KOTOMONO.CO – Belum lama ini, Pemkot Pekalongan punya rencana untuk membangun masjid ikonik baru. Perencanaan itu baru tahap awal. Mengutip informasi dari website resminya, Pemkot Pekalongan mengadakan lomba desain arsitektur masjid ikonik.
Tentu saja lomba ini tidak terbuka untuk umum. Sederhana saja, semua orang memang bisa menggambar gunung, tapi tidak semua orang bisa mendesain masjid. Itu pekerjaan arsitek dan memang lomba ini dibuka untuk para arsitek.
Ada maksud terselubung kenapa Pemkot Pekalongan berniat membangun masjid ikonik. Salah satunya karena ingin menarik wisatawan, tentu saja. Semua mengerti, bahwa Kota Pekalongan bukanlah destinasi wisata. Kalaupun ada pelancong datang, ya paling mereka cuma mampir.
Saya tidak pernah menemukan bule jalan-jalan di alun-alun. Pun saya tidak menemukannya di kawasan budaya Jetayu. Jikapun saya menjumpai bule, sudah dipastikan itu ketika ada acara saja. Katakanlah seperti Hari Batik.
Tentu masjid bisa menjadi daya tarik wisatawan. Di samping itu, ia juga bisa menjadi simbol sebuah kota. Boleh dibilang Pekalongan menjadi kota yang kental dengan nuansa agamanya, terutama Islam. Sudah barang tentu, membangun masjid ikonik pada akhirnya bukan sekadar untuk menarik wisatawan, tapi sekaligus membuat Kota Pekalongan jauh lebih religius.
Kota Pekalongan Kurang Religius
Kalimat tadi bukan bermaksud satire. Tentu sebagai warga lokal yang baik dan berbudi luhur, saya ingin Kota Pekalongan ini benar-benar dianggap sebagai kota religius. Nggak perlu di dunia, cukup dalam skala Nusantara saja.
Karena jujur saja saya prihatin pada ke-religius-an Kota Pekalongan. Beberapa kawan saya yang dekat dengan ulama dan para habaib bilang, Kota Pekalongan sangat religius. Tapi dalam sebuah riset dari Maarif Institute, Kota Pekalongan tidak termasuk dalam 29 kota paling Islami di Indonesia.
Maarif Institute mengumpulkan ada 29 kota di Indonesia yang sangat Islami. Yogyakarta berada di peringkat pertama indeks kota Islami. Disusul Bandung dan Denpasar. Dari 29 daftar tersebut tidak ada Kota Pekalongan. Kupang dan Jayapura justru masuk dalam daftar itu.
Temuan tahun 2016 itu pernah menuai kontroversi. Tak sedikit yang menggugat dari mana 29 kota itu muncul. Apa indikatornya? Saya pun sempat heran dengan hasil temuan itu.
Bagaimana mungkin Kota Pekalongan yang sedari orok saya tahu sangat religius, malah tidak masuk? Oke, kalau Kota Pekalongan kurang religius, tapi bagaimana dengan Kabupaten Pekalongan yang disebut-sebut sebagai Kota Santri?
Cukup. Saya tidak mau membahas Kabupaten Pekalongan. Ya, Kabupaten Pekalongan juga nggak masuk dalam daftar itu. Tapi saya tidak mau membahas itu. Maaf-maaf aja nih, saya belum ngerasain pacaran. Dan saya masih sayang sama nyawa saya. Takut dibacok.
BACA JUGA: Yang Paling Mudah Disalahkan Orang Saat Banjir Melanda
Dengan kata lain, Kota Pekalongan memang religius. Tapi ia tidak religius-religius amat. Setidaknya, Kota Pekalongan belum diakui religiusnya melalui standar dan indikator riset berbasis ilmu pengetahuan. Meski saya heran, hal yang tidak penting seperti ini bisa menjadi bahan riset.
Karena itulah, kelak barangkali dengan berdirinya masjid ikonik di Kota Pekalongan sekaligus mengerek indeks religiusitas atau islami Kota Pekalongan. Jika pun tidak, minimal Pemkot mendapat inspirasi untuk menyerap APBD.
Mencegah Kejahatan dan Tindakan Tidak Terpuji
Agama adalah candu, kata Karl Marx. Kalau meminjam Sigmund Freud, agama adalah ilusi yang punya kekuatan untuk menarik seseorang. Tapi dalam hal ini, saya akan memakai pendapatnya Cooley. Bahwa agama bisa menuntun manusia ke tindakan rasional yang baik.
