KOTOMONO.CO – Sore setelah sholat Asar, Wagiman duduk terpaku di mushola. Setiap sore memang tidak ada orang mengaji di mushola Kampung Lewah. Banyak orang sesudah Asar langsung kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Ada yang kerja. Mempersiapkan buka. Ada pula yang bersih-bersih.
Wagiman adalah orang yang lain. Dia tidak bekerja. Dan sore tersebut, pria yang tidak punya istri itu terdengar menangis di mushola. Entah apa yang ia tangisi. Yang pasti tidak ada mayat berbaring di hadapannya. Mungkin dia menangis karena tidak punya uang sama sekali.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi belum tentu juga. Sekalipun ia hari itu tidak bekerja, tapi orang-orang bilang kalau Wagiman punya pekerjaan. Apa pun itu, semua orang tak tahu menahu pekerjaan Wagiman. Barangkali trading, tapi itu mustahil karena yang orang-orang Kampung Lewah tahu hanya dinding.
Saat itu pula, Cak Kendor datang ke mushola. Seperti biasa, sehabis Asar, Cak Kendor selalu membersihkan mushola. Ini bukan karena ia ingin menambah pahala, tapi Cak Kendor sekadar ingin ikut berbuka. Lamat-lamat Cak Kendor mendengar tangisan Wagiman.
“Ya.. Allah.. Ampuni saya Ya Allah…” tangis Wagiman yang seperti sedang memohon ampun.
“Ampunilah dosa-dosa saya, Ya Allah…”
“Sebelum puasa ini habis, dan berhubung baru mulai, saya mohon ampun kepada-Mu, Ya Allah…”
“Ampunilah segala dosa-dosa saya. Saya sering berbuat dosa Ya Allah. Masih sering maksiat, masih sering berbohong, masih jarang sedekah… Astagfirullahaladzim…”
Tak puas hanya mendengarkan Wagiman memohon ampun, Cak Kendor pun masuk ke dalam mushola. Ia memanggilnya. “Man… Wagiman…” Tapi yang bersangkutan tidak menyaut.
Merasa Wagiman mengacuhkannnya, Cak Kendor memilih mendekat. Ia menempuk pundak Wagiman. Pria itu kaget bukan kepalang.
“Astagfirullah… Ono opo tho, Cak?”
“Sampeyan lagi ngopo, tho Man, Wagiman?”
“Aku ki lagi ndungo, Cak. Berdoa dan memohon ampun karo Gusti Allah…”
“Istighfar?”
“Ya ngunu kui lah, Cak. Wes lah, Cak, sampeyan ndak perlu di sini. Ndak usah ganggu aku lagi istighfar, Cak!”
“Lho, aku iki arep resik-resik mushola. Arep melu buka nang kene mbarang.”
“Yawes mono resik-resik! Rak usah mrene ganggu aku!”
“Iyo. Eh tapi kamu tadi istighfar? Ingat dosa dan minta ampunan sama Gusti Allah?”
“Cak… Cak… Aku wes ngomong. Aku lagi istighfar. Ndungo. Njaluk ampun maring Gusti Allah. Lha aku kudu njelaske nganggo bahasa opo maneh, jal?”
“Kamu ndak bakalan diampuni, Man.”
“Lho kok, ndak bakal diampuni itu gimana, Cak? Sampeyan bukan stafnya Gusti Allah. Ojo kewanen, Cak!”
“Lha… bener, kan? Bagaimana Gusti Allah mau mengampuni, wong Dia itu Maha Pengampun. Awakmu wes lali pelajaran Asmaul Khusna, tho?”
“Ojo sembarangan, Cak. Jelas aku masih ingat, kok.”
“Lha kok masih tetap minta ampun ke Gusti Allah? Memangnya kamu ndak percaya Gusti Allah itu Maha Pengampun?”
“Ah, yo ndak gitu juga, Cak. Wes lah aku tak pulang…”
“Kok malah pulang?”
“Nanti Maghrib kita tanyakan saja ke Ustaz Ndirin.”
