KOTOMONO.CO – Sore ini langit agak mendung. Angin bertiup pelan. Matahari merambat, meraih kaki langit. Sisa-sisa panas yang dibawanya masih mengendap di dasar ruang.
Di bawah bayang-bayang gerhana matahari esok hari tadi, cerita misteri “MELAMAR NURJANAH” kini telah berbenah. Lembar demi lembar cerita yang telah terbaca segera sampai di ujung kata. Rasa pahit, manis, asin atau …………… yang pasti………..hambar, telah menyentuh lidah. Karena Raga masih terjaga.
Sejak selesai sholat asar Raga tidak keluar dari kamar. Ia duduk di kursi dekat meja tulis. Kedua sikunya ditumpukan di atas meja. Telapak tangan kiri menopang pipi kirinya sedang telunjuk dan jempol tangan kananya memutar-mutar sebuah cincin. Pandangannya kosong, meskipun tatapan matanya tertuju pada cincin perak yang diputar-putarnya.
Sudah beberapa hari ini Raga mengurung diri di kamar. Wajahnya murung dan jarang bicara.
Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, Ibu Raga memperhatikan anak satu-satunya. Matanya berkaca-kaca.
“Ya Allah…………… mengapa Engkau terus menerus berikan cobaan pada anak kami.” Ratap Ibu Raga dalam hatinya. “Ampuni segala dosa kami ya Allah………..” Lanjutnya sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Kesedihan telah menyelimuti hati Ibu Raga.
Mendung masih meggelantung di bawah langit. Kegelapan pelan-pelan menerobos ruang, menyeret angan Ibu Raga menuju lintasan peristiwa lamaran beberapa hari yang lalu. Acara lamaran yang dibayangkan akan berjalan mulus dan penuh dengan rasa suka cita, terpuruk di hamparan ketidak percayaan atas peristiwa yang ditemui.
Terbayang wajah seorang lelaki paruhbaya yang keluar dari makam dengan menuntun sepeda tuanya. Pak Hasan, seorang juru kunci makam itulah yang telah menguak tabir perjalanan cinta anaknya.
“Sebelumnya saya minta maaf Bu, Pak …………….” Kata Pak Hasan membuka pembicaraan dengan rombongan keluarga Ibu Raga.
“Sengaja Ibu, Bapak dan rombongan saya bawa ke rumah dengan maksud agar tidak menimbulkan kecurigaan warga sini dan orang-orang yang lewat.” Lanjutnya. Pak Hasan menghela nafas. Di tatapnya Ibu dan Bapak Raga.
“Peristiwa seperti ini sudah beberapa kali terjadi……………. perempuan yang Ibu Bapak akan lamar itu memang suka berbuat “iseng”………….” Kata Pak Hasan kemudian.
“Maksud Pak Hasan…………?” Tanya Ibu dan Bapak Raga hampir bersamaan.
“Nuwunsewu……… Bu…….Pak………. Secara wadag di lingkungan sini tidak ada warga yang bernama Nurjanah. Apalagi anaknya masih muda dan cantik………., seperti apa yang tadi Ibu sampaikan, sewaktu di jalan.” Kata Pak Hasan kemudian. Ibu Raga memandangi suaminya.
“Dan rumah yang Ibu, Bapak tuju………. secara kasad mata………, seperti yang juga tadi panjenengan semua lihat sendiri, di seputar masjid……….. rumah itu tidak ada!” Lanjut Pak Hasan.
Seluruh rombongan yang ada di ruang tamu rumah Pak Hasan kaget, saling tatap. Sejenak suasana hening. Lalu Pak Hasan menjelaskan, atau lebih tepatnya meneruskan ceritanya tentang Nurjanah, Rumah Tua dan peristiwa-peristiwa “aneh” yang kerap terjadi di seputar makam itu, sepengetahuannya.
“Jadi…………..” Kata Ibu Raga terputus. Ah! Hampir saja Ibu Raga pingsan begitu mendengar penjelasan Pak Hasan. Tangan Ayah Raga segera meraih pundak isterinya. Dipeluknya erat-erat. Ruang tamu itu tambah hening. Dipikiran mereka kini berkecamuk antara rasa percaya dan tidak.
Senja makin lekat merapatkan dirinya ke pelukan malam. Suara pengajian menjelang maghrib dari toa masjid telah terdengar. Dua buah mobil yang membawa rombongan pun pelan-pelan meninggalkan rumah Pak Hasan. Meluncur, melewati jalan desa. Menembus senja yang telah direnggut malam.
Dan malam selalu rapih menyimpan berjuta misteri yang tak pernah akan selesai untuk diungkap. TAMAT
SEKIAN – Terima kasih sudah membaca Cerita Misteri ” Melamar Nurjanah ” dari awal. Salam
Ide & Tulisan karya : Kang Slamet