KOTOMONO.CO – Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya melihat, mendengar, ataupun membaca cerita orang menjabarkan beban susah payahnya menanggung nasib yang sudah tak bisa diubah. Bukan perihal kodrat menjadi perempuan, melainkan urutan kelahiran yang sudah kadung mereka jalani puluhan tahun silam. Frasa ini sengaja saya pilih karena curhatan itu kerap kali dilontarkan seseorang yang sedang dalam fase QLC (quarter life crisis). Termasuk fase dewasa awal atau memasuki usia 20 tahun.
Mereka yang tengah kebingungan menentukan jalan hidup, akan menjadi apa kelak, bagaimana ia ke depan, memilih antara ego atau mengikuti arus, merasa bebannya kian bertambah karena ekspektasi lingkungan yang menuntutnya menjadi orang super. Ekspektasi inilah yang kemudian pada akhirnya mengantarkan mereka pada kesadaran bahwa ia memiliki tanggung jawab yang hadir satu paket bersama urutan kelahirannya.
Pada salah satu artikel, misalnya. Seorang pemuda menjabarkan dengan gamblang bagaimana beratnya menjadi anak pertama. Si sulung selalu dituntut menjadi kuat karena ia adalah orang pertama yang harus mengemban tanggung jawab jika kelak terjadi sesuatu pada orang tua.
BACA JUGA: Dear Orang yang Pamer Lamaran di Medsos, Yakin Bakal Lanjut Nikah?
Pun ketika sulung memiliki adik, konon katanya ia juga yang menjaga. Belum lagi terkait finansial keluarga, beban pikiran ketika orang tua curhat, dan menjadi tameng untuk adik-adiknya. Pungkasnya, lebih enak menjadi anak bontot karena berlimpah kasih sayang.
Tak berselang lama, artikel lain bermunculan. Anak bungsu kali ini angkat suara. Apa yang digembar-gemborkan terkait enaknya menjadi anak bontot tak sepenuhnya benar. Sekalipun mereka mengakui berlimpah perhatian, keadaan itu justru membuat mereka senantiasa didikte karena dianggap belum mampu menentukan keputusan yang tepat untuk diri sendiri. Paling gokil adalah alasan tidak nyaman menjadi anak bontot karena selalu disuruh saudara yang lebih tua.
Tidak mau tinggal diam dan hanya mendengarkan perdebatan si sulung dan bungsu, anak tengah (yang entah julukan lainnya apa?) ikut bersuara karena mereka acap kali luput dari perhatian. Menjadi anak tengah, katanya, sering merasa terasingkan karena perhatian sudah dibabat habis oleh anak pertama dan terakhir.
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Anak Laki-laki juga Merepotkan
Sekalipun ada beberapa penelitian yang membenarkan kondisi tersebut, mari sudahi perdebatan ini karena tak akan ada habisnya. Sesungguhnya, anak pertama, tengah, dan akhir sama-sama memiliki beban. Penjabaran di atas tadi sudah cukup mewakili bagaimana kita sebaiknya tidak perlu merasa siapa yang paling berat di sini karena kondisi mental setiap orang pun berbeda.
Salah satu film yang menyoroti problem keluarga, termasuk urutan kelahiran yaitu NKCHI (Nanti Kita Cerita Tetang Hari Ini). Film yang dibuat dari buku dengan judul yang sama ini cukup menjabarkan bagaimana setiap anggota kelurga memiliki beban yang tak bisa dianggap lebih ringan atau lebih berat.
Aurora, anak tengah yang dalam film tersebut juga digambarkan kesepian dan terasingkan, juga memiliki sisi positif lain yaitu dia yang paling kuat karena tetap bertahan di rumah dengan keadaan yang cukup panas. Beberapa scene-nya cukup memperlihatkan masalah setiap anggota keluarga dengan gamblang.
Jika satu film belum cukup, kamu bisa menambah drama Korea 16 episode dengan judul My Unfamiliar Family. Dari judulnya saja, drama ini cukup membuat saya tertarik lantaran keluarga yang notabene orang terdekat justru tidak mengenal kita sepenuhnya. Dengan premis dasar tersebut, drama ini membuka kesadaran lain jika kita tidak bisa men-judge setiap anggota keluarga bahwa beban dialah yang paling berat.
Drama ini menceritakan keluarga yang masih sering berkumpul di rumah untuk sekadar makan dan ngobrol. Namun, pertemuan rutin tidak lantas membuat mereka mengetahui keadaan rumit kedua orang tuanya hingga mereka memilih berpisah.
Pada lain waktu, salah dua anaknya memiliki masalah hingga mereka merasa keputusan untuk saling menjaga jarak adalah benar karena menanggung beban paling berat. Dengan jalan cerita yang cukup rumit, prasangka setiap anak perlahan terbukti salah. Terrnyata, masing-masing anggota keluarga tersebut memiliki konflik yang tidak tercium satu sama lain.
Menonton drama ini membuat saya, atau bahkan mungkin kamu akan menyadari sudah bukan saatnya lagi kita melabeli dan merasa benar-benar tau masalah dan kebahagiaan seseorang.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Park Chan Hyuk, salah satu karakter dalam drama tersebut berkata, seorang ilmuwan mengatakan, kita lebih mengetahui unsur yang menyusun tata surya melebihi unsur yang menyusun bumi. Keluarga juga sama. Stop menghakimi diri sendiri memiliki beban paling berat dan meraka lebih bahagia, karena kita sudah cukup hebat dengan bisa bertahan dan melewati jalan takdir kita.