Setiap malam, di kampungku beberapa hari ini suara burung yang menakutkan itu terus berbunyi, kami menyebutnya burung kakaut. Ia berputar-putar di arena perkampungan. Menurut beberapa warga, bila burung tersebut berbunyi akan ada anggota keluarga yang meninggal. Aku sendiri baru saja mendengar suara burung itu semenjak pulang kampung, setelah lulus kuliah.
Awalnya aku mendengar pada tengah malam, agak mengerikan. Suaranya mendayu-dayu, pilu, kadang seperti orang menangis. Tapi akhir-akhir ini burung itu semakin meraja lela. Dahulu burung tersebut masih di sekitar pemakaman, kebetulan di samping pemakaman terdapat belukar tinggi dan banyak pepohonan. Di situlah pertama kali ia berbunyi setiap malam. Aku yang baru saja tinggal di kampung lama-lama menjadi was-was jika mendengar suara burung tersebut. Seperti kejadian tahun lalu, ketika Ibu masih sehat dan burung itu berbunyi.
“Entah siapa lagi yang akan meninggal.”
Tiba-tiba beliau berseru, membuatku semakin takut.
“Hanya burung Bu, hewan indemik yang aktif di malam hari, cari makan. Masalah kematian seseorang urusan Tuhan.”
“Ibu tahu itu, bukan mendahului Tuhan, tapi semoga saja memang benar tak ada yang meninggal. Hanya saja jika di zaman Ibu muda itu pertanda, lalu terjadi.”
“Kita berdoa saja Bu, semoga tidak ada apa-apa.”
Aku bersandar di bahu Ibu, menghirup aroma tubuhnya yang sangat kusuka.
“Aamiin.”
Jawab Ibu singkat, sambil mengelus kepala, lalu mengecup dahiku.
***
Keesokan hari kami mendapat kabar duka, bahwa pak Ahmad meninggal dunia tadi subuh. Beliau adalah paman Ibu sekaligus tetangga dekat. Aku terkejut tidak menyangka, baru saja semalam berbincang dengan beliau di teras rumah. Pak Ahmad bercerita tentang masa mudanya, serta pengalamannya selama di Mekkah, saat naik haji tahun kemarin. Ini benar-benar mengejutkan, aku jadi teringat burung kakaut yang berbunyi beberapa hari lalu, juga tentang obrolanku bersama Ibu. Apakah benar adanya demikian?
Perihal burung itu masih jadi misteri, selepas meninggalnya pak Ahmad, disusul pula pak Johar dan sebelum beliau meninggal aku juga mendengar suara burung tersebut berbunyi nenungkik-nukik. Aku sebenarnya tak ingin mempercayai hal seperti itu, tapi kejadian demi kejadian membuat ambigu antara percaya dan tidak. Ditambah beberapa bulan kemudian Ibuku meninggal. Sepeninggal Ibu aku murung begitu lama, kehidupanku seakan hampa. Aku benar-benar terpukul dan sedih begitu dalam.
***
Setelah ibu meninggal, ada sekitar empat orang yang kemudian juga meninggal. Sepanjang itulah burung kakaut berbunyi setiap malam. Hingga aku menjadi tak peduli, bertahun-tahun kemudian suara burung itu jarang terdengar. Tapi kali ini suara burung itu kembali berbunyi, bedanya sekarang sepertinya lebih berani. Dari yang awalnya hanya di sekitar pemakaman sekarang sudah menjelajah hingga ke halaman rumah warga, di pohon-pohon sekitar rumah. Siangnya para warga akan membicarakan perihal burung tersebut, maka muncullah dugaan baru yang menakutkan. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanyalah seekor burung mencari makan, mengenai kematian demi kematian merupakan takdir Tuhan.
Malam ini, suara burung kakaut terdengar berbeda, bunyinya sangat mendayu bahkan lebih keras dan lama. Seperti seekor burung sedang murka dan sebagainya, aku menepis dugaan yang mulai muncul. Tapi keesokan paginya di luar dugaan, Pak Bahri meninggal, aku hanya mengucap innalillahi sambil mengelus dada. Mbak Atun menangis meraung, melihatnya kondisi ayahnya, begitu aku jadi teringat obrolan kami sehari sebelum ayah Mbak Atun meninggal.
“Tiap malam Na, mbak dengar suara burung itu, benci rasanya. Coba saja ditangkap biar tidak menakuti warga.”
“Semoga saja tidak ada apa-apa mbak.”
Aku meyakinkan
“Iya, semoga saja Na, aku jadi takut, sering mbak dengar beberapa hari kemudian ada kabar duka.”
Aku ikut prihatin melihat mbak Atun yang menangis sesegukan menatap jasad ayahnya terbujur kaku. Terbayang dua tahun silam saat Ibu meninggal, juga paham bagaimana rasanya melihat orang tua terbujur kaku tak bernyawa. Tak bisa dijelaskan, sekarang hanya ada Bapak seorang aku miliki.
Usai kejadian meninggalnya pak Bahri, empat hari setelah meninggalnya beliau, burung itu kembali berbunyi di samping rumah Mbak Asti, hingga besok siang terdengar kabar bahwa kerabat dekatnya meninggal di kampung sebelah. Lagi dan lagi kabar duka berdatangan. Aku menjadi ikut-ikutan membenci burung tersebut, belum lagi setelah meninggalnya kerabat Mbak Asti, sepupu Bapak di luar daerah juga dikabarkan meninggal karena sakit. Oh Tuhan, aku semakin jauh berpikir, apa benar burung itu mengabarkan tentang kematian seseorang.
Karena suara burung itu terus berbunyi setiap malam, warga sepakat ingin memasang perangkap. Karena membuat warga resah, salah satunya Bapak juga pernah suatu malam turun ke tanah, burung itu bertengger di pohon mangga depan rumah, hanya sebentar. Bapak datang hendak memukul dan burung itu telah terbang begitu saja. Pikiranku sempat kacau beberapa hari, cemas di dalam rumah kami akan ada yang meninggal. Aku, kakak, atau Bapak, sungguh hal itu mengganggu pikiran.
Tapi kenyataannya Alhamdulillah tidak ada yang meninggal, hanya saja burung itu terus berbunyi di ujung kampung dekat sekitar pemukiman warga. Kadang burung tersebut hinggap di dahan ke dahan pohon di samping rumah warga, hingga menimbulkan keresahan.
Kemarahan warga terhadap burung itu sudah tak bisa dibendung, terutama Ibu-Ibu yang sangat mempercayai hal tersebut. Sudah banyak perangkap dipasang, bahkan di mana asal suara burung itu berbunyi, hasilnya tetap nihil, hingga para warga kelelahan sendiri menghadapi.
Seiring berjalannya waktu, mereka tak peduli lagi. Sedangkan burung itu terus berbunyi pada malam hari, kadang juga tidak. Sudah tidak begitu dipedulikan, karena terlalu sering berbunyi. Kadang juga tidak ada siapa-siapa yang meninggal, meski burung itu berbunyi. Masih beberapa warga saja yang memperhatikan mengenai kepercayaan itu, selebihnya kebanyakan di kampung ini sudah tidak peduli.
Riau, 2023