Rinai hujan sejak sore itu membuat permukaan jalan-jalan berlubang tampak rata oleh air yang tergenang. Seekor kodok meloncat, menceburkan diri ke dalamnya. Tersuara kecipak air. Permukaan air yang semula tenang tampak bergelombang. Pantulan cahaya lampu kekuningan mendadak kehilangan bentuknya.
Seketika, bibirmu mengangsurkan sebuah kalimat tanya yang terpetik dari seutas ranting pikiranmu. Dirambatkan lewat hawa dingin yang menggigilkan tubuh, kalimat tanya itu diantar pula oleh cerau hujan.
“Tolong jelaskan padaku, Mas. Apa artinya kesepian?” tanyamu.
Aku tak lekas menjawab. Hanya menjenak. Kutangkap sorot matamu bagai bola kristal basah yang memantul-mantulkan cahaya. Kusaksikan pula garis lengkung alismu tampak lesu. Sungguh, tatapanmu telah melumat seluruh dayaku. Hingga, lidahku kehilangan gairah untuk sekadar mengucap kata-kata. Aku menunduk.
“Katakan, Mas. Apa artinya kesepian?” ulangmu.
Pertanyaan itu membenamkanku semakin dalam. Membuat ceruk hatiku kian memalung. Karena, aku tahu, kau tidak sedang bertanya. Kau hanya ingin kepastian yang belum sanggup aku berikan. Mungkin juga tak akan pernah.
Aku tahu, kau pasti telah mendengar semuanya. Bahwa ketidakmungkinan terang-terang akan menjadi kenyataan. Dan, seperti sebatang pohon, ketidakmungkinan itu segera akan meranggaskan daun-daunnya, merobohkan batangnya hingga mencerabut akarnya. Saat itu, tak ada lagi bunga apalagi buah yang tumbuh pada dahan-dahannya.
“Mas,” ucapmu untuk sebenarnya mengulang pertanyaan yang sama.
Pelan aku menggeleng. “Aku tak tahu apa itu kesepian,” jawabku kemudian.
Kau menunduk. Entah apa yang tiba-tiba berkecamuk dalam batinmu. Tetapi, hatiku merasakan kelesah yang akhirnya membuat tangismu pecah.
Dengan sesenggukan lantas kau berkata, “Apakah itu artinya kau menyerah?”
Lagi-lagi aku menggeleng. Tetapi, aku tidak tahu apa arti gelengan kepalaku. Sebab, untuk mengatakan tidak, rasanya lidahku lunglai. “Aku…,” kataku. “Aku…, aku tidak tahu dengan kalimat apa mesti kujawab pertanyaanmu itu.”
Seketika, isak tangismu menjadi. Kau tengadahkan wajah menantang deras hujan. Berharap hujan mengalirkan dan mengusir tangismu. Tetapi, sungguh aku tak tahu harus berbuat apa padamu.
“Maafkan aku, sayang,” ucapku lirih.
“Tidak, Mas. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah jelas. Aku terlalu dalam memasuki ruang hatimu di saat kau duduk di atas batu besar yang kini mesti kau panggul.”
Sesaat kemudian, kau menghela napas. Wajahmu tiba-tiba berubah. Begitu pula caramu memandangku. Seperti orang yang baru bertemu dan tak saling mengenal. Kau tersenyum. Sebuah senyuman yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Senyuman yang asing bagiku.
“Ah, aku sudah baikan sekarang,” ucapmu tanpa beban. “Aku lega.”
Aku makin asing menatapmu. Kau benar-benar berubah. Begitu cepat berubah.
“Kau kenapa?” tanyamu dengan nada manja.
“Aku?”
“Ya! Kau. Siapa lagi? Di sini tidak ada orang selain kau dan aku,” jawabmu enteng.
“Sebentar. Kau…,” belum usai kutanyakan padamu tentang perubahan yang kau alami. Lekas-lekas kau menukas.
“Aku hanya seorang pengembara. Dari sejak lahir aku sudah ditakdirkan menjadi seorang pengembara,” kau berdiri kemudian. Lalu berjalan menghampiri pohon tua di dekat batu. “Kalau kau tak percaya, akan kuperlihatkan padamu.”
Sejurus kemudian, kau menggerakkan tubuhmu. Memainkan jurus mematikan yang pernah diajarkan Ibuku. Lincah kau meloncat ke atas batu besar itu. Tubuhmu melesat ringan. Lalu mendarat dengan bertumpu pada satu kaki. Kedua tanganmu kau bentangkan. Gerakan itu sangat aku kenal. Tidak salah lagi. Itu jurus andalan Ayahku!
Tak berapa lama kemudian, kaki kirimu menjejak. Dan tubuhmu kembali melesat, melayang-layang di udara. Kemudian hinggap di salah satu cabang pohon tua itu.
“Kau lihat, kan?!” teriakmu.
Aku makin dibuatmu keheranan. Aku makin tak mengerti. Apa sebenarnya yang tengah terjadi padamu, sungguh aku tak mengerti.
“Dan, mesti kau ingat. Sebentar lagi, aku akan mengajarimu arti kesepian.”
Setelah kau ucapkan itu. Kau kembali melesat. Meloncat dari satu cabang pohon ke pohon lain. Begitu cepat kau menghilang. Hanya suaramu yang tertinggal.
“Seorang pengembara telah ditakdirkan untuk menyusuri kesepiannya. Sementara seorang pangeran, baru akan mengerti apa itu kesepian saat ia berada di atas puncak kekuasaan. Maafkan aku, Kangmas, aku harus meninggalkanmu. Dan, jangan pernah kau cari aku, sebelum kau mengerti apa artinya kesepian! Selamat tinggal!”
“Nimas! Nimas! Kemana kau?! Nimas! Jangan tinggalkan aku!” seruku.
Tetapi, percuma.
Sokola Sogan, 21 November 2021