KOTOMONO.CO – Pernahkah kalian tahu apa tujuan yang dihasilkan dari menulis? Entah menulis esai, opini, karya sastra atau sekedar rerasan yang dibumbui dengan fakta di lapangan. Ini semua memang alamiah dan perlu adanya keluasan hati dalam menerimanya. Namun, saking nggateli-nya melihat respon masyarakat yang sedang digemakan di sekolah atau kuliah, jadi tidak sesuai dengan kenyataan di rumah atau ruang masyarakat. Lah kok bisa gitu? Padahal kan nulis iku raono masalah? Tenang, ojo esmosi ndisek to.
Berawal dari herannya masyarakat desa, sewaktu di Pekalongan sampai berujung di Sukabumi, wajah sinis tetangga melihat komputer usang atau ponsel yang menjadi teman bekerja sering melempar anjuran yang menarik, “Kang, mbok kerjo opo melu kancane ngrewangi ngopo.” Awalnya saya simpatik diarahkan seperti itu, tapi lama kelamaan saya menyadari itu hanya menjadi pembatas bahkan menghancurkan dunia yang masih saya bangun.
Nah, apakah menulis bukan sebuah pekerjaan? Saya enteng menanyakan itu pada diri sendiri, yang sebenarnya pekerjaan alamiah manusia salah satunya mencatat meskipun sudah diwakilkan sama malaikat, eh. Kok malah mbablas. Maksudnya, menulis bisa menjadi sebuah bukti kemajuan peradaban, dengan ditulisnya peristiwa penting dan bukti kekuatan satu komunitas agama di masa itu.
Lalu, selama berjalan mengarungi dunia kepenulisan, sampailah di mana saya betul-betul bekerja tapi tidak seperti ekspektasi masyarakat yang belum berhasil meruntuhkan saya. Memang apa yang saya rasakan dahulu terlihat menghina diri saya sendiri sebab hanya memiliki kemampuan analisa, kemudian ditambah dengan tulisan yang saya anggap biasa-biasa saja.
BACA JUGA: Menulis adalah Tabungan dan Saksi Hidup yang Menghidupkan
Di tahun 2019, saya membeli layar kapal di toko teman saya, untuk memulai perjalanan mengarungi dunia kata-kata. Awalnya hanya suka menulis puisi dan tulisan pendek khas Twitter, yang cuma bisa nulis 139 karakter doang. Yang tadinya pendek, berubah menjadi lebih panjang hingga sebuah cerita menarik yang bisa kamu nikmati sekarang.
Sampai pada tahun 2020, di mana saya harus hijrah menuju kota kelahiran ibu, dari sana saya mulai khawatir kejadian di Pekalongan akan terulang. Mereka yang tinggal dengan kebiasaan bertani, ririungan atau grumungan membahas urusan kampung, bersilaturahmi sambil menyeruput kopi, dan anak mudanya yang selalu mengedepankan teknologi.
Sesampainya di Sukabumi, tepatnya daerah Jampang Kulon-Surade, saya menemukan banyak sekali celah yang belum dikembangkan terkait hal literasi. Memang, di sana literasi menjadi barang bawaan yang masih bayi, dibanding dengan religi dan teknologi, seakan mengiurkan nyali lelaki yang baru saja berpindah bahasa. Dengan mlaku-mlaku nekat mencari kawan, akhirnya saya menemukan orang-orang hebat di bidang literasi dan spiritual yang disinyalir dekat dengan jamaah yang dibangun oleh simbah.
Mengorek informasi, mengumpulkan data menarik hingga membangun sebuah perkumpulan, di sanalah saya menemukan bahwa menulis bukan soal baca buku atau menulis buku, tetapi apa yang ingin ditunjukkan dari tulisan itu.
BACA JUGA: Menulis itu Lebih Banyak Dipengaruhi Faktor Non-Teknis
Sekian lama saya mencari tujuan dan fokus, tidak ada lagi menarik atau laku keras di publik tapi output yang bisa ditawarkan setelah membaca tulisan itu apa saja. Wah, dari sana saya mulai bingung dan akhirnya semakin percaya bahwa menulis adalah bagian literasi, dan literasi bukan hal tabu tetapi pola hidup yang sudah alamiah.
Jadi, disini bukan hanya ingin memperlihatkan bahwa seorang penulis adalah orang hebat atau bisa terkenal, tapi value yang bisa mereka tawarkan sangat berharga bagi pembaca, khususnya untuk kehidupan jangka panjang. Dari menulis, kita jadi tahu apa yang kita miliki, apa yang harus dilakukan dari menulis dan memperhatikan output pembaca dan value kita sendiri.
Menilik Problem Literasi dan Menulis di Masyarakat
Terkadang kita pernah lihat teman atau saudara kita yang hobi menulis tapi berada di lingkungan yang sebagian menghargai tulisan atau bahkan seluruhnya belum sampai titik mengerti. Ini menjadi momok bagi orang yang memiliki keahlian menulis, menyukai atau bahkan baru mulai. Memangnya orang suka nulis jadi seneng ngehalu atau tidak suka kenyataan? Hmm, sek sek tak pikir ndisek.
