KOTOMONO.CO – Sebuah majalah kampus di Kota Pekalongan baru-baru ini menerbitkan edisi anyarnya. Terbitan mereka kali ini menyuguhkan masalah Pendidikan Kesetaraan Gender sebagai tema utamanya. Ini menarik, karena isu-isu seputar Kesetaraan Gender memang sedang marak-maraknya dibincangkan.
Saya tak mau ketinggalan. Saya ikut hadir dalam acara peluncuran mereka dan tentu membaca tulisan-tulisan di dalam majalah edisi terbaru mereka. Saya pelajari satu demi satu tulisan yang termuat di dalam majalah tersebut.
Pada rubrik pertama, ruang diskusi, majalah ini memuat semacam tajuk rencana mungkin, karena penulisnya mencoba mengajak pembaca untuk membahas masalah kesetaraan gender. Dimulai dari hal umum yang menyoroti problematika gender yang katanya masih belum adil.
Oleh penulisnya dinyatakan, penilaian itu didasarkan oleh sejumlah penelitian. Sayangnya, judul penelitian dan nama peneliti yang dirujuk tak disebutkan. Misal, ambillah penelitian terdahulu dan kekinian. Keduanya lantas diperbandingkan untuk menemukan perubahan dan perkembangannya.
Boleh juga diambil dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah. Karena saya punya keyakinan, tulisan-tulisan di dalam majalah ini berbasis riset yang diperkaya dengan data-data faktual yang konkret.
Mengapa penelitian-penelitian itu diperlukan? Tentu ada alasan kuat. Terutama, saat menyuguhkan hipotesis kepada pembaca. Dengan begitu, ada efek kejut di halaman pertama yang mampu membelalakkan mata pembaca, sehingga membuka peluang untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi yang seru pada tulisan-tulisan berikutnya.
Pada paragraf keempat dan kelima, mata saya agak menemukan kesegaran. Saya menemukan dua judul buku yang dirujuk. Yaitu, Pembagian Kerja Secara Seksual karya Arief Budiman (1985) dan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021).
BACA JUGA: Menyongsong Kepunahan Tukang Canting dan Tukang Sungging
Dua judul buku tersebut cukuplah membuat saya senang. Sebab, saya beranggapan lewat pengutipan dua buku tersebut akan didapat sebuah gambaran tentang perkembangan isu kesetaraan gender. Terlebih-lebih kedua buku tersebut ditulis pada era yang berbeda dan tentu saja dengan perspektif yang berbeda pula.
Akan tetapi, pengutipan dari dua sumber tersebut masih menyoroti pada pernyataan yang cenderung umum tanpa memberikan rincian. Pada sumber buku yang pertama terkutip kalimat “pembagian kerja yang menempatkan perempuan pada ranah domestik membuat perempuan tidak berkembang secara manusiawi….” Sementara, pada sumber kedua, dikutiplah kalimat “kesetaraan gender di Indonesia masih jauh dari negara-negara lain sehingga masih perlu untuk terus diperjuangkan….”
Teknik pengutipan sumber tersebut masih cenderung menghasilkan wacana yang bias. Apalagi tanpa didukung data yang kuat. Juga tidak dijelaskan hal-hal apa yang memiliki keterkaitan dengan isu gender. Dalam hal ini, masalah gender jelas-jelas memiliki kaitan dengan kebijakan, perilaku, budaya, politik, dan sebagainya.
Tak heran jika pada bagian berikutnya, terutama dimulai dari paragraf keenam, pendalaman masalah terkesan ambyar. Pada paragraf ini disebutkan:
Dapat kita lihat di perguruan tinggi sendiri, masih sering dijumpai budaya marginalisasi gender di berbagai sudut kegiatan, misalnya dalam kegiatan organisasi mahasiswa. Masih sering ditemukan laki-laki sebagai pemimpin, sedangkan perempuan ditempatkan di posisi yang terpinggirkan, seperti sekretaris dan bendahara. Dari budaya-budaya macam itulah memunculkan istilah, “Suara laki-laki lebih didengar daripada suara perempuan”.
Caraka, edisi V/2022, hlm.5
Secara selintas, mungkin saja pernyataan tersebut dipandang sebagai perihal yang tidak bermasalah. Tetapi, jika dicermati lebih mendalam, pernyataan itu menunjukkan sebuah masalah yang belum tuntas.
BACA JUGA: Menambah Wawasan Tentang Islam Dengan Buku Journey To The Light
Pertama, mengenai organisasi dan kepemimpinan. Tulisan tersebut belum menjelaskan apa itu organisasi, baik struktur dan fungsinya bagi komunitas mahasiswa di kampus. Organisasi, khususnya organisasi mahasiswa, dibentuk oleh mahasiswa sebagai upaya bersama untuk menjalankan tata kelola komunitas mahasiswa dalam lingkungan kampus.
