KOTOMONO.CO – Ruang-ruang diskusi menjadi poin penting dari sejarah coffee shop, warna-warni ide dan gagasan progresif seharusnya yang memenuhi ruang dan sudut coffee shop.
Kopi menjadi minuman yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia di pagi dan sore hari. Hampir setiap dapur di masing-masing rumah tersedia kopi sebagai teman membaca buku, menonton televisi, atau sekadar bercengkrama dengan keluarga. Aroma dan rasa yang khas dari kafein yang terkandung dalam kopi menjadi daya tarik tersendiri dari minuman yang berasal dari tanaman kopi ini.
Apalagi bagi para perokok, kopi mejadi suatu yang tidak bisa dipisahkan dari rokok. Sensasi yang nikmat dengan perpaduan rasa rokok dan after taste kopi yang masih tertinggal di mulut. Selain itu, kekhasan rasa dan aroma kopi menjadi sumber inspirasi bagi sebagian orang yang memerlukan nalar kreatif untuk berkreasi. Bahkan, kopi menjadi sumber inspirasi dan jembatan untuk melakukan revolusi di berbagai Negara.
Selain dinikmati di rumah, sudah banyak kedai kopi atau coffee shop dengan berbagai konsep yang menarik. Di berbagai kota di Indonesia coffee shop menjadi salah satu industri yang paling banyak dijumpai. Para pelaku ekonomi seolah berlomba-lomba mendirikan coffee shop karena melihat peluang bisnis ini profitabel.
BACA JUGA: 5 Hal ini Hanya Terjadi Pada Mahasiswa Universitas Terbuka, Lucu Sih!
Animo masyarakat terutama anak muda yang sering nongkrong memberikan peluang besar bagi industri ini. Ditambah lagi, bonus demografi yang rentan usia remaja hingga dewasa menjadi yang paling banyak menjadi peluang besar dari sisi ekonomi.
Coffeee shop selain menjadi tempat untuk menikmati kopi, juga menjadi tempat bercengkrama dengan krabat dan teman untuk sekadar bercerita dan bertukar kabar. Apalagi daya tarik coffee shop sekarang tidak hanya sekadar dengan rasa kopinya saja, tetapi tempat yang memiliki beragam gaya yang unik, vintage, tradisional, natural, minimalis, modern, hingga bernuansa ala eropa menjadi daya tarik untuk berfoto dan berselfie ria untuk dijadikan konten di media sosial.
Faktanya coffee shop biasanya hanya dijadikan tempat untuk bermain video gim dan tempat berselfie ria. Bagi para gamers berkumpul bersama bermain gim menjadi atmosfer tersendiri dengan sensasi cuitan-cuitan ”kalimat toyyibah” yang penuh penghayatan. ”Djancuk, asu, bangsat, dll” sudah menjadi nada selingan diantara musik coffee shop yang berdendang.
BACA JUGA: Saran Kepada Bupati Daerah dan Gubernur untuk Mengatasi Banyaknya Pelajar yang Hamil di Luar Nikah
Bagi mayoritas kaum hawa dan sebagian kaum adam, coffee shop yang instagramable menjadi objek untuk berselfie ria memamerkan outfit dan keanggunan tubuh ke media sosial dengan alasan ”kebutuhan konten”, sampai-sampai lupa kopinya belum di minum.
Sementara hanya sebagian kecil yang benar-benar menikmati kopi dan suasana dialektika. Kopi dijadikan selingan di tengah dialektika progresif bersama kerabat dan teman tentang apa pun yang perlu dibicarakan. Pengaruh kemajuan teknologi nampaknya banyak mengubah esensi pertemuan di coffee shop sebagai sarana untuk bercengkrama, berdialektika, serta menikmati rasa dan aroma kopi.
Sesungguhnya fakta sosial yang terjadi di coffee shop sudah melenceng dari konteks sejarah coffee shop sebagai sarana mencurahkan gagasan untuk perubahan progresif yang ada di suatu kota bahkan negara.
BACA JUGA: Alasan Kenapa Ekskul Pramuka Punya Banyak Haters
Di Paris, coffee shop menjadi tempat berdiskusi dan berkembangnya informasi yang dilakukan oleh mayoritas anak muda. Bahkan dari perang gagasan dan ide oleh para intelektual dan seniman, coffee shop tersebut melahirkan berbagai kritikan terhadap kekuasaan absolute yang pada akhirnya terjadi gerakan Revolusi Prancis.
Di Jerman, pada masa Frederick the Great, budaya minum kopi merajalela sehingga Frederick mengeluarkan seruan kepada rakyatnya untuk beralih ke minuman wine. Di Inggris, King George II, membenci budaya minum kopi karena hasil diskusi di coffee shop tentang kritikan terhadap kerajaan. Hal itu sampai sekarang bikin budaya minum kopi kalah popular dengan budaya minum teh di Inggris.
Coffee shop memiliki sejarah intelektual dan perubahan yang seharusnya dapat dilestarikan di era hujan informasi yang perlu dikaji bersama. Sebab konon kopi mengandung zat yang memberikan daya pikir dan konsentrasi tetap terjaga sehingga dapat memberikan inspirasi bagi para peminumnya.
BACA JUGA: Jenis-Jenis Paham Ateisme dan Bagaimana Membantahnya
Ruang-ruang diskusi menjadi poin penting dari sejarah coffee shop, warna-warni ide dan gagasan progresif seharusnya yang memenuhi ruang dan sudut coffee shop. Coffee shop tidak selalu tentang hura-hura sembari memamerkan outfit terbaru, iphone terbaru, gim, dll yang memenuhi ruang dan sudut coffee shop yang minim progresivitas.
Bonus demografi yang melanda Indonesia menjadi kesempatan bagi anak muda dan usia produktif untuk menjadikan coffee shop sebagai ruang perang ide dan gagasan untuk progresivitas lingkungan sekitar. Bukan hanya sekadar healing dan berhura-hura saja, tetapi harus dipikirkan masa depan bangsa Indonesia ada di pundak para generasi muda.
Oleh karena itu, konsep coffee shop revolusi berdasarkan sejarah memberikan reminder bagi generasi milenial. Bahwa, esensi coffee shop adalah ruang diskusi intelektual progresif yang bermanfaatan bagi kemajuan bangsa. Bukan hanya terjebak pada konsep coffee shop selfie yang seolah memburu eksistensi, popularitas, dan kesenangan sesaat individu atau sekelompok saja.