KOTOMONO.CO – Petitih olahraga pemersatu bangsa, memang sudah sangat mafhum. Didukung banyak fakta yang menunjukkan jika olahraga bener-bener bisa bikin kita bersatu.
Misal, ketika Greysia Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020. Saat meraih prestasi ciamik itu Indonesia sedang dirundung masalah pandemi yang tak berkesudahan. Kasus meninggal akibat COVID-19 semakin merajalela. Ditambah kebijakan PPKM yang membuat banyak orang merasa semakin terhimpit.
Prestasi apik Greysia Polii/Apriyani Rahayu ini seketika membuat banyak orang melupakan sejenak kegaduhan bencana itu. Fokus kita yang semula selalu menyalahkan orang lain akibat kondisi pandemi teralihkan ke fokus prestasi duet senior-junior ini. Fokus kita yang selalu sedih akibat mendengar kabar duka yang lalu lalang sementara waktu teralihkan pada kabar gembira dari negeri sakura tersebut.
Selain Olimpiade Tokyo 2020, momen yang tak kalah bikin kita merinding dan tak terlupakan adalah saat negara kita jadi tuan rumah Asian Games 2018. Kala itu, banyak momen membanggakan yang telah diciptakan dari berbagai cabang olahraga. Mulai dari opening ceremony yang dibuat begitu ciamik, hingga medali-medali yang diraih oleh banyak atlet.
Salah satu momen viral yang tak terlupakan adalah ketika Hanifan, atlet pencak silat nomor tarung memeluk dua kandidat presiden saat itu, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Dengan balutan bendera merah putih, tiga tokoh publik tersebut berpelukkan di tribun penonton usai Hanifan dipastikan meraih medali emas Asian Games 2018.
Momen yang dinilai banyak orang sangat mengharukan. Apalagi setahun berikutnya, arena politik membuat banyak orang bersitegang mengenai pilihan politiknya. Memang, Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta-Palembang bukan hanya sekadar pesta olahraga se-Asia. Namun, ajang tersebut juga menjadi momen kebersamaan kita dan kesatuan kita yang tak akan pernah dilupakan begitu saja.
BACA JUGA: PenjasOrkes, Pelajaran Paling Aneh yang Pernah Saya Temui
Dua kegembiraan tersebut dan pastinya kegembiraan lainnya yang ditorehkan para atlet itulah yang membuat banyak orang beranggapan bahwa olahraga selalu menyatukan kita. Anggapan itu memang tidak salah. Namun, menurut saya anggapan itu tidaklah selalu benar.
Pecah belah yang terjadi di dunia olahraga tak jarang menimpa para atlet yang memiliki identitas minoritas di kelompoknya. Misalnya Moh. Salah, penyerang Liverpool yang tahun lalu tertimpa kasus rasisme pada tahun 2019. Dilansir dari suara.com, Salah mendapatkan perlakuan rasis, saat dirinya dan kawan-kawannya bertandang di markas West Ham United. Bahkan video tak patut dicontoh tersebut beredar luas di dunia maya. Beruntung pihak West Ham mendukung untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Sebelum kasus rasisme tersebut menimpa Salah, Mesut Özil, penyerang asal Jerman pernah mengalami hal serupa. Mengutip dari panditfootball.com, mantan punggawa Real Madrid tersebut mengatakan bahwa, “Di mata Grindel (mantan Presiden Asosiasi Sepak Bola Jerman) dan para pendukungnya, saya orang Jerman ketika kami menang. Tetapi saya orang imigran ketika kami kalah.”
BACA JUGA: Yuk Kenali Interval Training, Olahraga yang Cocok Buat Orang-orang Sibuk Kaya Kamu
Kasus rasisme dalam dunia olahraga tak hanya terjadi di sepak bola. Badminton, olahraga yang selalu membuat kita berdecak kagum karena prestasinya juga tak surut dari permasalahan rasisme. Hal ini terjadi ketika masa pemerintahan Soeharto masih memegang kekuasaan di Indonesia. Salah satu korbannya ada Tong Sin Fu.
Dilansir dari jawapos.com, Tong Sin Fu sudah mengajukan berkas berkali-kali ke kantor imigrasi agar dirinya bisa menjadi warga negara Indonesia. Namun, setelah mengajukan eh ia juga kena tipu oknum pejabat imigrasi. Ia merugi hingga 30-50 juta rupiah. Namun, Tong Sin Fu tetap ditolak oleh pemerintah untuk menjadi warga negara Indonesia.
Padahal, Tong Sin Fu telah banyak mendedikasikan dirinya untuk negeri ini. Pada Olimpiade Barcelona 1992, Tong Sin Fu mengantarkan tiga tunggal putra Indonesia menyabet seluruh medali yang ada di sana. Alan Budi Kusuma meraih emas, Ardy B. Wiranata meraih perak, dan Hermawan Susanto meraih perunggu bersama pemain asal Denmark Thomas Stuer-Lauridsen.
Prestasi yang dihantar Fuad Nurhadi, ‘nama Indonesia’ dari Tong Sin Fu, tak hanya berhenti di situ. Oom Tong, sapaan akrab dari anak-anak didiknya itu juga membuat dominasi tunggal putra Indonesia menggila. Saat itu, tunggal putra Indonesia berturut-turut menempati ranking 1-8 dunia.
Namun, apalah daya. Dedikasi dan prestasi yang diraih Tong Sin Fu tak cukup untuk pemerintah Indonesia puas akan keberadaannya. Dan semenjak itulah kekuatan badminton Tiongkok semakin baik, karena Tong Sin Fu dijanjikan fasilitas yang menggiurkan oleh pemerintah Tiongkok.
BACA JUGA: Memang Kenapa Kalau Atlit Cantik Windy Cantika Aisyah Tak “Konsisten” Memakai Jilbab?
Saat menjadi pelatih di negeri tirai bambu itu, Sin Fu juga banyak mempersembahkan prestasi yang gemilang. Lin Dan misalnya, sang legenda yang memiliki gelar lengkap seperti All England, emas Asian Games, Kejuaraan Dunia, hingga emas Olimpiade dua kali berturut-turut. Belum lagi para seniornya Ji Xinpeng dan dan Xia Xuanxe yang meraih medali emas Olimpiade dan Kejuaraan Dunia. Untuk event beregu seperti Thomas Cup pun tak jauh dari sentuhan tangan Sin Fu. Dari tahun 2004-2012 Tiongkok berhasil meraih Thomas Cup.
Jadi, walaupun olahraga berkali-kali membuat kita berdecak kagum dan jatuh hati karena sportifitasnya hingga prestasinya, olahraga tak lepas dari perpecahan. Namun, bagi para penggemarnya seterpuruk apapun olahraga itu pasti akan tetap dihadapi dengan kepala dingin.
Tak melontarkan tindakan rasis, tak berbuat curang, hingga tak menikam seseorang yang hanya karena memiliki pilihan berbeda dari kita adalah hal yang harus kita jaga akan olahraga ini tetap menjadi kebanggaan kita.