Sementara, agar fungsi manajerial ini berjalan dibutuhkan struktur kerja yang terbagi ke dalam berbagai posisi. Secara sederhana, pembagian posisi ini disebut sebagai struktur organisasi. Akan tetapi, pembagian posisi ini bukanlah sebuah pembagian strata, melainkan menjadi sebuah kesatuan untuk menjalankan tugas dan fungsi organisasi, yaitu menjalankan amanat yang dititipkan oleh masyarakat kampus kepada pengurus organisasi.
Dengan begitu, struktur organisasi sebuah organisasi mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah model kepemimpinan. Maka, orang-orang yang berada di dalamnya bisa disebut sebagai pemimpin komunitas mahasiswa. Hanya, mereka memiliki tugas dan kewenangan yang disesuaikan dengan peran mereka masing-masing di dalam struktur kerja.
Ketua bertugas sebagai manajer dari struktur kerja tersebut agar organisasi berjalan dengan sebaik-baiknya. Berupaya mewujudkan cita-cita bersama yang disepakati oleh komunitas mahasiswa dalam kampus. Ketua mesti mampu menggerakkan seluruh elemen yang ada di dalam struktur kerjanya sekaligus elemen-elemen di luar struktur. Sehingga, keputusan yang diambil organisasi bukan mutlak keinginan ketua, melainkan hasil kesepakatan dan kemufakatan seluruh mahasiswa.
Malahan, tata kelola organisasi mahasiswa semestinya didasarkan atas kesepakatan seluruh elemen mahasiswa yang telah dicapai sebelum organisasi itu terbentuk. Dari sana pula, segala rencana dan cita-cita bersama dibangun. Dalam rangka itu, dibikinlah tata aturan mainnya.
Jadi, kepemimpinan komunitas mahasiswa di dalam sebuah lingkungan kampus bukanlah kepemimpinan simbolik. Akan tetapi, kepemimpinan yang dibangun melalui kesepakatan yang mengikat satu sama lain. Sedang organisasi hanya metode sekaligus model untuk menjalankan visi dan misi yang disepakati bersama tersebut.
Agaknya aneh jika dalam tulisan tersebut justru menyoroti masalah internal struktur kerja yang disebut sebagai organisasi itu. Hemat saya, organisasi adalah lembaga kepemimpinan. Maka, siapapun yang ada di dalam struktur kelembagaan adalah para pemimpin. Tidak ada lagi istilah sekretaris, bendahara, dan lain-lain.
BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan
Hal tersebut menambah rasa kecurigaan saya makin menjadi. Jangan-jangan ada yang keliru di dalam memahami budaya berorganisasi.
Ya, budaya berorganisasi adalah permasalahan kedua yang agaknya menjadi poin yang dapat diambil dari tulisan tersebut. Seperti telah saya jelaskan, organisasi dari sebuah komunitas merupakan representasi sekaligus keterwakilan dari komunitas besar yang dikelola organisasi.
Jika persoalan yang diajukan dalam tulisan tersebut menyoroti masalah dominasi peran antara pengurus organisasi laki-laki dan perempuan, rasa-rasanya aneh. Bahkan, memberi kesan bias. Masalah isu gender menjadi kurang tajam dibahas.
Sependek pengetahuan saya, di beberapa kampus saya menemukan struktur organisasi yang cukup dibilang mampu mengetengahkan isu gender ke dalam organisasi. Yaitu, dengan membuat divisi khusus yang menangani masalah isu gender. Divisi ini biasanya dinamakan Divisi Pemberdayaan Perempuan.
Jadi, soal-soal yang menyangkut kesetaraan gender dibahas di divisi ini. Kemudian, lewat divisi ini juga dihasilkan berbagai program dan kegiatan yang berpihak pada isu kesetaraan gender. Termasuk di dalamnya, menyoroti kebijakan kampus yang pro kesetaraan gender. Juga memberi masukan kepada pihak pengelola kampus sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan. Termasuk, mungkinkah dibuat organisasi yang khusus untuk mahasiswa perempuan?
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki pun Dirugikan oleh Patriarki
Ah, rasa-rasanya membaca rubrik pertama dari majalah kampus yang satu ini membuat saya semakin banyak belajar. Saya harus berterima kasih, karena dengan memberikan komentar ini membuat saya ikut mulai memetakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan isu gender. Sebab, saya yakin masih banyak hal yang saya lewatkan dan tidak sempat saya tulis di sini. Tetapi, mungkin saja akan saya temukan pada tulisan-tulisan berikutnya yang termuat di dalam majalah kampus tersebut.
Selamat untuk Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus. Telah menerbitkan majalah Caraka edisi kelima, tahun 2022. Majalah yang memperkaya khazanah pengetahuan saya. Pesan saya, jangan lelah untuk terus belajar. Karena semangat belajar mahasiswa memberi saya semangat pula untuk semakin sering belajar. Terima kasih atas semangat yang kalian berikan pada saya.