KOTOMONO.CO – Mikir-mikir dulu ya kalau mau jadi buruh batik. Wong tak sedikit yang nahas nasibnya.
Sudah rahasia umum kalau batik menjadi sumber perekonomian masyarakat Kota Pekalongan. Batik tak hanya meningkatkan perekonomian, tapi sekaligus menjadi daya tarik dan identitas resmi Kota Pekalongan. Maka, julukan Kota Batik untuk Kota Pekalongan itu nyatanya bukanlah pepesan kosong.
Betapa pebisnis di Kota Pekalongan, wabil khusus yang berkecimpung di dunia perbatikan memang sangat lihai dalam mempromosikan bahwa Kota Batik adalah Kota Pekalongan. Pemkot Pekalongan dari masa ke masa bahkan selalu mendongkrak industri batik.
Segala upaya tentu saja akan dilakukan supaya industri batik di Kota Pekalongan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun yang menjadi soal adalah dari tahun ke tahun Pemkot Pekalongan hanya mendukung industrinya, tidak dengan pekerjanya.
Batik selalu dibanggakan sebagai aset budaya. Selalu digembar-gemborkan agar warga Pekalongan, baik yang masih ingusan maupun yang sudah bangkotan untuk melestarikan batik. Bahkan pelatihan membatik itu sering sekali digelar. Silakan cek sendiri saja di Google.
BACA JUGA: Perlunya Masjid Ikonik untuk Pekalongan yang Lebih Religius
Cari saja dengan kata kunci “Kota Pekalongan pelatihan membatik”. Mbah Google akan menyuguhkan beragam informasi tentang pelatihan membatik yang diadakan oleh Pemkot Pekalongan atau lembaga lainnya, tak terkecuali lembaga pendidikan. Tujuannya supaya batik tetap lestari.
Minat Pekerja Batik Mengkhawatirkan
Masalahnya, sekeras apa pun usaha Pemkot Pekalongan agar warganya tertarik dengan batik dengan harapan kelak bisa menjadi pekerja batik ternyata cuma semu. Minat untuk menjadi pekerja batik tak pernah bisa terdongkrak. Alih-alih meningkat, angkanya justru cenderung menurun.
Seorang mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN KH. Abdurrahman Wahid, Feri Gunawan melakukan riset yang menurut saya, meski kurang representatif tapi setidaknya menggambarkan penurunan minat pekerja batik. Feri kebetulan menulis risetnya di Kotomono. Hasilnya lumayan mencengangkan.
Dari empat sentra produksi batik di Kota Pekalongan, yaitu Kampung Batik Pesindon, Kampung Batik Banyurip, Kampung Batik Kauman, dan daerah Kelurahan Tirto, melalui 20 responden yang disurvei yang merupakan pemilik usaha batik, ditemukan pekerja batik di rentang usia 15-25 tahun pada 2022 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020. Angkanya menurun dari 37,6 persen di tahun 2020 menjadi 20 persen saja di tahun 2022.
BACA JUGA: Saya yang Walikota Menjawab Kritik Saya yang Tukang Kritik
Data itu memang hanyalah sebuah riset kecil-kecilan dari mahasiswa. Tapi paling tidak ini menandakan hadirnya sebuah masalah. Terlebih dikutip dari situs resmi Pemkot Pekalongan, 70 persen pemasaran batik Indonesia ditopang oleh pengrajin batik di Kota Pekalongan.
Begini lho. Kalau misalkan para pengrajin batik di usia 15-25 tahun atau bisa dikatakan usia produktif itu mengalami penurunan, bukan sebuah hil yang mustahal kalau suatu hari nanti kita kehabisan buruh batik. Namun, apakah ini menjadi sebuah masalah yang serius sehingga Pemkot Pekalongan harus segera mengatasinya?
Untuk pelestarian batik, ini bisa menjadi masalah serius. Tapi kalau menurut saya, ini bisa menjadi momentum yang pas untuk Pemkot Pekalongan bermuhasabah, eh nggak cuma Pemkot ding, tapi para pengusaha batik juga perlu introspeksi. Kiranya, apa yang bikin orang nggak tertarik lagi untuk menjadi buruh batik.
Masalah Upah
Saya kasih tahu, industri batik di Kota Pekalongan itu sangat-sangat problematik. Bahkan sama bermasalahnya dengan perusahaan batu bara. Selain isu pencemaran lingkungan akibat pengusaha batik yang entah sampai Persip Pekalongan juara Liga Inggris pun nggak akan pernah tuntas, ada jerit tangis pekerja batik yang hanya terdengar sayup-sayup.
Tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga masyarakat Kota Pekalongan. Masyarakat Kota Pekalongan itu sangat hipokrit sekali. Mereka ingin batik menjadi sesuatu yang dibanggakan, tapi kalau sudah urusan hak pekerja atau buruh batik, mata mereka tertutup kacamata kuda.
BACA JUGA: Soal Penolakan Izin Salat Id di Lapangan Mataram, Walikota Pekalongan Maksudnya Baik, Kok
Amalinda Savirani dalam tulisannya di Project Multatuli memperlihatkan bahwa soal hak pekerja batik memang menjadi masalah, terutama ihwal gaji. Dalam tulisannya tersebut, Savirani menulis bahwa upah pekerja batik pada tahun 2007 hanyalah berkisar Rp10 ribu/hari sampai Rp12 ribu/hari. Jika dihitung dalam sebulan, upah pekerja batik antara Rp280 ribu hingga Rp336 ribu. Padahal upah minimum di Kota Pekalongan waktu itu Rp550 ribu.
Kalau mengacu pada tulisannya Feri yang saya kutip sebelumnya, rata-rata upah pekerja batik di Kota Pekalongan terkini adalah Rp70 ribu-Rp100 ribu per hari. Nah, kalau mengacu pada itu berarti sebulan gaji pekerja batik antara Rp1,6 juta hingga Rp2,4 juta. Ya lumayanlah.
Jika berdasarkan UMR Kota Pekalongan tahun 2023 yang sebesar Rp2,3 juta sekian, itu sudah masuk. Tapi, nih tapi ya, Rp2,4 juta dalam sebulan itu batas maksimal. Nah, juragan batik nggak sedermawan Warren Buffett. Kalau masih ada batas minimal, kenapa harus menggaji maksimal?
Kenyataannya masih banyak pekerja batik, terutama yang sudah sepuh hanya digaji Rp6o ribu per hari. Selain itu harus diingat, gaji pekerja batik itu nggak ada standarisasinya. Jadi belum tentu pekerja batik antara satu dan yang lain memiliki gaji yang sama.
Biasanya yang gajinya lumayan gede itu sudah sama uang lemburan. Sementara yang nggak lembur ya harus menerima gaji seadanya. Hal ini tak pernah tersentuh pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot Pekalongan.
BACA JUGA: Minat Pekerja Batik Generasi Muda Menurun, Eksistensi Batik Pekalongan Terancam
Masalahnya, para penyepong Pemkot Pekalongan, atau orang-orang yang kelewat berprasangka baik ke Pemkot Pekalongan pasti akan berdalih sebaliknya. Pemkot Pekalongan toh sudah memberikan batas minimum gaji. Pengusahanya saja yang tidak taat aturan!!!
Ha mbok kira pengusaha itu sama kayak anak kecil yang diberi tahu langsung nurut? Mikir!
Tunjangan Kesehatannya Nggak Ada
Agak sulit untuk membuktikan bahwa banyak dari juragan maupun perusahaan batik yang tidak memberikan tunjangan kesehatan untuk para buruh batik. Tapi seorang mantan pekerja batik pernah mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak mendapatkan tunjangan kesehatan. Padahal perusahaan batik tempatnya bekerja sudah sangat mapan.
Ini lucu, benar-benar lucu. Dalam UU Ketenagakerjaan padahal sudah diatur. Kalau UU Ketenagakerjaan itu masih kurang ampuh, ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan atas PP Nomor 14 Tahun 1993 yang menyebutkan, penyelenggara kerja wajib memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi para pekerja.
BACA JUGA: Nguri-Uri Budaya Banjir: Berdamai di Tengah Bencana yang Tak Teratasi
Undang-undang problematik seperti UU Cipta Kerja saja masih mengatur bahwa pekerja berhak mendapat jaminan kesehatan, lho. Itu diatur dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 18 tentang jenis-jenis jaminan, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan.
Jadi, pengusaha batik yang nggak memberi jaminan kesehatan ke buruh batik tuh gimana sihhh? Idealnya, dinas terkait mesti bertindak soal ini. Bertindak itu nggak mung mengedukasi. Pengusaha batik bukan anak TK yang melulu harus dieduksi tentang pentingnya menjaga kebersihan.
Eh, entar dinas-dinas terkait itu malah berdalih kalau pengusaha batik di Kota Pekalongan sudah taat aturan? Alah, basi!
Paling Bener Jangan Mau Jadi Buruh Batik!
Mantan buruh batik yang saya jumpai tadi juga bernasib sial. Ia sudah bekerja kurang lebih 50 tahun di satu industri batik di Kota Pekalongan. Namun, ia nggak mendapatkan pesangon yang layak. Coba ngana pikir. Sudah mengabdi setengah abad atau katakanlah hampir setengah abad, tapi hanya mendapatkan pesangon Rp1 juta saja. Itu satu kali gaji saja nggak!
BACA JUGA: Satu Negeri Banyak Ratu
Akhirul kalam, harusnya, duh pakai harusnya lagi. Idealnya atau sudah memang semestinya begitu, perusahaan batik di Kota Pekalongan mau itu yang kelas kakap maupun yang kakap banget harus segera dievaluasi. Siapa yang berhak mengevaluasi? Tentu saja yang berwenang bukan bakul lopis.
Kalau bertahun-tahun masih gitu-gitu saja, sudah paling bener nggak usah jadi buruh batik. Kalau ada yang mengiming-imingi untuk menjadi pekerja batik dengan bujuk rayu melebihi para “buaya” dengan dalih melestarikan budaya, jangan mau! Lebih baik batik di Kota Pekalongan tidak usah lestari kalau pekerja dan buruhnya masih sulit hidupnya sehari-hari.
Ah! Sialnya nanti ada yang bilang, “Mbok ya disyukuri saja! Yang penting berkah.” Syukuri ndasmu! Dahlah, tak nyeruput kopi sek. Mumpung kopi yang saya seruput ini harganya mahal dan nggak mungkin bisa dibeli para buruh batik. Monggo yang ingin protes dan mendadak jadi bajer batik. Eh, bajer batik atau bajer Pemkot ya?
Kabooooooorrrrr!!!!!!!!!!!!!!!!