KOTOMONO.CO – Quiet quitting yaitu karyawan bekerja secara pasif sesuai dengan porsi mereka. Istilah ini mengacu pada kebiasaan kerja yang ditentukan oleh jam dan penugasan kerja sejak rekrutmen dimulai. Ketika seseorang mempertimbangkan maknanya, menjadi sangat jelas bahwa quiet quitting bertentangan dengan hustle culture, yang mendorong karyawan untuk bekerja lembur atau di luar ruang lingkup pekerjaan rutin mereka. Banyaknya efek negatif dari kerja berlebihan, seperti masalah pribadi dan sosial yang dihadapi banyak pekerja, menyebabkan istilah dari prinsip kerja ini muncul.
Masa pandemi Covid-19, menyebabkan adanya pergeseran pola pikir yang dialami para pekerja muda yang memunculkan fenomena quiet quitting. Hal ini berkaitan dengan sistem hybrid atau work from home (WFH) serta pergeseran budaya tempat kerja. Selama pandemi, banyak dari karyawan muda yang merasa telah melakukan banyak upaya. Namun, baik biaya tambahan maupun pengakuan tidak didapatkan di perusahaan. Salah satu penyebab munculnya istilah “quiet quitting” adalah karyawan menganggap lingkungan kerja sebagai hal yang toxic dan kurangnya apresiasi.
Nah, berikut ini merupakan beberapa alasan tambahan tentang munculnya istilah quiet quitting yaitu sebagai berikut:
- karyawan terlalu banyak bekerja sebagai akibat dari beban kerja yang berlebihan.
- Mereka (perusahaan) dapat diberikan lebih banyak pekerjaan kapan saja, karyawan menjadi takut.
- Banyak pekerja menjadi tidak puas dengan pekerjaan yang tampaknya tidak menghasilkan apa-apa.
- Pekerja percaya bahwa mereka memiliki lebih sedikit waktu untuk diri mereka sendiri.
Karyawan percaya bahwa perusahaan hanya akan mendapatkan keuntungan dari usaha mereka. Keseimbangan kehidupan kerja yang ideal dan penetapan batas antara kehidupan pribadi dan profesional adalah tujuan quiet quitting. Karyawan harus dapat mengambil keuntungan dari quiet quitting untuk menikmati kehidupan di luar lingkungan kerja mereka.
BACA JUGA: Dear Pelaku Catcalling, Kalian Itu Nggak Punya Harga Diri!
Quiet quitting menyebabkan rapuhnya etos kerja. Hal tersebut dikarenakan akan menurunkan kerja keras dan ketekunan yang dimiliki para karyawan. Akibat yang fatal dari hal ini yaitu karyawan yang menerapkan prinsip quiet quitting akan terkena PHK. Hal ini dikarenakan produktivitas karyawan saat bekerja akan berkurang, karyawan akan lebih mementingkan waktu istirahatnya mesikupun pekerjaan yang sedang dilakukan belum selesai. Dengan begitu akan menyebabkan pekerjaan karyawan tersebut membutuhkan waktu lebih lama untuk selesai, dan ini sangat tidak efektif. Jika hal ini dilakukan terus-menerus akan menimbulkan kesan buruk dengan atasan dan teman kerja.
Karyawan yang menerapkan prinsip quiet quitting akan dianggap malas dan tidak ada semangat untuk kompetitif dengan yang lain. Karir yang dibangun oleh karyawan tersebut akan tetap stuck diposisi tersebut atau bahkan dapat turun atau pun hancur. Hal ini disebabkan oleh karyawan itu sendiri yang lebih mementingkan untuk menikmati kehidupan di luar lingkungan kerja dengan tidak tepat. Ketidaktepatan inilah yang membuat karir di perusahaan menjadi hancur.
Karyawan dengan prinsip quiet quitting biasanya tidak disenangi oleh pimpinan perusahaan tersebut, dikarenakan karyawan dengan prinsip ini tidak dapat membuat pimpinan perusahaan terkesan. Pimpinan perusahaan dapat terkesan biasanya jika kinerja dari karyawan tersebut bagus dan juga rajin. Hal ini berbanding terbalik dengan karyawan yang menerapkan prinsip quiet quitting.
BACA JUGA: Fase Quarter Life Crisis Adalah Bentuk Proses Pendewasaan
Pimpinan perusahaan akan memandang karyawan tersebut sebagai karyawan yang berpotensi menimbulkan masalah, karena prinsip ini dapat menyebar antara satu dengan yang lain. Jika, hampir semua karyawan diperusahaan menerapkan prinsip ini maka perusahaan tersebut akan mengalami kemunduran. Hal ini dikarenakan etos kerja yang dimiliki karyawan-karyawan di perusahaan tersebut sudah rapuh akibat prinsip quiet quitting.
Prinsip quiet quitting dapat diatasi oleh perusahan jika memang perusahaan tersebut ingin menerapkan hal dibawah ini:
- Pihak HR dan manajer menerapkan budaya kerja yang fleksibel dan apresiatif. Pihak perusahaan harus mengapresiasi karyawan yang bekerja melebihi porsinya. Apresiasi dapat dilakukan dengan memberi upah lembur, mengadakan reward setiap bulan atau sesuai dengan kemampuan perusahaan, dan mengapresiasi melalui kata-kata.
- Karyawan harus diberikan tugas yang sesuai, jika tidak harus diberikan kompensasi. Kompensasi harus disetujui oleh kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan).
- Jika terdapat karyawan yang menerapkan prinsip quiet quitting seharusnya pihak perusahaan menegur dan berkomunikasi dengan karyawan tersebut, bagaimana langkah yang baik untuk diambil kedepannya.
BACA JUGA: Giat Film Sebagai Media Propaganda LGBT dan Feminisme
Jika, penerapan hal-hal diatas sudah dilakukan maka akan meminimalisir adanya prinsip quiet quitting di suatu perusahaan. Perusahaan tersebut akan berjalan seperti biasanya dan dapat mencapai target yang telah ditentukan. Hasilnya, perusahaan tersebut akan berkembang dengan pesat dan memiliki integritas yang baik.