KOTOMONO.CO – Sudah bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat Kudus dengan yang namanya Gusjigang. Sampai-sampai nama itu telah banyak dikenal dan dikaji oleh orang-orang dari luaran sana. Gusjigang, sangat sarat akan petuah-petuah filosofis dan inspiratif bagi para generasi muda.
Kita semua tahu bahwa saat ini dunia tengah mengalami era disrupsi di mana terjadi perubahan besar-besaran yang terhadap semua tatanan dan sistem yang selama ini kita anut. Sebuah era yang penuh ketidakpastian, membuat kita tidak lagi bisa menggantungkan diri dan berpegang pada cara lama.
Masifnya perkembangan teknologi dan informasi membuat kita mau tidak mau harus terus menciptakan hal baru, berkreasi, dan berinovasi agar dapat beradaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi. Jika tidak, kita hanya akan menjadi manusia tertinggal karena tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Meski demikian, bukan berarti semua cara lama harus kita tinggalkan. Sarana atau alat boleh berganti, namun nilai yang kita pegangi harus tetap melekat dan kita teguh berada dalam hati. Setidaknya dengan nilai itulah yang membedakan kita dari robot berteknologi kecerdasan buatan sekalipun.
Salah satu nilai yang dapat kita terapkan di masa disrupsi ini adalah Gusjigang yang merupakan akronim dari kata gus (bagus), ji (ngaji), dan gang (dagang). Sebuah ajaran yang diwariskan oleh Sunan Kudus kepada masyarakatnya.
BACA JUGA: Makna dan Tuntunan Perilaku Hidup di Balik Pintu Gebyok
Gus: Cerdas bukan tentang Angka
Saya kerap mendapati banyak orang tua yang kerap kebakaran jenggot dan malu ketika anaknya menadapatkan nilai rendah di rapotnya. Lain halnya jika si anak melakukan perbuatan tidak baik secara akhlak, kadang diabaikan dan tidak ditegur sebagaimana mestinya, bahkan dianggap biasa.
Maka dari itu, gus yang berarti bagus secara akhlak hendak memberitahukan bahwa cerdas bukan sekadar persoalan angka. Sebab, jika demikian adanya maka Mbah Google nampaknya jauh lebih pandai dari para guru dan orang tua dalam menjawab segala tanya. Cukup ketik beberapa kata, maka hasilnya akan keluar dalam sekejap mata. Rasa-arasanya hampir semua umat didunia ini pernah bertanya kepada Google.
Kecerdasan butuh dibarengi dengan akhlak yang baik, bahkan dalam Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kecerdasan itu sendiri. Dalam istilah psikologi modern disebut sebagai Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional. Hal inilah yang sampai kapanpun hanya akan dimiliki manusia dan tidak akan pernah bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi.
BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan
Ji: Ilmu Berbarengan dengan Keimanan
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa kecerdasan berbarengan dengan akhlak yang baik, maka demikian pula kecerdasan atau dalam hal ini adalah ilmu berbarengan dengan keimanan. Di sini menunjukkan bahwa ngaji bukan saja tentang membaca Al-Quran, namun juga mempelajari ilmu-ilmu lain secara berimbang.
Dalam Islam tujuan terbesar dari mempelajari ilmu bukanlah untuk mendapat kedudukan atau pengakuan, melainkan untuk meningkatkan keimanan yakni berupa rasa takut kepada Allah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Qs. Fathir: 28, yang artinya:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Rasa takut inilah yang akan membuat manusia enggan berbuat maksiat, baik di keramaian maupun di tengah-tengah kesunyian. Barangkali hal ini juga yang kurang dalam sistem pendidikan di Indonesia. Maka jangan heran kalau orang-orang berdasi, khususnya yang beragama Islam itu sendiri, justru banyak yang korupsi, karena mereka tidak diajarkan tujuan menuntut ilmu yang sebenarnya.
Gang: Bermental Pengusaha Bukan Peminta-minta
Pernah dengar istilah generasi rebahan? Ya, istilah ini hadir sebagai salah satu dampak yang dihasilkan akibat perkembangan teknologi yang sedemikian masifnya, membuat banyak aktivitas manusia termudahkan. Sayangnya di saat yang sama, kemudahan itu justru kerap kali berujung pada kemalasan, atau yang saat ini disebut sebagai “rebahan”.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Mahasiswa yang Hobinya Rebahan
Ayolah, apa iya masa depan generasi ini akan dipegang oleh manusia yang bangun dari tempatnya saja enggan? Padahal masa muda adalah masa paling produktif dalam hidup manusia, masa-masa perjuangan yang penuh semangat dan gelora.
Di sinilah nilai gang yang berarti dagang bersuara, bukan saja soal kegiatan berdagang, namun juga tentang mental “pengusaha” yang harus dimiliki para pemudanya. Maknanya, seorang pengusaha akan gesit mengambil peluang bahkan bekerja keras di saat yang lain berleha-leha, bangun di saat orang lain nyaman tertidur, dan berjuang di kala orang lain klemar-klemer.
Mungkin itulah seklumit nasihat yang ada pada nilai hidup Gusjigang kepada para pemuda, sebuah ajaran yang menjadi kurikulum utama di Kabupaten Kudus sedari lama. Khususnya di masa disrupsi ini, penting rasanya bagi kita untuk tetap nguri-uri (menghidupkan) nilai luhur ini, baik sekarang maupun di masa mendatang.