KOTOMONO.CO – Pernah Anda bayangkan, bagaimana jika Anda menjalani hidup sendirian di muka bumi ini? Kira-kira bagaimana kehidupan yang Anda jalani? Bagaimana juga Anda mengetahui segala hal yang ada di sekeliling Anda dan yang Anda hadapi? Pun bagaimana cara Anda mengenali diri Anda?
Pertanyaan-pertanyaan itu memang bukan untuk Anda jawab. Tetapi, cobalah untuk merenungkannya. Bayangkan diri Anda saat ini sendirian, benar-benar sendirian di muka bumi ini tanpa ada orang lain di sekitar Anda. Hanya ada tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk alam lainnya. Bayangkan juga, saat itu Anda belum mengerti bahasa manusia.
Bukan tidak mungkin, Anda akan kesulitan menamai benda-benda alam. Bahkan, Anda pun akan kesulitan menyebut diri Anda adalah manusia. Dan, lebih sangat mungkin, Anda akan menirukan perilaku tumbuhan, batu, air, atau binatang. Sampai-sampai bahasa yang Anda gunakan pun adalah bahasa-bahasa mereka.
Maka, beruntunglah Anda tidak hidup sendirian di muka bumi ini. Ada banyak orang di sekeliling Anda. Bahkan, keberadaan manusia sudah secara turun-temurun meregenerasi ratusan atau bahkan mungkin ribuan generasi.
Dari generasi ke generasi, manusia senantiasa berinteraksi. Menggunakan bahasa manusia yang sangat mudah dipahami. Melalui bahasa itu pula manusia lantas berbagi kisah-kisah teladan orang-orang mulia dari zaman ke zaman. Kisah-kisah itu pula yang kemudian memperkaya pengetahuan dan keilmuan kita. Dan, dari khazanah pengetahuan dan keilmuan itu kita menjadi mengerti cara-cara kita menyikapi setiap fenomena kehidupan.
Lalu, setelah kita mampu menemukan cara terbaik di dalam menyikapi setiap gejala itu, kita pun akan mengajarkannya kepada anak-cucu kita. Tujuannya, supaya mereka tak sesat di jalan. Agar mereka menjadi orang yang siap menghadapi setiap perubahan zaman. Dan yang paling penting, agar mereka bisa mengenali diri mereka dan untuk apa mereka ada di muka bumi ini.
Begitu seterusnya.
Gambaran tadi, memperlihatkan betapa hidup setiap manusia sebenarnya adalah proses belajar yang secara terus-menerus, tanpa kenal lelah. Belajar tak dibatasi ruang dan waktu. Bahkan, menjadi kebutuhan.
Kesadaran semacam itu, pada gilirannya akan membawa manusia merasa saling membutuhkan. Mereka butuh orang-orang yang bersedia membagi pengetahuannya atau yang lazim disebut guru. Sementara, para guru pun demikian. Mereka tak henti-hentinya mencari guru untuk menjadi sumber pengetahuan dan keilmuannya.
Demikian seterusnya, sampai pada akhirnya, manusia menemukan sumber pengetahuan dan keilmuan yang asali. Sumber dari segala sumber. Sumber yang menjadi inti dari segala pengetahuan dan ilmu. Sumber yang tak pernah kering ilmunya meski terus ditimba. Sumber yang ilmunya menjadi cahaya keabadian. Siapa lagi kalau bukan Allah Swt, satu-satunya dan hanya Dia yang memiliki segala ilmu dan pengetahuan.
BACA JUGA: Tahun 2022, Masihkah Masa Kejenuhan Itu Diperpanjang?
Tetapi, untuk mencapai sumber segala sumber ilmu itu, seseorang mesti menempuh jalan yang tak mudah untuk dilalui. Terlebih, di dalam diri manusia telah tertanam—sejak diciptakannya—hasrat dan keinginan untuk menggapai segala hal. Termasuk, hal-hal yang sifatnya sangat sementara, fana. Itulah tantangan besar yang mesti ditaklukkan, bukan untuk dihindari dan dijauhi. Sebaliknya, tantangan ini mesti dijawab dan mampu kita tundukkan.
