KOTOMONO.CO – Anggapan miring terhadap lembaga kepolisian sepertinya sudah umum. Pandangan tak sedap yang ditujukan kepada lembaga penegak hukum ini kerap mewarnai dalam obrolan-obrolan di warung kopi, pasar, atau pun di tempat-tempat lain. Hal ini membuat citra kepolisian seperti hilang wibawa. Apalagi lembaga yang satu ini tergolong lembaga yang paling disorot oleh masyarakat, karena hubungannya dengan masyarakat nyaris tak berjarak.
Tak heran jika upaya perbaikan citra kepolisian kerap dilakukan, hampir di setiap pergantian Kapolri. Termasuk yang dilakukan Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kapolri baru yang dilantik hari Rabu (27 Januari 2021) pagi. Kapolri baru yang menggantikan Jenderal Idham Azis ini berkomitmen untuk membenahi lembaga yang dimpimpinnya dengan menawarkan delapan komitmen. Salah satunya, menjadikan Polri sebagai lembaga yang Prediktif, Responsibilitas, Transparasi berkeadilan.
Tetapi, tahukah Anda bahwa ternyata upaya perbaikan citra itu pernah juga dilakukan oleh Jenderal Hoegeng? Kala itu, 1 Mei 1968, pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi Komjen. Empat belas hari kemudian ia diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Kepolisian di Mabes Polri, Kebayoran Baru dengan inspektur upacara Jendral Soeharto.
Setelah menerima jabatan itu, Hoegeng kemudian berkomitmen untuk melakukan pembaruan di tubuh Angkatan Kepolisian Republik Indonesia. Ada dua hal yang dilakukannya. Pertama, mengganti nama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Tentu, penggantian nama ini tidak hanya ganti nama. Melainkan pula mengubah kedudukannya di dalam kelembagaan pemerintah. Tugas dan fungsinya pub berubah.
BACA JUGA : Jalur Kereta Api Dalam Kota Pekalongan
Jika sebelumnya, AKRI menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata yang sifat kelembagaannya cenderung militeristik, maka pada kelembagaan POLRI tidak demikian. POLRI lebih ditekankan pada upaya menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dan bertanggung jawab atas ketertiban masyarakat, terutama keamanan dalam negeri.
Sejak saat itu pula, kedudukan POLRI sejajar dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang sama-sama berada di bawah kendali Menteri Pertahanan dan Keamanan. Sebelumnya, AKRI merupakan bagian dari ABRI. AKRI berada di bawah naungan ABRI dan berada di bawah kendali AU, salah satu unsur ABRI.
Perubahan ini menjadi angin surga bagi seluruh anggota Kepolisian Republik Indonesia dan keluarga mereka. Sebab, dari segi ekonomi, perubahan ini memberikan secercah harapan bagi kesejahteraan mereka, kala itu. Setidaknya, pengelolaan keuangan lembaga dapat dilaksanakan secara lebih mandiri daripada sebelumnya.
Kedua, penggantian nama lembaga juga berpengaruh pada perubahan struktur organisasi. Jika sebelumnya lembaga kepolisian dipimpin oleh Menpangak, maka pembaruan itu akhirnya dipimpin oleh seorang Kapolri.
BACA JUGA : Jejak Perjuangan Otto Iskandardinata di Pekalongan (1924 – 1928)
Kedudukannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, maka membuat Polri kala itu perlu melakukan perubahan pula di dalam menjalin kerja sama dengan masyarakat. Salah satunya dengan menjalin hubungan sebaik-baiknya dengan pers. Polri lantas lebih terbuka terhadap pers. Pemberitaan pers tentang kegiatan Polri, juga gagasan dan aspirasi masyarakat terhadap Polri merupakan “buku harian terbuka” Polri.
Hoegeng menghayati betul pekerjaannya sebagai seorang polisi. Sebelum jam dinding menunjuk angka pukul 07.00, tampak ia sudah berada di dalam kantornya. Padahal, sebagian besar stafnya belum tampak hadir. Ini dilakukan sebagai cara Hoegeng memberi contoh kepada bawahannya. Seorang pelayan masyarakat sebisa mungkin harus sedini mungkin untuk siap siaga melayani.
Uniknya lagi, setiap berangkat ngantor, beliau selalu melewati rute yang berbeda-beda. Dengan cara itu, beliau bisa mendapatkan gambaran situasi di setiap jalur yang dilaluinya. Saat itu pula beliau memeriksa situasi lalu lintas pada tiap ruas jalan yang dilalui. Beliau juga selalu mencari tahu apa sebab kemacetan di ruas-ruas tertentu, bagaimana juga kondisi jalan dan rambu-rambu lalu lintasnya, sembari mengontrol kinerja anak buahnya yang sedang mengatur lalu lintas. Sebab, beliau sadar betul bahwa tugas utama seorang polisi adalah melayani masyarakat.
BACA JUGA : Mubarak Kelip, Si Cabe Rawit Andalan Timnas Indonesia
Hoegeng dikenal sebagai sosok polisi yang low profile. Nggak gengsian. Meski sudah duduk di jajaran pejabat tinggi, beliau tak sungkan-sungkan untuk turun ke bawah. Setiap Hari Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, beliau selalu ikut berpatroli bersama dengan jajaran pimpinan POLRI. Beliau datangi pusat-pusat keramaian, selain memeriksa dan memastikan keadaan aman, itu dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada masyarakat. Langkah itu sekaligus sebagai caranya untuk memberi kesan bahwa polisi juga bagian dari masyarakat.
Tanggung jawab besar yang ada di pundaknya itu dijalankan sepenuh hati. Tidak hanya kepada masyarakat, melainkan pula kepada apa-apa yang pernah didapat semasa belajar di PTIK. Baginya, apapun yang diterima selama menempuh studi di PTIK tidak akan ada gunanya jika tidak menjadi kebiasaan sehari-hari. Harapan untuk mewujudkan rasa aman di tengah masyarakat yang dilandasi rasa kepercayaan, tidak lain adalah dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran yang diterima seorang polisi di PTIK. Kehadiran polisi di tengah warga, sudah semestinya mendatangkan rasa tenteram. Bukan sebaliknya.
Seorang Jenderal, dalam pandangannya, bukanlah orang yang duduk di belakang meja. Jenderal, adalah siapapun yang mau dan sanggup berada di posisi paling bawah sekalipun. Tetapi, tujuannya adalah menjadi pelayan yang sebenar-benarnya melayani masyarakat.

Prinsip itulah yang membuat Hoegeng tidak pernah merasa segan untuk turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi, yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak ditempat. Misalnya, jika terjadi kemacetan disebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Hoegeng menjalankannya dengan ikhlas, seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain, tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.
BACA JUGA : Biografi Jenderal Hoegeng Iman Santoso
Atas dasar asumsi agar senantiasa dekat dengan masyarakat pula, Hoegeng tidak merasa perlu memasang gardu penjaga di halaman rumahnya, di kawasan Menteng. Hal itu dibuat, agar seseorang tidak merasa takut atau enggan bertamu ke rumah seorang Kapolri. Kalau ada yang enggan dan takut bertamu, justru Hoegeng merasa tidak enak, karena terisolasi.
Dari buku
HOEGENG
Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa