KOTOMONO.CO – Menjadi manusia baik itu tak harus berseragam. Begitu pula dengan seragam. Tak selalu menunjukkan kebaikan seseorang. Kebaikan tidak ditentukan oleh apakah seseorang berseragam atau tidak. Tetapi, berangkat dari kesadarannya sebagai manusia.
Terus terang, saya sangat tergelitik dengan postingan sahabat baik saya, Fredi Kastama, di akun facebooknya, pada hari Rabu (3 Maret 2021). Dalam postingannya, ia menuliskan perihal kejadian yang dialaminya bersama kawan-kawan lain yang selama dua minggu berkrubyak-krubyuk. Menolong para korban banjir di Pekalongan.
Tidak hanya itu. Ia tulis juga tentang pribadi mereka yang bukan golongan orang-orang berseragam. Entah itu seragam organisasi, instansi, lembaga, ataupun seragam-seragam lainnya. Yang penting, bagaimana melakukan tugas kemanusiaan itu dengan caranya sendiri, apa adanya, tanpa ada bumbu-bumbu drama yang mengesankan seolah-olah ingin tampil sebagai pahlawan. Dalam pandangannya, untuk apa ribet dengan seragam jika pada akhirnya hanya dijadikan ajang pamer kebaikan.
Di lain sisi, ia juga menyoroti soal bagaimana seragam menjadi perihal yang sifatnya kaku. Prosedural dan mekanik. Seperti yang dialaminya sendiri sewaktu ia bersama-sama warga korban banjir di kampungnya tengah berusaha mengevakuasi warga kampungnya. Ketika hendak meminjam perahu karet dari orang-orang berseragam, ia justru mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan. Bukannya segera meminjamkannya, melainkan dijawab dengan jawaban yang prosedural. Bahwa segala keperluan untuk menangani masalah warga terdampak banjir mesti melalui prosedur yang sudah ditetapkan.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
Catatan peristiwa itu menjadi kritik pedas, menurut saya, terhadap lembaga yang tak disebutkan namanya oleh kawan saya itu. Tetapi, saya lantas membayangkan seandainya saya berada dalam situasi itu. Ketika saya mengandaikan diri sebagai warga tentu akan kecewa dengan perlakuan semacam itu. Sebab, keadaan yang genting semestinya tidak boleh dianggap sepele. Apapun keadaannya.
Seperti menolong korban kecelakaan lalu lintas, apakah perlu ia ditanya nama, alamat, umur, pekerjaan, dan lain-lain, sedang keadaannya sudah sangat parah? Yang penting, angkat dulu tubuhnya dari jalan. Perlancar lalu lintas, agar para pengguna jalan tidak merasa terganggu. Bila perlu antarkan korban ke rumah sakit atau puskesmas agar mendapatkan pertolongan. Sesimpel itu.
Namun, lain kejadiannya, ketika saya mengandaikan diri sebagai petugas berseragam, saya mungkin saja kesulitan untuk menentukan sikap. Sebab, dalam sistem kerja lembaga ada hierarki yang kadang sifatnya sangat kaku dan tak bisa dirobohkan. Sebagai anak buah, saya takut jika gara-gara dinilai gegabah oleh bos, saya lantas kehilangan mata pencaharian alias dipecat.
Maka, yang saya lakukan sebagai petugas, entah itu sebagai petugas kontrak atau berstatus resmi sebagai aparat sipilnya negara, saya akan patuhi dulu aturannya. Sebab, di dalam aturan kadang terkandung kata perintah yang tidak bisa digugat. Jika tak dilaksanakan, saya bisa saja diputus kontraknya atau diberhentikan dari tugas. Masih untung jika hanya dipindahtugaskan ke instansi lain. Apalagi jika instansinya bukan tergolong instansi yang menangani masalah-masalah kritis semacam itu.
BACA JUGA: Cerita Dua Penelepon tentang Dampak Banjir di Pekalongan
Ya loh, dalam konstruksi tata kelola lembaga resmi itu, rupanya instansi yang menangani masalah-masalah kritis itu tidak banyak. Coba saja dicek. Dari sekian banyak instansi, lebih banyak instansi yang urusannya masalah-masalah yang sifatnya birokratis. Sementara, untuk urusan ketanggapdaruratan dan kebencanaan tak terlalu banyak.
Memang, mungkin maksudnya agar penanganan masalah ketanggapdaruratan dan kebencanaan itu bisa dilaksanakan dengan fokus. Segala hal dapat diurusi dengan lebih tertata dengan baik. Tetapi, lagi-lagi, apakah SDM-nya memadai untuk menangani urusan itu di semua wilayah? Apakah tenaganya cukup?
Jika memang masih kurang, lantas porsi pengadaan tenaga baru di lembaga yang nangani masalah ketanggapdaruratan dan kebencanaan bagaimana? Apakah lebih diprioritaskan atau sekadar nambah dikit aja?
Belum lagi sarananya. Apakah selama ini sudah mencukupi? Jika memang belum, apakah tidak memungkinkan pengadaan sarana prasarana itu ditaruh di kelurahan-kelurahan yang rawan bencana dan bila perlu sampai ke tingkat RT atau RW? Setidaknya, itu akan mengurangi beban kerja dari petugas-petugas itu yang barangkali jumlahnya masih sangat terbatas.
Memang, kemarin sempat saya lihat ada usaha dari lembaga itu yang membuka lowongan bagi relawan bencana. Sebuah upaya yang patut diapresiasi sekalipun upaya itu terkesan sangat insidental. Tetapi, okelah. Setidaknya ada usaha.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Nah, kembali ke masalah budaya birokrasi kita. Sudah semestinya, dalam keadaan-keadaan yang perlu penanganan segera, birokrasi yang mewarisi kultur feodal itu ditinggalkan. Ada yang lebih urgen, yaitu usaha penyelamatan demi rasa kemanusiaan. Jangan sampai hanya karena kekakuan birokrasi itu membuat upaya-upaya pemuliaan atas rasa kemanusiaan itu justru terabaikan. Mungkin, di jajaran atasan tidak menerapkan birokrasi yang kaku dalam upaya penanganan korban banjir ini. Tetapi, kebiasaan sehari-hari dalam menjalin relasi antara atasan dan bawahan inilah yang kemudian terbawa sampai ke ranah pelaksanaan tugas mereka. Mungkin, atasannya sudah sangat merakyat. Akan tetapi, lingkungan yang dibentuk di dalam ranah kepemerintahan yang feodalistik kadung dijiwai sepenuh-penuhnya. Akibatnya, mereka, para petugas itu menjadi ketakutan dan tidak dapat menentukan sikap yang siap menanggung risiko.
Saya rasa, sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma tentang mentalitas aparatnya. Tidak lagi bermental sebagai warga terjajah sebagaimana para abdi di masa Kolonial Hindia Belanda, yang hanya bisa mengabdi untuk dan demi reputasi dan prestasi atasannya. Tetapi, mestinya mereka bermental sebagai warga negara merdeka. Mengabdi untuk kemanusiaan, mengabdi untuk negara dan tanah airnya. Apalagi, kita sama-sama warga negara yang memiliki bendera yang sama, merah putih. Jadi, berseragam atau tidak, mestinya itu tidak dipersoalkan lagi. Semoga.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya