KOTOMONO.CO – Ekspresi budaya setiap bangsa dalam menghadapi pandemi Covid-19 adalah salah satu tema yang menarik untuk diamati. Seperti perbedaan insting tiap bangsa yang menentukan jenis tindakannya ketika menghadapi lockdown dan kondisi-kondisi darurat masa pandemi. Bayangkan, warga negeri Paman Sam memborong senjata api, warga Belanda rela antri panjang untuk beli ganja, sementara warga di Australia justru memasukkan tisu toilet ke nomor urut satu daftar barang wajib beli selama masa pandemi Covid-19.
Insting adalah hal menarik karena ia merupakan bangunan amat panjang ke belakang. Rangkaian memori yang tersusun dari pengalaman, pembelajaran, dan permenungan, baik yang bersifat spiritual mau pun intelektual. Repetisi batin yang terdiri dari komposisi cuaca budaya, atmosfer nilai, dan watak sejarah, yang pada tiap bangsa berbeda cuatan-cuatannya.
Yang tidak kalah menarik dari menyaksikan acara “Doomsday Preppers” semacam itu ialah mengamati ensiklopedia kuliner global berupa ragam ramuan herbal yang telah melekat menjadi identitas sebuah bangsa. Yang karena keminderannya WHO menyebut ramuan hasil kreasi otentik setiap bangsa itu dengan sebutan “obat tradisional” (who the hell are you WHO?). Toh selama vaksin belum ditemukan, sah-sah saja kan kalau kita kembali membuka lembaran-lembaran kuno berdebu itu? Setidaknya mengonsumsi ramuan herbal saat wabah melanda tidak membuat kita lebih konyol dari orang-orang yang memborong tisu toilet.
BACA JUGA: Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 1
China punya “Kitab Kaisar Kuning” yang fungsinya semacam manual book kesehatan berisi teknik sekaligus ramuan zat-zat medis guna menangani beragam jenis penyakit. India punya konsep diagnosa holistik yang disebut “Ayurveda”. Dengan 8 cabang turunan keilmuan, konsep ini disebut-sebut sebagai sistem ilmu kedokteran paling kuno. Diagnosanya holistik karena menitikberatkan pada keseimbangan tubuh, energi, pikiran, dan ruh.
Sementara Indonesia tidak punya catatan berupa buku resep atau kitab mengenai produk kuliner kesehatan karena bangsa Indonesia memang bukan jenis bangsa dengan karakter notulen. Kekayaan khasanah ramuan herbal Indonesia tidak terletak pada catatan kaki peradaban: naskah-naskah kuno ketabiban, melainkan pada wajah kebudayaan sehari-harinya. Datang mainlah ke Indonesia, lihat mbok-mbok jamu yang keliling tiap pagi, atau pergi mampir ke warung jamu malam hari yang bisa buka sampai larut—itulah laboratorium medis herbal Indonesia.
Bahkan bisa bukan hanya yang jenisnya herbal. Metode medis bangsa Indonesia ketika sudah bergesek dengan alam pikir yang paling ‘rebel‘ bisa dengan santai menawarkan kesehatan lewat empedu kobra di pinggir jalan. Agen-agen ‘ketok magic‘ semacam itu sesungguhnya berjumlah lebih banyak dari kekayaan ilmu medis yang tercatat di dalam almari Kemenristekdikti.
Orang-orang dulu menyetak identitasnya melalui produk kuliner dengan kesehatan sebagai fokus utamanya. Kesehatan adalah kebutuhan ummat manusia paling purba, maka produk-produk kuliner yang tawaran primernya adalah kesehatan usianya cenderung langgeng. Dan karena langgeng seturut zaman, ia menjadi emblem identitas yang tercantol di dada setiap bangsa. Ketika zaman bergerak dan dunia dihinggapi wabah kapitalisme, disiplin fokus produk kuliner setiap bangsa bergeser dari kesehatan menjadi kenikmatan lidah semata. Pada terapannya yang lebih jauh serta konyol, ia bernama kuliner narsistik.
