Hingga di tahun 1986, ia mengucapkan kaul kekal dan resmi diangkat menjadi anggota tetap seumur hidup. Sejak itu, seluruh hidupnya dipersembahkan bagi pengabdian pada Tuhan di SND Susteran Santa Bunda Maria.
Dari tahun ke tahun, suster Robertin telah membersamai kelompok-kelompok marginal. Dengan ramah ia menyapa dan menemani mereka. Dari situlah ia mulai menyalurkan karya sebagai panggilan jiwa. Itu pula yang menurutnya sebagai bentuk ketaatan kepada Sang Pencipta.
Ia merasa bahwa keputusan yang diambil sebagai perintah yang sudah menjadi garis hidup. Sepanjang hidupnya suster Robertin disibukkan dengan aktivitas keseharian yang meliputi ibadah doa, misa kudus, meditasi, membaca kitab secara kontemplatif, makan bersama, dan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Menjaga Keterikatan Tiga Kaul Religius:
Tidak sembarang orang dapat mendedikasikan diri menjadi seorang biarawati. Seperti halnya, Suster Robertin dalam memantapkan diri harus menjalani keterikatan kehidupan dalam tiga kaul, yaitu kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.
Dirinya merasa terpanggil dan meyakini jalan kehidupan menjadi seorang suster adalah jalan yang harus ditempuh. Masing-masing kaul ini menjadi landasan kehidupan yang harus dipegang hingga akhir hayatnya.
Adapun kaul kemiskinan menjadi aspek penting dalam kehidupan mereka. Karena kaul ini mengharuskan konstitusi rela melepaskan segala yang bersifat duniawi. Artinya, segala kebutuhan kehidupan mereka tidak dikelola secara kepemilikan individu.
Hidup dalam kesederhanaan sebagai sarana untuk melayani kerasulan, bukan sebagai tujuan akhir yang bersifat material.
Sementara kaul kemurnian atau keperawanan adalah ikrar yang ditepati untuk tidak menikah seumur hidup. Dengan hidup bertarak atau tidak menikah, hal ini menunjukkan komitmen suster untuk menjalani kehidupan yang murni.
Keputusan untuk tidak menikah diambil untuk membebaskan para suster bertugas secara lepas. Dalam artian, seorang suster harus selalu bersiap jika diutus untuk bertugas.
Kaul yang terakhir adalah kaul ketaatan, yang menjadi elemen yang mengarahkan para suster SND terikat dalam sebuah keputusan. Ketaatan yang dimaksud adalah diperuntukkan kepada Tuhan. Kaul ini diterapkan dalam bentuk kesiapsediaan terhadap tugas-tugas yang diamanahkan melalui pimpinan konggregasi.
“Salah satu contoh bentuk ketaatan seorang suster, ketika hendak ditugaskan kemanapun kita harus siap dengan segala kondisi. Karna, sekali lagi kita benar-benar menjalani kehidupan sesuai dengan garis yang sudah Tuhan kehendaki kepada kami,” ujarnya.
Karya Pelayanan di Susteran Santa Bunda Maria
Pada awalnya, fokus utama dari karya di Susteran Santa Bunda Maria adalah pada bidang pendidikan dan kesehatan saja. Namun, dalam konteks kesehatan saat itu, peran suster terbatas sebagai pekerja saja, tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan, mengatur, atau mengembangkan layanan kesehatan.
Oleh karena itu, Suster SND mendirikan rumah sakit Budi rahayu, yang awalnya hanya melayani kelahiran dan pemeriksaan kehamilan. Hingga tahun 1975, rumah sakit tersebut berkembang menjadi rumah sakit umum yang masih beroperasi hingga sekarang.
Selain itu, pengembangan karya pendidikan tetap menjadi fokus utama para suster. Tak terkecuali Suster Robertin dan suter lainnya sebagai SND memungkinkan mereka untuk melakukan karya-karya selain pendidikan, seperti halnya karya sosial. Karya sosial ini penting untuk merespons kebutuhan lokal, bahkan di luar bidang pendidikan seperti di Rembang, di mana para suster membantu sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Suster Robertin menuturkan bahwa kelompoknya juga disebut dengan kelompok aktif. Karena sepanjang hari, para suster disibukkan dengan berbagai aktivitas keseharian seperti mengelola beberapa panti asuhan, salah satunya bernama Marga Ningsih, yang mengambil nama dari suster pertama dari Pekalongan.
Marga Ningsih bukan hanya sebagai tempat panti asuhan, tetapi lebih jauh adalah sebagai wujud kasih kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, mereka memiliki berbagai karya non-formal seperti pendampingan dan pemberdayaan wanita, serta proyek pemeliharaan lingkungan hidup.
Karya-karya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan dan keprihatinan yang ada, terutama dalam konteks kekhawatiran global terhadap kondisi bumi saat ini. Suster Robertin juga gemar mengelola administratif SND, tak hanya itu ia juga memegang jabatan sebagai kepala sekolah Taman Kanak-kanak (TK) di lingkungan setempat.
Serta menjalin kerjasama dengan pemerintah dan sekolah-sekolah swasta lainnya, mengikuti program seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Para suster tidak hanya menerima dana seperti sekolah lainnya, tetapi juga terlibat dalam pembinaan dan pelatihan yang diselenggarakan pemerintah, termasuk pelatihan kepala sekolah.
Dalam manajemen karya-karya, semangat suster Robertin dan juga suster SDN lain telah membuka diri untuk kerjasama dengan berbagai pihak, menyadari bahwasanya jika bekerja sendiri akan memiliki keterbatasan.
Hal ini memungkinkan mereka untuk memperluas dampak dan efektivitas karya-karya mereka melalui kolaborasi dengan berbagai pihak eksternal tanpa membeda-bedakan. “Dengan latar belakang yang berbeda, kita tidak boleh mengkotak-kotakkan sebuah perbedaan. Selagi kita terpanggil menjadi manusia maka kita harus membantu sesama,” tutur Suster Robertin saat kami berkunjung.
Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang suster, Suster Robertin mengungkapkan bahwa awalnya ia merasa ragu-ragu dan tidak yakin apakah bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Namun, seiring berjalannya waktu, beliau semakin mantap dan merasa berkembang.
Suster Robertin menyadari bahwa setiap tugas yang diemban memberinya kesempatan untuk terus mengembangkan diri. Meskipun awalnya merasa berat dan tidak yakin, beliau belajar untuk bertanya dan menghadapi tantangan dengan sikap rendah hati.
Penulis: Zhahira Avriel Izzatunada, Rifa Aprila Durrotul Aisy