KOTOMONO.CO – Saat sedang asyik nyantai jalan-jalan di lini masa Facebook, ada postingan “berita” kekerasan seksual yang dialami siswi SMP. Tulisan itu begitu menyebalkan. Bahkan, mengganggu kenyamanan saat membaca status-status jenaka kawan saya, melihat foto-foto aktivitas maupun swafoto, membaca teori sastra dari seorang Ribut Achwandi, dan melihat postingan jual beli baju batik.
Selidik punya selidik, postingan itu muncul di sebuah fan page—saya malas betul menyebut namanya—yang kemudian dibagikan ulang oleh netizen di sebuah grup yang kebetulan buat bagi-bagi info. Karena pakai kata “Pekalongan” untuk nama grupnya, maka saya asumsikan anggota grup tersebut didominasi orang Pekalongan.
Yang pertama saya baca tentu beritanya. Dan sumpah demi celana dalam Aquaman, saya muak betul dengan postingan tersebut.Ya gimana ya, itu informasi setengah-setengah, bahkan belum 50 persen. Mungkin informasi yang disampaikan di situ baru 20 persennya saja. Selebihnya, yang bikin saya makin mangkel setengah modyar adalah postingan yang layak masuk ke TPA Degayu itu, justru mendulang like dan komentar yang banyak banget. Iri? Saya nggak iri blasss! Buat apa juga iri sama postingan yang mengaku berita tapi merusak generasi penerus bangsa.
Baiklah, mari saya ajak untuk membedah bagaimana buruknya pemberitaan kekerasan seksual tersebut. Sebelum itu, kencangkan dulu sabuk kalian, dan kalau bisa beli Es Dawet dulu. Sudah? Oke mari kita mulai.
Jadi begini, Saudara-saudara. Postingan tersebut memang awalnya cukup meyakinkan sebagai sebuah informasi yang akurat. Kurang akurat gimana? Wong di situ juga ada foto polisi dan tersangka. Nah masalahnya, postingan itu hanya bermodal keterangan polisi.
BACA JUGA : Viral Itu Perlu dan Memang Harus
Pernyataan polisi jelas tidak salah. Polisi hanya melakukan pemeriksaan pada pelaku dan hasilnya disampaikan lewat konferensi pers. Namun letak masalah sesungguhnya ada di postingan. Yang mana postingan tersebut bikin korban kekerasan seksual menjadi “korban” untuk kedua kalinya. Lho kok bisa?
Pertama, penyintas—saya lebih menyukai frasa ini daripada korban—mengalami kekerasan seksual oleh pelaku. Kemudian yang kedua, penyintas kembali merasakan “kekerasan seksual” oleh netizen. Kalau yang pertama mungkin pemicunya adalah laki-laki bangsat yang telah sampai pada birahi yang akalnya mati. Sedangkan yang kedua, disebabkan oleh postingan, berita, informasi, atau semacamnya.
Oh iya, khusus yang kedua, terjadi karena mungkin media atau akun tersebut terlalu bernafsu untuk mendulang trafik, mendulang like dan komentar, atau supaya menguasai pikiran warganet laiknya buzzer.
Seperti pepatah kuno Kepulauan Madagaskar, bahwa siapapun yang menguasai media, maka dia bisa menguasai warga seluruh kota sekaligus. Hebat bukan? Itulah yang mungkin coba dilakukan oleh si pemilik media atau akun alter atau apalah terserah.
Dan puncak dari pemberitaan kekerasan seksual semacam itu adalah menghasilkan kualitas netizen Indonesia yang orisinil. Hal itu terpancar dari komentar netizen yang “memerkosa” penyintas untuk kedua kalinya. Saya sengaja sematkan di sini agar kalian tahu komentar apa yang saya maksud.
“Nahhh gene berhubungan badan Yoe berarti suka sama suka jln satu satunya yoo nikahke ..rep omong di perkosa ko berulang kali … seumpomo rep di perkosa Yo ojo glm waktu cawet Rep di plorotke ojo Milu bantu plorotke raaa …”
“Kepenake bareng2 seng dihukum lanange tok. Kurang adil kuwi.melakukane juga tidak karena terpaksa. Pak ngomong seng cewek isek dibawah umur kok wes duwe nafsu koyo kuwi. Bocah di bawah umur yo rong duwe Nafsu okuwinan ra.. berarti wong lanang kuwi pancen serba salah.”
