KOTOMONO.CO – Sekali waktu, aku ingin bercerita tentang kampusku. Tempatku kuliah. Namanya Universitas Kejahatan. Sejak universitas ini didirikan, rektornya tak pernah ganti. Namanya, Pak Iblis. Mungkin ia rektor abadi. Rektor seumur hidup.
Awalnya, aku penasaran. Kok ada ya nama universitas segila itu. Aku pun mendaftarkan diri. Ikut seleksi mahasiswa baru. Lolos! Alangkah senangnya.
Tetapi, belakangan aku baru tahu, kalau ternyata, semua calon mahasiswa baru yang ikut seleksi itu lolos. Tidak satu pun yang tidak diterima. Aku heran. Apakah tes seleksinya yang nggak berkualitas atau bagaimana? Aku menyelidik. Sebagai mahasiswa tingkat atas. Apalagi jelang semester paling ujung, aku memberanikan diri untuk mencari informasi. Aku curiga, jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres.
Ah, aku punya kenalan di bagian TU. Kutanyakan saja padanya tentang seleksi mahasiswa baru itu. Jawabnya enteng banget, “Loh, calon bajingan kok diseleksi.”
“Tapi kan, demi menjaga reputasi almamater, pihak kampus perlu mencetak para bajingan yang berkelas, Om. Makanya perlu seleksi ketat. Meurutku sih,” selorohku.
“Kualitas? Memang perlu kualitas? Apa pentingnya kualitas?”
“Ya biar kampus kita ini punya gengsi, Om.”
“Mana ada bajingan pakai gengsi? Bajingan itu sudah dicap jelek. Kalau gengsi-gengsian, rugi. Ha ha ha ha! Ini kampus bukan untuk mencetak orang-orang hebat. Bukan! Ah, kamu itu ada-ada saja. Sudah, yang penting kamu itu lulus. Lalu, jadilah bajingan yang bener setelah lulus,” pungkasnya sambil kembali dengan pekerjaannya yang seabrek. Tumpukan kertas kerjanya memenuhi meja.
Aku masih belum terima. Kembali aku mendesaknya, “Iya sih… tapi, kalau kualitas bajingan lulusannya nggak terjaga dan nggak meningkat, apalah gunanya?”
“Heh! Aku ini masih kerja. Jangan ganggu kerjanya bajingan kampus, tahu?!”
Oke. Aku mundur. Mungkin benar, aku terlalu memaksa untuk tahu. Dan mungkin benar, tidak semua hal harus aku ketahui. Kadang menjadi tidak tahu itu juga perlu. Sangat perlu. Sebab, ketika mengetahui banyak hal, itu artinya ia sedang mengancam diri sendiri. Ah, jadi ingat kata Prof. Norda, “Orang yang terlalu banyak tahu itu orang yang berbahaya. Berbahaya bagi orang lain, juga berbahaya bagi dirinya sendiri.”
Tetapi, bukankan rasa ingin tahu itu harus? Mengapa justru ketika rasa ingin tahu itu muncul kemudian harus dimatikan? Apanya yang salah dengan rasa ingin tahu?
“Ingat, ini Universitas Kejahatan. Maka, manajemen yang berlaku di sini adalah manajemen kejahatan. Ngerti kamu?” timpal temanku yang seorang TU itu.
“Apa itu man….”
“Sssst!”
Sepi kemudian.