KOTOMONO.CO – Belum lama ini salah satu mahasiswa baru Universitas Hasanudin (UNHAS) Makassar berinisial MNA diusir dari forum saat sedang mengikuti acara OSPEK untuk mahasiswa baru. Mahasiswa baru tersebut di usir oleh dua di dosennya saat ditanyai mengenai identitas gendernya.
MNA lalu mengidentifikasi dirinya sebagai non biner, dan bukan termasuk kelompok gender laki-laki atau perempuan namun berjenis kelamin laki-laki. Peristiwa tersebut direkam oleh seorang yang berada disana yang kemudian diunggah dan menjadi viral di media sosial.
Sederhananya non-biner itu sebuah kata untuk menjelaskan seseorang dengan identitas yang tidak tergolong pada pada identitas gender laki-laki maupun perempuan. Atau dengan nama lainnya agender (tanpa gender).
Non Biner merupakan salah satu bagian dari SOGIESC ( Sex Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic ). Dimana masyarakat Indonesia masih sangat jarang mengadakan pembahasan mengenai hal ini. Sebenarnya jika mengenal SOGIESC dengan seksama, masyarakat akan lebih memahami bahwa ada fenomena kelompok gender dan seksual minoritas.
SOGIESC tersedia sebagai pelengkap metodologi pembebasan perempuan dan kebebasan dasar yang dapat memahami keragaman seksualitas manusia yang belum pernah dipahami dalam metodologi yang berbeda. SOGIESC berjalan dengan metodologi pembebasan perempuan dan kebebasan dasar yang akan digunakan untuk menghilangkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh masyarakat yang berpusat pada laki-laki terhadap manusia.
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki pun Dirugikan oleh Patriarki
Banyak orang yang menganggap bahwa jika seseorang yang mempelajari SOGIESC sama dengan mendukung LGBTQ. Padahal tidak sama sekali, justru menolak mempelajari realitaslah yang akan melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok gender minoritas. Keragaman di masyarakat perlu ruang terbuka dan aman untuk bisa memahami satu dengan yang lainnnya.
Tapi di sisi lain SOGIESC pun juga bisa menimbulkan masalah baru, seperti masalah di ranah kegiatan sosial di masyarakat yang perlu ditentukan gendernya sesuai konteks agendanya. Misalnya saja jika nanti mau ke toilet umum secara biologis dia lelaki tapi secara subjektif dia menganggap bahwa dirinya perempuan maka ia akan bimbang mau pilih masuk ke toilet yang mana, Jika dia memilih toilet perempuan hanya karena dia merasa dirinya perempuan, apakah perempuan dengan jenis kelamin biologis asli tidak akan terganggu dengan kehadirannya?
Kemudian bagaimana dengan transpuan yang mengikuti ajang kompetisi dalam olahraga khusus perempuan, bukankah secara fisik atau biologis mereka akan sama kuatnya dengan laki-laki yang tentu jika bersaing dengan seseorang yang secara biologis perempuan tentunya akan tidak fair bukan ?
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Dari kasus di atas, rasanya tidak perlu lagi apabila gender dicampur adukan dengan jenis kelamin.
Masalah lain ialah Gender pun secara definisi pun nggak tetap, dan masih arbitrary karena gender di identifikasi melalui konstruksi sosial. Masalahnya konstruksi sosial bukan sesuatu yang saklek. Misalnya warna biru identik dengan laki-laki dan warna pink untuk perempuan, tapi sebenarnya tidak selalu demikian, dahulu justru pink itu warna maskulin.
Terus, jika kita lihat lukisan penguasa pada zaman dahulu di kerajaan inggris banyak laki-laki yang menggunakan make up tebal, dan rok, yang untuk zaman sekarang pasti diidentikan dengan feminitas. Juga pada masa kolonial, banyak laki-laki yang menggunakan wig panjang yang kalau kita lihat melalui konstruksi zaman sekarang pasti dianggap feminis. Jadi tidak perlu ditetapkan menjadi beberapa jenis yang tidak bisa dibantah. Karena gender bukan sesuatu yang kodratillah, melainkan hasil observasi dan pengelompokan sesuai kultur dan perjalanan historisnya.
Lagipula pembagian maskulin dan feminin pun tidak tepat untuk mendefinisikan gender secara objektif. Karena, misalnya, beberapa karakter maskulin saat ini adalah : Protective, Logical, Providing, Dominance, Capable. Kita pasti pernah menemui wanita entah itu kawan dan di masyarakat ada beberapa wanita yang memenuhi beberapa atau bahkan semua karakter maskulin di tadi. Tapi bukan berarti bisa menyebut mereka sebagai laki-laki. Hanya saja mereka merasa sebagai perempuan dengan spek maskulin.
BACA JUGA: Perempuan Maskulin dan Laki-laki Feminin Itu Tidak Salah
Jadi kesimpulannya kita mesti paham dulu arti SOGIESC. Jika di tarik dari kasus Maba UNHAS dan si bapak dosen. Mungkin maksud hati sang dosen bertanya dalam konteks sex atau jenis kelamin, dan kemudian si mahasiswa memahaminya dalam sudut pandang gender yang akibatnya terjadi salah paham dari kedua belah pihak.
Seharusnya si mahasiswa bisa menyatakan bahwa ia non biner berdasarkan gender. Dan seharusnya pula sekelas dosen bisa paham maksud dari si mahasiswa dan tidak perlu sampai harus memperlakukan mahasiswa dengan mengusirnya keluar dari ruangan. Dan untuk si mahasiswa sebaiknya memakai standar objektif yang berlaku sekarang di ruang publik agar tidak menimbulkan masalah. Kalau sudah di ruang privat, silahkan bebas mau mengidentifikasi dirimu sebagai gender apapun itu.