KOTOMONO.CO – Premis umum tentang patriarki selalu mendudukkan laki-laki sebagai pihak yang dominan. Dominasi ini meliputi berbagai aspek mulai dari keluarga, pekerjaan, dan lain sebagainya. Nggak bisa disanggah bahwa patriarki memang merugikan perempuan. Tapi, apakah semua laki-laki bisa menikmati semua keuntungan dari budaya patriarki?
Tanpa kita sadari, laki-laki dikonstruksi secara seragam. Keseragaman itu terhimpun dalam sebuah kotak yang selanjutnya disebut sebagai “laki-laki ideal”. Tuntutan menjadi seorang laki-laki yang kuat, nggak gampang nangis, punya jiwa pemimpin, dan kudu bisa cari duit, serta menrakir si doi adalah secuil dari konsep laki-laki ideal yang dibentuk patriarki.
Kalau ada yang bertanya, bukannya malah bagus ya, kalau setiap laki-laki itu memenuhi kriteria laki-laki ideal? Kita bisa pastikan dia bukan laki-laki. Kalaupun dia laki-laki, berarti dia sudah merasa masuk dalam kategori “laki-laki ideal”. Karena, nggak semua laki-laki bisa memenuhi segala tuntutan itu, Sob! Nih, saya jabarin biar ente semua kagak mabok.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Saat laki-laki nggak bisa memenuhi tuntutan sebagai “laki-laki ideal”, bakal ada konsekuensi yang kudu ditanggung. Konsekuensi itu bisa berupa di-bully laki-laki lain karena dianggap lemah, dibilang lebay karena nangis, dianggap bukan laki-laki karena nggak bisa memimpin, malu dan merasa rendah kalau nggak bisa bayarin si doi, dan sederet konsekuensi lain yang nggak bisa disebutkan satu per satu.
Mungkin ada yang bilang segala konsekuensi itu cuma hal “remeh”, nggak ngaruh banget sama real life yang kita jalani. Toh cuman di-bully, toh cuman dibilang lebay. Tapi, semakin lama kita menganggap hal tersebut wajar, semakin berpotensi pula kita terkungkung dalam konsep “laki-laki ideal” yang benar-benar nggak bisa dipenuhi oleh semua laki-laki di muka bumi ini.
Konsekuensi yang diterima laki-laki nggak sampai situ doang, Sob. Ada pula konsekuensi yang lebih parah atau malahan bisa dibilang paling parah dari pengotak-ngotakan laki-laki ini. Konsekuensi itu adalah potensi laki-laki menjadi penindas.
Selama ini, awam sangat mafhum kalau kekerasan selalu identik dengan laki-laki. Lebih-lebih karena saking banyaknya berita kriminalitas yang hampir sebagian besar menempatkan laki-laki sebagai pelaku. Sedang perempuan, selalu menjadi korban. Mengapa demikian? Itu karena laki-laki merasa dirinya kuat dan menganggap perempuan adalah seorang yang lemah. Itulah mengapa dalam dunia patriarki perempuan selalu rentan akan penindasan laki-laki.
Kita bisa tengok CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan selama 12 tahun (2008-2019) meningkat 792%! Padahal kita tahu sudah buanyak gerakan pemberdayaan perempuan, tapi kok masih aja kekerasan dialami perempuan?
Dalam buku Good Boys Doing Feminism karya Nur Hasyim, disebutkan kalau kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat itu karena pemberdayaan atau transformasi perempuan nggak dibarengi dengan transformasi dari pihak laki-laki.
Pola relasi konflik yang dulunya penindasan laki-laki yang powerfull terhadap perempuan yang powerless sekarang cuman berganti perempuan yang berdaya melawan laki-laki yang merasa terancam.
Contoh nyata bisa kita tengok dari kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswi Universitas Riau beberapa hari lalu. Dia (korban) memberanikan diri speak up tentang apa yang dialaminya. Tapi pelaku menyangkal di depan umum hingga berani bersumpah dan menuntut balik. Ngerih!
BACA JUGA: Perempuan Maskulin dan Laki-laki Feminin Itu Tidak Salah
Terlepas dari siapa benar siapa salah, kita bisa liat relasi konflik di sini bukan lagi perempuan yang lemah melawan laki-laki yang kuat. Tapi perempuan yang kuat melawan laki-laki yang merasa terancam.
Konflik tersebut bisa saja kita cegah dengan adanya transformasi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Transformasi yang tidak hanya berguna untuk relasi laki-laki dan perempuan, tapi berguna juga untuk relasi antar laki-laki.
Tuntutan untuk jadi “laki-laki ideal” sedikit demi sedikit dapat kita hilangkan dimulai dengan hal kecil seperti menyadari kalau kita ini manusia yang nggak bisa diseragamkan. Kemudian kita juga perlu untuk turut serta membangun budaya wajar bagi laki-laki. Wajar kalau laki-laki menangis, wajar kalau ditraktir perempuan, wajar kalau nggak bisa memimpin, dan sebagainya.
Mari kita cukupkan keharusan menjadi laki-laki ideal itu. Selain berpotensi jadi penindas, budaya yang selalu kudu nraktir perempuan teramat berat. Bukankah begitu wahai laki-laki?