“Nk hubungan badan mesti unsure suka sama suka….
Mbok di nikahi wae…”
Jika kalian tanya: Lho emangnya salah? Kan bener tho kalau berhubungan badan berarti sama-sama suka, ya harus dinikahkan.
Dinikahkan ndasmu njebluk! Tahu dari mana kalau keduanya, baik pelaku atau penyintas sama-sama suka? Wong tahu informasinya saja dari Facebook kok. Hayoloh!
BACA JUGA : Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
Saya tidak akan bilang itu sudah menjadi kultur dan kebiasaan masyarakat manakala ada kejadian kekerasan seksual. Sebab saya bukan seorang aktivis feminisme, bukan pula penggerak sosial dan bukan anggota Komnas Perempuan.
Yang pasti, netizen-netizen garangan itu muncul akibat informasi atau pemberitaan kekerasan seksual yang ditulis buruk. Ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada yang berkembang dari kualitas informasi kita. Apalagi yang menyangkut kekerasan seksual pada perempuan.
Ironisnya, hal semacam ini bukan hanya dilakukan pemilik-pemilik akun alter yang mendaku diri sebagai media, melainkan juga media online yang memang menstampel diri sebagai media massa, pilar keempat demokrasi.
Agak susah mencari riset aktual tentang bagaimana media memberitakan kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Namun melalui laman Remotivi, saya menemukan riset dari Komnas Perempuan bertajuk “Sejauh Mana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual?” Tahun 2015.
Komnas Perempuan dalam riset tersebut menyimpulkan bahwa pemberitaan kekerasan seksual di media mengabaikan kode etik. Padahal semestinya media turut berperan memenuhi hak-hak penyintas.
Kita bisa melihat bagaimana riset tahun 2015 tersebut masih sangat relevan dengan kondisi yang saya tuliskan di awal. Bagaimana pemberitaan kekerasan seksual justru ditulis, dilaporkan, dan disampaikan secara buruk. Pemberitaan kacau semacam ini bertambah buruk setelah era disrupsi informasi menghajar kita.
Alih-alih menghindari pernyataan dari hasil reportase yang bisa menyudutkan penyintas. Si pembuat informasi justru memilih pernyataan dan diksi-diksi yang bikin penyintas makin salah di mata masyarakat.
Misalnya, informasi berapa kali pelaku memerkosa penyintas. Mungkin maksudnya agar si pelaku jera. Tapi yang terjadi justru semakin besar angkanya, penyintas makin berpotensi “diperkosa” lagi oleh netizen. Apalagi stigma perempuan penyintas kekerasan seksual sudah buruk sejak dalam pikiran masyarakat.
BACA JUGA : Mengangkangi Informasi
Pemberitaan kekerasan seksual seperti itu, justru mendistorsi kejahatan kelamin. Yang bahaya, para predator kelamin akan bermunculan. Sebab mereka akan merasa aman melakukan kekerasan seksual, karena toh perhatian masyarakat bakal ke penyintas.
Masyarakat bakal menganggap penyintas nggak bisa menjaga kehormatan. Penyintas terlalu seksi sehingga mengundang birahi. Penyintas punya nafsu, dan masih banyak lagi—silakan mendatanya sendiri.
Sementara itu, pelaku justru leha-leha. Pelaku sekadar dipermalukan ketika aksi biadabnya itu ketahuan, dan kala dipajang di depan para wartawan yang menanti rilis polisi. Itupun kalau pelaku masih punya malu.
Pada kenyataannya si predator kelamin ini masih sanggup berkilah. Misalnya, ia mengakui kesalahannya tapi itu karena pengaruh minuman keras. Halah, basi bos!
Lucunya, dalih semacam itu justru diamini oleh pembuat berita. Alih-alih memenuhi hak penyintas, berita pemerkosaan malah menyediakan ruang bagi predator untuk berkilah. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Simpel kok, tinggal nggak usah klik, ngasih komentar, like, atau membagikan postingan itu. Secara otomatis postingan tersebut akan sepi dan mungkin si pemilik akan menyerah dengan sendirinya.
Sedangkan buat si wartawan atau pemilik akun-akun alter, um…. monmaap saya nggak ada solusinya. Wong situ kan yang punya sertifikat dan legalitas.
BACA JUGA Tulisan-tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.