BACA JUGA: Menyaksikan Orang Terdekat Mati Satu Persatu Karena Corona yang Sekadar Dianggap Angka
Artinya fokus kuliner itu ter-reduksi lagi sedemikian rupa sampai tinggal soal sedap atau tidak sedap di dalam bidikan kamera. Makanan atau minuman yang paling laku hari ini adalah yang paling compatible dengan karakter selera Instagram (Instagramable). Perkara kualitas rasa, itu urusan belakangan. Apalagi soal efeknya terhadap kesehatan jasmani dan rohani, sama sekali tidak masuk dalam kategori penilaian meja juri manusia modern. Ini peradaban rupadatu. Segalanya tinggal soal rupa, rupa, dan rupa. Penyair Instagram asal Kanada sampai-sampai pakai nama Rupi Kaur (bukan Rupa Kaur) karena takut dituduh fans garda depan peradaban rupadatu. Gak deng saya ngarang aja kalo itu.
Maka ramuan-ramuan herbal itu ditinggalkan, meski eksistensinya tidak pudar atau lenyap total. Termasuk ketika masa pandemi seperti saat ini. India dan China yang punya resep herbal kuno masuk dalam salah dua negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak. Bahkan China menjadi rahim dari SARS-Cov-2, prolog dari kisah panjang pandemi Corona. Ini bukan faktor tunggal, tetapi pasti juga bukan sama sekali ‘bukan faktor’.
Di Indonesia, empon-empon kurang dapat perhatian. Di Pekalongan sendiri kita punya Kopi Tahlil, kopi dengan campuran rempah. Kopi yang setiap kumpeni Dutchman pasti ngiler ketika mencium aromanya. Belum lagi metode suwuk. Metode meniup air putih dengan doa, wirid, atau hizib. Setelah disuwuk, airnya bisa diminum, dioles ke sekujur badan, atau diciprat-cipratkan ke sekeliling rumah.
Bukankah itu semestinya jadi mainstreamatau katakanlah salah satu treatment pencegahan, di negara dengan jumlah ummat Islam terbanyak sedunia? Metode-metode medis berbasis ilmu spiritual, bukankah setidaknya muncul ke permukaan wacana nasional, ketika pluralisme agama ramai digembor-gemborkan bahkan sampai menjadi komoditi paling menjual sepanjang tahun?
Padahal Masamu Emoto, peneliti dari Hado Institute Tokyo, pada tahun 2003 pernah membuktikan bahwa partikel-partikel di dalam air dapat bergerak, berubah, atau memuai, ketika diperdengarkan kepadanya suara, musik, atau rapalan doa-doa, termasuk juga sholawatan dan suluk syi’ir-syi’ir. Masamu Emoto membuktikan bahwa spiritualitas dan rasionalitas logika bukanlah sesuatu yang patut dibenturkan atau ditabrakkan. Justru keduanya merupakan satu kesatuan yang bulat dan saling melengkapi.
BACA JUGA: Corona Dalam Tahap Ayat Allah Yang Bersifat Muqoththo’ah
Namun barangkali kita memang terlalu modern dan canggih, sulit percaya kepada hal-hal yang tidak kasat mata. Beruntung ada Corona, kita jadi terpaksa melatih ‘mata’ yang lain. Belajar percaya pada yang tidak terlihat. Belajar mengaktifkan protokol sanitasi hati, pakai masker akal, dan menjaga jarak (value-distancing) dengan hal-hal yang destruktif. Dan yang paling utama, belajar kepada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mata fisik dan mata rohani mustahil menangkapnya.
Yang letaknya tidak di mana-mana tetapi sekaligus ada di mana-mana. Yang paling relevan untuk menentukan lamanya masa karantina, apakah 14 hari, 28, 42, 7 dasawarsa, 3 abad lebih 9 tahun, atau 78 milenium, terserah. Kepada yang paling berhak menyetop jumlah kematian di angka berapa, ikut dan beriman saja.