KOTOMONO.CO – Masa remaja yang dikenal sebagai masa transisi, di mana tidak asing lagi bagi kita melihat perubahan dari orang sekitar maupun diri sendiri, baik dari penampilan fisik, pergaulan, hobi, bahkan sampai prinsip hidup. Hal ini dinilai sangat wajar karena dalam masa remaja memang masanya untuk menemukan jati diri.
Jati diri atau identitas sendiri memiliki arti pandangan subjektif terhadap diri sendiri. bagaimana definisi diri kita dalam beberapa aspek tertentu seperti nilai yang dianut, kepribadian sehari-hari, pergaulan, dan sebagainya. Proses dalam menemukan jati diri itulah yang akan mempengaruhi aspek-aspek tersebut.
Remaja, yang telah menginjak usia17 tahun, biasanya akan mengalami gejolak rasa penasaran terhadap berbagai hal yang kemudian dicoba dengan dasar “rasa penasaran” tersebut. Pada masa ini, remaja biasanya akan sulit mengendalikan emosi yang dirasakan karena belum adanya self control yang baik dalam diri mereka. Terkadang hal tersebut bisa berdampak positif apabila dialihkan kepada kegiatan yang positif pula. Namun sebaliknya, apabila diarahkan ke hal yang negatif, maka dampak yang akan timbul pun negatif.
Dahulu sebelum teknologi kian maju, remaja tidak terlalu rentan untuk meniru hal-hal yang kurang baik. Karena akses untuk menjangkau dunia luar masih sangat terbatas, sehingga yang mereka lihat dan amati hanyalah lingkungan di sekitar mereka saja. Begitu juga dengan pergaulan yang belum sebebas sekarang ini.
Remaja pada masa lampau cenderung menghabiskan waktu dalam kegiatan yang bersifat sosial. Dilihat dari eksisnya permainan non-gadget pada masa itu, misalnya seperti permainan petak umpet, congklak, lompat tali, dan sebagainya yang mana dalam permainan tersebut akan mengasah kemampuan sosial mereka. Pada masa itu juga akrab dengan kegiatan kumpul bersama keluarga di depan layar televisi sekaligus saling bercakap cakap sehingga komunikasi dalam keluarga terjalin dengan baik.
Bebeda dengan zaman sekarang, seiring dengan perkembangan dunia, maka pola hidup dan kebiasaan yang terbentuk pada masyarakat juga ikut berubah. Adanya telepon pintar seringkali mengurangi komunikasi kita dengan orang terdekat. Kita cenderung terfokus pada layar handphone masing masing meskipun sedang duduk bersama sehingga komunikasi tidak akan terjalin.
Dengan kemudahan teknologi pula berbagai informasi dapat kita jumpai dengan mudah dimanapun dan kapanpun, telebih pada kalangan anak muda. Mereka yang sangat “melek” dengan teknologi tentu memiliki kesempatan yang lebih luas dalam mengakses berbagai informasi di media.
BACA JUGA: Fix, Pelaku Penelantar Bayi di Slamaran Kota Pekalongan Patut dikasih Bebas
Tak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi ibarat pisau bermata dua yang mana tanpa sikap bijak dari para penggunanya dalam mengakses informasi maka kemajuan teknologi tersebut justru akan berdampak negatif. Banyak hal hal yang tidak seharusnya tampil di publik namun dapat kita temukan dnegan mudah di media sosial. Hal tersebut tentu mempengaruhi pola fikir dari para generasi muda terutama para remaja yang tengah haus akan penemuan jati dirinya.
Para remaja yang masih belum memiliki kontrol diri yang baik, akan dengan mudah meniru apa yang mereka lihat di media tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Banyak dari remaja sekarang yang meniru perilaku di sekitar mereka baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kegiatan seperti berbohong kepada orang tua, bolos sekolah, bersikap anarkis, berkelana di jalan bersama gerombolan anak punk adalah sedikit dari sekian banyak contoh kegiatan dalam proses pencarian jati diri mereka.
BACA JUGA: Giat Film Sebagai Media Propaganda LGBT dan Feminisme
Salah satu dari berbagai alasan yang dikemukakan mereka diantaranya adalah kurangnya perhatian oleh orang tua, atau adanya permasalahan pelik dalam rumah tangga bahkan pemasalahan asmara juga turut jadi penyebabnya. Sehingga mereka mencoba mencari pelarian dari masalah-masalah tersebut dengan melakukan apa yang ingin mereka lakukan, terlepas dari benar atau salahnya kegiatan itu.
Hal inilah yang mengharuskan kerabat terdekat untuk melakukan pendekatan secara emosional kepada mereka. Dengan mengurai sumber utama permasalahan dan kemudian dengan cara lemah lembut diberikan pengertian mengenai dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Dalam menyikapinya, mereka boleh diberikan kesempatan untuk melakukan keinginannya namun dengan tetap memegang norma-norma atau batas-batas tertentu yang harus dipatuhi.
Berikan mereka kesempatan untuk berpendapat dengan tidak menjustifikasi secara langsung perilaku mereka, karena hal tersebut justru akan membuat mereka semakin memberontak. Singkatnya, pendekatan secara emosional akan lebih mengena kepada mereka daripada penjelasan logika.
Kemudian, sebagai remaja tentulah kita harus bersikap sebijak mungkin dalam menggunakan fasilitas yang ada. Kita harus mampu memilah dan memilih mana yang baik untuk kita dan mana yang akan memberikan dampak buruk bagi kita. Jangan sampai di kemudian hari kita hanya bisa menyesal karena masa muda kita dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Masa muda hanya terjadi satu kali, maka lakukanlah yang terbaik dan manfaatkan sebijak mungkin.