Lalu, dengan cara apa kita bisa menundukkan? Sebagaimana yang senantiasa diajarkan oleh Rama K.H. Muhammad Saifudin Amirin, salah satu senjata ampuh untuk menundukkan tantangan itu adalah rasa syukur yang senantiasa dipertalikan kepada Allah Swt. Bahwa apa pun yang ada di muka bumi ini, termasuk diri kita, dihadirkan oleh Allah Swt sebagai karunia terindah yang saling melengkapi kehidupan. Maka, kita syukuri pula tubuh yang diberikan Allah Swt kepada kita, apapun bentuknya. Karena, dengan tubuh dan segala elemen yang ada di dalamnya, kita bisa menikmati pemberian-pemberian lainnya dari Allah Swt. Kita bisa memfungsikan semua unsur di dalam tubuh kita untuk merasakan Keagungan Allah Swt melalui kekayaan alam semesta yang juga banyak mengajarkan kita tentang banyak hal.
Untuk itu, menerima dengan segenap rasa ikhlas menjadi modal bagi siapapun agar dapat mencerap pengetahuan dan ilmu Allah Swt. Walau besar ilmu atau pengetahuan yang kita terima hanya sebutir biji zarah, yang ukurannya lebih kecil dari sebutir debu. Meski begitu, apabila ilmu atau pengetahuan yang hanya sebutir zarah itu ditelateni, bukan hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri. Manfaatnya akan sangat bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita dan semua makhluk yang ada di sekeliling kita.
BACA JUGA: Catatan menyimak pidato Kades Wuled saat syukuran Pendapa Ki Wanenpati
Maka, istikamah menjadi kunci bagi para pengembara ilmu. Ia tak boleh merasa lelah hingga mudah menyerah. Mesti berusaha secara terus-menerus untuk menemukan sumber-sumber ilmu dan pengetahuan adalah bagian dari kodrat manusia. Sebab, perjalanan hidup adalah proses belajar yang tak akan pernah usai, hingga ia berjumpa dengan Izrail.
Di dalam istikamah, terkandung pula konsekuensi yang besar. Yaitu, berkenaan dengan bagaimana kita dapat menemukan guru yang tepat. Guru yang tak sekadar mengajarkan apa-apa yang ia ketahui. Tetapi, guru yang mampu menunjukkan pula kepada kita jalan mana yang mesti kita tempuh; koridor mana pula yang memberikan kemantapan dalam berkeyakinan; serta pewarisan ilmu yang seperti apa yang mesti kita pegang kuat-kuat.
Islam, sebagai anugerah terindah bagi seru sekalian semesta adalah jalan terbaik. Jalur keilmuan yang menyambungkan kita kepada Kanjeng Rasulullah saw adalah jalur ilmu yang terbaik. Dan tentu, pewarisan ilmu terbaik adalah ilmu yang diwariskan Kanjeng Rasulullah saw yang disampaikan secara estafet melalui para ulama. Dengan istilah sederhana, sanad keilmuan menjadi sangat penting.
Kedudukan sanad keilmuan dalam ajaran Islam, menjadi bagian tak terpisah dari Islam itu sendiri. Sanad keilmuan memegang peran penting bagi pemantapan iman seorang muslim di dalam usahanya menggali dan mencari sumber-sumber ilmu. Sanad keilmuan juga menjadi salah satu metode dasar di dalam upaya pengembangan dan pendalaman pengetahuan seorang manusia. Bahkan, menjadi panduan atau rambu-rambu bagi pengembara ilmu agar ia bersikap cermat, teliti, hati-hati, tekun, dan tidak gegabah di dalam memutuskan suatu perkara. Sekali saja keliru langkah, tentu akan berdampak besar bagi keberadaan ilmu itu sendiri serta bagi umat manusia. Untuk itu pula, sanad kemudian berfungsi pengendali atas apa-apa yang berkembang di kemudian hari. Seseorang tidak bisa seenaknya membicarakan perkara-perkara agama. Lebih-lebih yang berkenaan dengan ajaran inti agama Islam.
