KOTOMONO.CO – Pagi itu, seorang teman mengirimkan pesan lewat Whats App. Lewat pesan itu ia mengajakku untuk ikut kegiatan berbagi kebaikan. Katanya, kegiatan itu adalah kegiatan komunitas anak muda. Anak milenial! Tepatnya lagi, Komunitas Anak Baik Milenial!
‘Wah… pasti seru nih’, pikirku. Ini pasti kegiatan yang bakalan viral. Mengapa? Karena orang-orang kekinian mungkin sedang butuh kebaikan-kebaikan. Apalagi di media sosial. Orang-orang cenderung menyebarkan keburukan. Bukan keburukan dirinya, melainkan keburukan orang lain. Atau sesuatu yang dianggap buruk pada orang lain. Disebar dan dikomentari. Diduplikasi berkali-kali. Disebar lagi. Sampai tak diketahui lagi dari mana asal mulanya.
Mungkin, maksudnya baik. Tetapi, lama-lama mereka tak sadar, itu juga sebuah kejahatan. Ya, kejahatan yang terasa sebagai kebaikan. Sebab, bisa saja, itu dilakukan hanya untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang ‘baik’ di dunia maya. Atau semacam paksanaan kepada orang lain, agar mereka mengamini ‘kebaikan’ yang ia citrakan itu di media sosial.
Dan, sekarang, di hpku telah tersebar sebuah ajakan untuk sebuah kebaikan. Aku tertawa membaca pesan itu. Bagaimana caranya kebaikan itu dibagi? Sedang, orang sedang berebut kebaikan untuk mereka sendiri. Lalu, apakah dia yakin bahwa kebaikannya cukup untuk dibagi? Lalu, sisa kebaikan apa yang akan ia dapat? Atau jangan-jangan, ia bukan sedang berbagi kebaikan. Tapi, berbagi prasangka tentang dirinya, agar orang-orang memandangnya sebagai orang baik?
Ah! Sudahlah. Aku pikir, itu kegiatan baik. Ya sudah, aku balas saja pesan itu dengan jempol. Diikuti dengan kata “MANTAP!”. Aku tak mau terlalu sibuk memikirkan kebaikan orang lain. Sebab, aku bajingan sejak dalam pikiran!
Tetapi, apakah menjadi bajingan adalah sebuah takdir? Tidak. Bukan sebuah takdir. Ini hanya pilihan hidup. Aku memandang dunia ini sudah begitu rancu. Antara kebaikan dengan kejahatan bercampur menjadi satu. Wajah tersenyum, tetapi hati menyimpan bara api dendam yang berkobaran. Hanya menunggu kesempatan untuk membinasakan siapa saja yang dianggap sebagai musuh.
Perselingkuhan antara kebaikan dengan kejahatan ini melahirkan anak-anak jadah. Anak-anak yang tak diinginkan oleh dunia. Tetapi dipaksakan hadir dan memenuhi ruang zaman. Mereka dibikin tak sadar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dibius oleh impian-impian semu. Lalu, diadu.
Pemandangan ini, tentu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka para pemabuk. Mereka berpesta. Kepulan asap dari sebatang lisong mereka membumbung, mengangkasa bersama tawa mereka. Mereka merayakan besarnya keuntungan yang mereka capai atas apa saja yang mereka jual. Bahkan, soal keyakinan.
Tentu, mereka itu penjahat. Tetapi, mereka bukan golongan bajingan sejati. Mereka hanya pion-pion kecil. Memainkan peran kecil dari sebuah skema kejahatan yang lebih besar. Sebab, kejahatan tidak selamanya harus tampak ke permukaan. Kejahatan yang paling jahat, adalah ketika ia tidak bisa diinderakan. Ia tidak terlihat, tidak terdengar, tidak dapat dirasakan. Ia menyusup ke dalam praktik hidup sehari-hari.
Tak lama kemudian, temanku mengirim pesan lagi. “Datang ya?”
Tak aku balas pesan itu. Tetapi, aku pastikan datang. Bukan untuk ikut berbagi kebaikan seperti yang mereka katakan. Aku hanya ingin menyaksikan kebaikan itu. Apakah kebaikan itu akan menjadi peristiwa atau sekadar perayaan kecil kebaikan yang semu?
[button color=”blue” size=”small” link=”https://kotomono.co/cerita-mini-berseri-chapter-11-negeri-para-bajingan/” icon=”” target=”false”]Chapter 11[/button]