KOTOMONO.CO – Warga Watusalam, Kecamatan Buaran, Kota Pekalongan digegerkan dengan fenomena bayi berkepala naga. Ah, tidak, jelas itu berita bohong dan nggak penting untuk diangkat. Yang terjadi di Watusalam bukanlah kelahiran seorang bayi berkepala naga, tapi penangkapan dua orang warga yang melawan pencemaran lingkungan. Kedua warga tersebut ditangkap setelah melakukan protes terhadap PT Panggung Jaya Indah Tekstil (Pajitex).
Yap, benar, kamu sama sekali nggak salah baca: DUA WARGA DITANGKAP KARENA PROTES. Dua warga tersebut dianggap telah melakukan perusakan kaca pabrik setelah dilaporkan oleh, tentu saja, pemilik pabrik. Sedangkan dua warga ini melakukan protes karena si pabrik dianggap melakukan perusakan lingkungan.
Ibaratnya begini, saya punya mobil, tapi jalan depan rumah saya sempit. Sedangkan saya nggak punya garasi buat nyimpen tuh mobil. Jadi, saya memarkir mobil itu di jalan. Ada orang mau lewat nggak bisa, karena terhalang mobil saya.
Orang itu protes. Saya yang di dalam rumah tentu ogah menggubris protes tersebut. Dan menganggapnya angin lalu saja. Iya, daripada ngurusin orang protes mending saya nonton Netflix di rumah. Orang tersebut makin marah.
Ia pun mengambil kerikil kecil. Iya, kecil, bukan satu batu besar yang diambil dari Curug Madu. Sama sekali bukan. Terus ia lempar batu itu sekuat tenaga ke arah mobil saya. Pyaar!!! Kaca mobil saya pecah berkeping-keping.
BACA JUGA: Pemkot Pekalongan Mau Meningkatkan Ekonomi, tapi Kok Malah Kebanyakan Pelatihan?
Mendengar suara gaduh, saya keluar. Melihat kaca mobil saya rusak, saya langsung menelpon polisi. Iya, betul, polisi, kamu sekali lagi nggak salah baca. Yang saya telepon adalah polisi bukan Satpam BCA. Lalu orang yang protes dan merusak kaca mobil saya ditangkap. Kira-kira dari kejadian ini siapa penyebab masalahnya?
Yup! Betul banget! Orang yang protes dan merusak mobil saya. Begitulah yang terjadi pada dua warga Watusalam yang melakukan protes dengan sedikit bumbu anarkisme. Buntutnya jelas, diringkus polisi. Warga tersebut diduga terjerat Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang. Sesimpel itu.
Lho, kalau begitu kenapa kok pabrik juga nggak ditangkap? Bukankah juga perlu ditangkap karena melakukan perusakan? Setidaknya di bawah ke meja hijau?
Kalau meja hijau yang dimaksud meja besar bertaplak hijau di gedung MWC NU, tentu bisa. Tapi kalau meja hijau yang dimaksud adalah persidangan, nanti dulu. Ada relasi kuasa yang berjalan di sana.
Pihak pabrik lebih dulu menelepon polisi. Bilang kalau kaca pabriknya dirusak oleh sekumpulan warga. Polisi, tentu saja bergerak dong, ya kali nggak bergerak? Polisi kita kan sigap dalam melayani. Tentu ketika ada yang lapor pasti segera mungkin direspon. Perkara beda pelapor beda penanganan, itu soal lain.
BACA JUGA: Masalah di Pekalongan Bakal Selesai Kalau Avengers Jadi Warganya
Jika benar begitu, bukan kriminalisasi namanya. Sudah sesuai prosedur. Ada yang lapor lalu polisi bertindak, kan memang begitu tho prosedurnya? Tapi, warga juga punya hak untuk mengajukan praperadilan. Terlebih yang melaporkan juga melakukan perusakan sama seperti yang dilaporkan.
Belum lagi, warga sedang memperjuangkan hak lingkungan hidup bersih dan sehat. Yang mana juga dijamin Pasal 66 Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Warga Watusalam merasa perlu menagih undang-undang tersebut. Sebab sejak 2006, menurut laporan Tirtoid, Pajitex sudah mencemari lingkungan. Membuat lingkungan yang semestinya sehat tanpa polusi dan pencemaran malah sebaliknya. Belum lagi bising deru mesin yang menganggu di kuping. 24 jam gimana rasanya coba? Astaga!!!
Sayangnya, pihak pabrik punya kuasa. Di sini mereka sebagai pihak yang melaporkan. Jadi polisi mengusut sesuai laporan, sudah ada barang bukti, mau bagaimana lagi? Masa nggak ditangkap?
Etapi, kalau dicermati, kok seperti polisi kelewat selo ngurusin laporan perusakan kaca? Yang boleh jadi bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja. Toh, yang dirugikan cuma satu pihak. Bandingkan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pabrik, siapa saja yang rugi? Wah yo, banyak sih, tapi sedikit kalau kita paksain, alias yang rugi disedikit-sedikitkan.
Kalaupun memang kacanya dirusak, pihak pabrik tentu bisa menggantinya lagi dengan yang baru atau memperbaikinya. Nggak mungkin sih, sekelas Pajitex nggak mampu beli kaca baru dan bayar tukang. Nggak sanggup? Duh, sini-sini tak bayarin, minjem duit satpam BCA dulu tapi.
Lagi pula, kalau kerusakan remeh-temeh semacam ini bisa dilaporkan pakai Pasal 170 KUHP, apa nggak penuh tuh lapas? Barang dirusak, dikit-dikit lapor. Ada hape dirusak guru, lapor; laptop dirusak temen, lapor; sepeda dirusak kerabat, lapor; motor dirusak tetangga, lapor; genteng dirusak burung, lapor; hati dirusak mantan pun lapor.
Ajaibnya kalau lingkungannya yang rusak cuma didiskusiin hingga berbusa. Debat sampah plastik. Debat rob ini-itu, sambil sumur bor tetep beroperasi. Debat Pekalongan 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, 30 tahun lagi. Debat Pekalongan tenggelam, tapi proyek tetap nggak boleh tenggelam.
Sebenernya bisa sih melaporkan Pajitex, tapi mau pakai UU yang mana? Mau nyatut KUHP yang mana? Atau KUH Perdata yang bagian mana? Mau pakai UU PPLH, baru sampai kotak aduan polres sudah ditertawakan nanti, dikira sedang ngelenong.
BACA JUGA: Ide Kawasan Ekonomi Kreatif Dari Sebuah Desa di Kecamatan Tirto ini Sangat Diluar Ekspektasi
Memang sih, secara kerusakan lingkupnya jauh lebih luas. Jika warga ditangkap karena merusak kaca, pemilik pabrik juga harus ditangkap karena merusak lingkungan. Itu kalau dalam mimpi. Masalahnya, Hei! Tampar pipimu keras-keras!
Seandainya saja KUHP itu musnah dari muka bumi ini, pun masih belum bisa mewujudkan mimpi-mimpi keadilan semacam itu. Pemerintah, investor, pengusaha masih punya satu bidak lagi. Yup benar, Omnibus Law yang bisa melibas apa pun. Namanya saja UU Sapu Jagat.
Mau dilawan pakai UU PPLH? Wah yo susah. Omnibus Law itu bagaikan truk Hino, sedangkan UU PPLH itu hanya ibarat sepeda Family.