Masjid menjadi salah satu bagian dari agama, khususnya Islam. Ia sangat dibutuhkan di tengah masyarakat sebagai wadah untuk hal-hal baik. Di dalamnya, masyarakat bisa belajar hal-hal baik dan rasional. Maka keberadaan masjid sangatlah penting.
BACA JUGA: Politik “Pangkon” Ala Mas Walikota Aaf
Wajar jika Pemkot Pekalongan ingin membangun masjid lagi. Tak main-main, Kota Pekalongan butuh yang ikonik! Betul bahwa Kota Pekalongan sudah memiliki 127 masjid dan 714 mushola (data tahun lalu). Tapi jumlah itu jelas masih kurang dari cukup untuk menuntun masyarakat di Kota Pekalongan agar berkelakuan baik.
Apalagi jumlah penduduk yang beragama Islam di Kota Pekalongan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saya ambil data dari BPS. Tahun 2019, jumlah penduduk beragama Islam di Kota Pekalongan sebanyak 149 ribu lebih. Lalu meningkat sekitar dua kali lipat di tahun berikutnya menjadi 304 ribu lebih. Kemudian meningkat lagi menjadi 305 ribu lebih di tahun 2021.
Saya menebak tahun ini pasti meningkat lagi. Jumlah umat Islam di Kota Pekalongan sangat tidak sebanding dengan jumlah masjid. Jadi menambah satu lagi yang ikonik adalah kebutuhan yang mendesak.
Belum lagi tingkat kejahatan di Kota Pekalongan terbilang masih tinggi. Data dari BPS, tahun 2021 lalu ada 123 kasus. Meski angka itu menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 139 kasus. Tapi perlu dicatat, tingkat kejahatan sebagaimana pelecehan seksual merupakan puncak gunung es.
BACA JUGA: Saya yang Walikota Menjawab Kritik Saya yang Tukang Kritik
Artinya, yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak dari apa yang dilaporkan. Sementara yang dilaporkan jauh lebih banyak dari yang selesai ditangani. Hadirnya masjid ikonik tentu saja lebih dari sanggup untuk menurunkan angka kriminalitas dan pelecehan seksual. Biar aparat kepolisian juga lebih ringan kerjanya.
Sebab tidak ada yang bisa mempengaruhi seseorang lebih hebat dari agama. Dan masjid menjadi salah satu medianya. Meski, Freud mengingatkan bahwa agama adalah ilusi.
Harus Dirawat
Membangun masjid ikonik menurut saya adalah ide yang lebih visioner dari Sumpah Palapa. Sumpah tidak cukup kuat untuk menyatukan umat. Tapi masjid merupakan tempat terbaik dan paling strategis untuk menyatukan umat.
Kelak ketika masjid ikonik ini sungguh-sungguh gagah berdiri dan mendongkrak tingkat religiusitas di Kota Pekalongan, maka harus dirawat sebaik mungkin. Perlu adanya susunan pengurus yang serius mengurus masjid.
Karena masjidnya ikonik, saran saya carilah pengurus yang ikonik pula. Biar klop. Bukan pengurus yang muncul ketika Maulid Nabi saja. Butuh pengurus yang gigih mempertahankan jabatan dan bisa menolak keras ketika kelak mendapat desakan untuk mundur.
Cari pula marbot yang sekiranya sangat ikonik, misalnya yang wajahnya mirip Bertrand Antolin. Mulailah mencari imam besar yang ikonik pula. Misalnya, imam besar yang tidak hafal Surah Al-Adiyat. Atau imam besar yang pernah masuk penjara. Jangan lupa juga untuk mencari tukang azan.
Setahu saya, tukang azan ini sulit dicari, apalagi yang mau azan Subuh. Kalau bisa jangan sampai ada tukang azan yang cuma azan empat kali sehari, sedangkan ketika Subuh mengandalkan pita kaset.
Tentu tak boleh ketinggalan, cari muazin yang ikonik. Kalau boleh usul cari yang jarang sholat. Cari muazin yang terbiasa ke diskotik. Karena muazin yang langganan ke klub malam tidak mungkin ketinggalan waktu Subuh.