Maghrib pun tiba. Cak Kendor asyik masyuk menikmati kue pukis dan dua gorengan tahu. Sementara, tak diduga Wagiman turut berbuka bersama. Ia ingin menanyakan perkara tadi sore ke Ustaz Ndirin. Kebetulan Ustaz Ndirin juga ikut berbuka bersama.
“Taz…”
“Iya, ada apa, Man?”
“Nganu, saya mau nanya, Taz?”
“Nanya apa? Saya ndak mau minjemin duit lho, ya.”
“Yang mau minjem duit sopo tho, Taz… Taz…”
“Yawes, cepet mau nanya apa?”
“Begini, ustaz. Tadi sore kan saya sedang istighfar. Saya mohon ampun pada Gusti Allah. Eh, tiba-tiba kok Cak Kendor bilang permohonan ampun saya ndak bakal diterima.”
“Benar begitu, Cak?”
“Benar, Ustaz.”
“Sampeyan jadi kayak stafnya Gusti Allah ya, Cak,” kata Ustaz Ndirin sambil sedikit terkekeh.
“Tidak ada orang yang tidak mau jadi stafnya Gusti Allah, taz. Tapi maksud saya bukan sok tahu, taz. Tapi saya merasa aneh saja melihat Wagiman memohon ampun pada Gusti Allah yang punya sifat Maha Pengampun.”
“Maksudnya, Cak?” Tanya Ustaz Ndirin.
“Gusti Allah itu sudah Maha Pengampun. Mau kita meminta ampun atau tidak, otomatis bakal diampuni…”
“Teruskan, Cak…”
“Jadi, setahu saya, taz, yang namanya Maha Pengampun itu Yang Paling Mengampuni. Jadi Gusti Allah itu bukan seperti manusia yang kalau memberi maaf harus dimintai maaf dulu. Makanya istighfar ndak perlu minta maaf segala…”
“Lha itu bener. Lalu, apa yang kamu risaukan, Man?”
“Kok bener sih, taz? Masak istighfar ndak memohon maaf?”
“Ya memang begitu. Istighfar itu ndak seharusnya diisi permohonan maaf doang…”
“Lah bukannya istighfar itu sarana untuk memohon maaf?”
Mendengar dialog itu, Cak Kendor hanya bisa berdiam diri. Ia tetap makan takjil yang sudah tersedia, sambil sesekali menyeruput teh manis.
“Begini, Nabi itu kalau istighfar tak lupa memohon ke Gusti Allah ‘Saya kembali kepada-Mu dengan membawa nikmat-Mu’. Maknanya, ketika istighfar itu ndak semuanya dihabiskan dengan mengingat dosa…”
“Masih belum jelas, ustaz,” kata Wagiman.
“Jadi istighfar itu ndak perlu kamu habiskan untuk meratapi dosa-dosamu. Bahkan menurut Abdul Qosim Al Qusairy ‘Orang istighfar kok ingat dosa itu berarti orang sombong’…”
“Lha terus, kalau istighfar ingat apa, taz?” Tampaknya Wagiman masih belum puas.
“Mudah saja. Ingat seberapa luasnya nikmat dari Gusti Allah…”
“Lho, istighfar kok ingat nikmat, ustaz?” Wagiman masih belum puas.
“Kalau kamu istighfar, ingat dosa, dan terus nangis. Apa yang kamu rasakan?”
“Ndak nyaman, taz. Merasa saya itu sangat berdosa.”
“Nah itu masalah, Man. Istighfar itu kan buat mendekatkan diri ke Gusti Allah. Ketika kamu dekat, dan ingat dosa, kamu menangis, dan kamu justru jadi ndak nyaman sama Gusti Allah…”
“Terus, ustaz…”
“Harusnya ketika kamu istighfar itu kamu sadar diri. Semestinya berdoa ‘Ya Allah, saya yang banyak dosa ini kok masih tetap Engkau kabulkan doanya. Masih tetap Engkau terima ampunannya’. Jadi kita asyik mensifati Allah. Bahwa Allah itu Ghofur. Allah itu Rohim, dan sebagainya…”
Mendengar penjelasan itu, Wagiman hanya bisa mengangguk-angguk. Entah paham atau tidak paham, tiada siapa yang mengerti.
——————————————————
Disarikan dari keterangan yang disampaikan KH. Bahauddin Nur Salim