Tak pelak, Rama K.H. Muhammad Saifudin Amirin, mengibaratkan sanad keilmuan sebagai sebuah untaian rantai yang memanjang melewati zaman-zaman yang dilalui manusia. Jika bagian ujung rantai itu bergoncang, maka semua bagian rantai pun akan bergerak, bagai gelombang. Sementara pangkalnya, mungkin sekali sangat kokoh karena bertopang pada sumber yang kekokohannya tak dapat digoyahkan. Sehingga tak terpengaruh oleh gerakan rantai itu. Namun, bukan berarti pangkal rantai itu tak mau berbuat apa-apa. Justru dengan kekokohan itu, ia menjaga kekokohan keilmuan yang telah melewati seribu tahun lebih masa ujian. Dengan demikian, rantai itu pun dapat kembali ditenangkan.
Hal serupa juga berlaku pada amaliyah. Seorang mualim maupum mujiz memiliki ketersambungan sanad kepada guru-gurunya hingga ke Kanjeng Rasulullah saw, maka di situlah akan kita temukan madad, Nur Rabbani (Cahaya Ketuhanan) yang dilimpahkan Allah Swt kepada Rasulullah di dalam hati beliau. Diteruskan pula kepada para penerus Nabi (ulama) berupa rahmat, berkah dan asrar. Jelas, dari hal ini pula kita menemukan kepastian bahwa ilmu maupun amaliyah yang bersanad memiliki pengaruh besar bagi pelakunya. Sementara yang tak jelas atau tak memiliki sanad, tipis harapannya untuk mendapatkan pertolongan dari Allah Swt.
Itulah mengapa, Rama K.H. Muhammad Saifudin Amirin senantiasa menekankan agar seluruh jamaah Majelis Taklim Almaliki yang diasuh beliau, tak henti-hentinya menggali ilmu dan pengetahuan dari para guru yang sanad keilmuannya jelas tersambung pada Kanjeng Rasulullah saw. Hal itu bahkan beliau contohkan dengan selalu berguru kepada ulama-ulama besar, para mukhlisin kekasih-kekasih Allah Swt. Tak peduli, betapa upaya itu teramat sulit, tetap beliau lakukan dengan sepenuh hati. Sampai-sampai, ketika beliau menemukan guru-guru mulia, selalu beliau meminta agar diterima sebagai murid di dunia dan akhirat. Beliau ngenger kepada para guru yang begitu besar rasa cintanya kepada Kanjeng Rasulullah saw, sampai-sampai berketetapan hati untuk menjadi khadimnya Kanjeng Nabi, beritibak sekaligus beriktibar.
BACA JUGA: Catatan ringan saat rekaman podcast Media Al Maliki bersama K.H. Muhammad Saifudin Amirin
Salah satu yang menginspirasi beliau, Rama K.H. Muhammad Saifudin Amirin, bersemangat melakukan hal itu adalah sepotong hadis yang berbunyi “al-arwah junudun mujannadah, faman ta’arafa minha I’talafa, wama tanakara minha ikhtalafa”. Roh kita satu sama lain sebenarnya berdekatan menjadi satu mata rantai. Jika kita berkumpul dengan seorang yang saleh dan ikhlas maka kita akan mendapat keberkahan.
Uraian tersebut, secara gamblang menjelaskan, bahwa rupanya di dalam belajar untuk menemukan hakikat kehidupan, seseorang tak bisa tanpa peran orang lain, terutama para guru dengan sanad yang kuat. Lalu, mari kita kembali ke pertanyaan awal. Apakah kita akan membiarkan diri kita dalam kesepian dan kehampaan? Jika iya, untuk apa kita hidup di dunia ini?