Mestinya orang yang akan melakukan sesuatu butuh dorongan dan pengertian dari lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Dukungan moral akan berpengaruh besar terhadap perkembangan, dan materiil berfungsi sebagai alat dan ruang untuk menciptakan sesuatu yang bersifat konstruktif. Nah, apakah kamu pernah berada di lingkungan seperti itu, atau punya circle yang tak memahami namun mengerti kebutuhan dan kemampuanmu?
Sebenarnya bukan pada lingkungan pekerja keras atau lingkup pandangan kehidupan yang mengedepankan realita, tetapi secara umum memang banyak penulis dihadapkan dengan realita yang membuat prosesnya terkadang lambat. Sebagai contoh, seorang penulis berada di lingkungan kampung yang pola pikirnya menghidupi keluarga dan desa.
BACA JUGA: Menulis Itu Boleh Menggiring Opini kok!
Cara berpikir seorang penulis ini akan menimbulkan ketidakseimbangan terhadap masyarakat awam sebab akses dan fokusnya jauh berbeda. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya kemunduran atau bahkan si penulis berhenti dari prosesnya dan memilih jalan lain agar dianggap peduli dengan kehidupannya dan pola pikir masyarakat, padahal masyarakat perlu tahu apa fungsi, fokus, pemahaman mengenai kepenulisan.
Ada juga penulis yang kesehariannya di kampung dengan berbagai pelik dan problemnya merangkai tulisan, kadang ada saja yang menyayangkan orang kampung tidak akan terkenal atau mengubur mimpi saja dan tenang di alam kampung demi keluargamu. Penggalan kalimat ini memang sangat berpengaruh apalagi bagi orang yang bekerja dengan kata-kata. Apakah ini bisa dibendung, atau solusi terbaiknya berpindah tempat?
Inilah yang membuat literasi menjadi tabu, bahkan orang terbiasa menyebut belajar daripada literasi. Orang terbiasa dengan nderes, ngaji, sinau dan bahasa sejenisnya yang dipakai di berbagai daerah Nusantara. Para orang tua kita zaman dahulu biasa memakai kata tersebut untuk menyuruh mempelajari berbagai hal, yang nantinya bisa dipakai untuk masa depan.
Kamu pernah ngerasain dong setelah mengaji Qur’an, ustadz atau kyainya ngasih wejangan urip semacam pameling atau kajian ringan. Anak jaman 80-90 pasti pernah yang ngajine mlaku, gowo kitab karo guyonan.
Pada dasarnya memang literasi dinyatakan sebagai subjek yang melakukan pembelajaran, tapi seiring berkembangnya zaman di era kejayaan Yunani, literasi menjadi makna bahwa orang yang belajar segala sesuatu di dunia ini disebut literat, prosesnya dinamakan literasi kemudian objek pendukungnya disebut literatur. Pernah kan kamu pas SMA dikasih tugas membuat literatur tentang biologi? Masa belum pernah? Coba tanyakan ke sekolah ya kenapa nggak ngasih tugas kayak gitu. Heuheuheu.
Yuk, Coba Sadari Bersama Perihal Menulis
Setelah kita tahu apa literasi yang simpel dijelaskan dan menulis, kita mesti paham menulis bukan hanya menaikkan eksistensi atau menceritakan pengalaman hidup. Ada yang bisa kita sampaikan namun terkadang kita terlalu imaginer hingga nantinya susah menggapai dasar yang sebenarnya bisa diangkat.
Contohnya, kita belajar menulis hingga titik bisa tembus media nasional. Sampai kita lupa bahwa kejadian yang harusnya bisa dikutip menjadi ide utama tersisih karena value tulisan yang laku di pasaran lebih menguasai dibanding tulisan ringan menggelitik.
BACA JUGA: Pertanyaan yang Sulit Saya Jawab adalah Apa Manfaat Menulis?
Kita mengenal menulis sejak kita berhasil mengubahnya. Maksudnya? Ya, kita dapat informasi dari luar, kayak main di teras rumah dengan teman, berkumpul keluarga dan kegiatan sehari-hari yang kita lakukan sejak kecil. Tapi, nahasnya kita sering lupa untuk mencatat di kepala, lebih sering di potret sebagai media pengingat masa lalu.
Kita sebagai orang yang suka nulis terus berharap bahwa ke depannya tidak ada lagi penghapusan kreasi manusia, entah dari sisi masyarakat sampai pada atasan yang kemarin lagi ramai dibicarakan. Mau sampai kapan kita takut untuk menulis dan mengembalikan aktivitas alamiah kita yang menarik ini, jangan sampai terputus penyampaian aspirasi menarik dan elegan untuk dipandang.
Kita perlu tahu mengapa menulis, mengapa tulisan ini perlu kita buat, atau bagaimana membuat tulisan ini menjadi penghargaan buat dirimu sendiri dari pembaca. Itu perlu diulik sampai pada momen bahwa masyarakat perlu tulisan yang tidak hanya berfokus pada kesukaan tapi kemanfaatan yang seharusnya ada.
Kamu bisa tuangkan ekspresi lewat karya sastra, menulis rerasan tentang kebijakan-kebijakan atau bisa baca-baca rekomendasi wisata dan kuliner di sini. Buat pembaca yang budiman dan budimawati, semoga tulisan ini bermanfaat buat kalian semua! Aamiin, semoga dapat nasi berkat malam Kamis.