KOTOMONO.CO – Dari bulan lalu, beranda media sosial yang saya gunakan dipenuhi postingan foto-foto orang mengenakan toga. Di dalam foto-foto itu tampak para pemakai toga bergaya dengan berbagai pose. Tetapi, di antara sekian banyak foto itu, bagi saya, yang paling mengesankan adalah foto yang menampilkan pemakai toga bersama orang tua mereka.
Ketika mendapati pemandangan itu, semerta rasa haru memapah batin saya menuju pada catatan masa lalu yang hampir-hampir terlupakan. Maklum, peristiwa serupa dalam foto-foto itu sudah bertahun-tahun lalu saya alami. Kini, saya pun hampir lupa apa yang sempat melintas dalam benak saya saat itu.
Yang saya ingat, meski lamat-lamat, bagaimana pandangan orang-orang sekitar. Seperti yang sudah-sudah, telinga saya akan menangkap bunyi kalimat tanya yang serupa, “Setelah lulus mau kemana?”. Kata “kemana” dalam pertanyaan itu bukan menanyakan tempat yang akan dituju. Akan tetapi, selalu berkonotasi jenis pekerjaan.
Sebagai seorang fresh graduate, saya menjawab sekenanya saja. Agar, pertanyaan itu tidak disusul dengan deretan pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa jadi panjang urusannya. Saya juga cukup tahu, untuk mendapatkan pekerjaan tidak gampang. Beberapa kakak tingkat saya tak jarang berkeluh kesah tentang usahanya mencari kerja. Ada yang mengeluh karena tak juga mendapatkan pekerjaan. Ada pula yang terpaksa membanting setir, melakoni pekerjaan yang sama sekali tidak sesuai dengan bunyi ijazahnya.
BACA JUGA: Apakah Menjadi Perempuan itu Sulit?
Idealnya, seorang sarjana mesti mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya. Seorang Sarjana Pendidikan, mestinya jadi guru. Bukan jadi pegawai bank. Tetapi, keadaan bisa saja berkata lain.
Kadang, lowongan pekerjaan yang dibuka tak ada satupun yang berkaitpaut dengan kesarjanaan seseorang. Sementara, keadaan ekonomi masih perlu topangan. Maka, apapun jenis pekerjaan yang ditawarkan mesti disikat. Tak peduli cocok dengan gelar kesarjanaan atau tidak.
Situasi itu lumrah terjadi di negeri ini. Bisa saja, hal itu dipicu oleh jumlah lulusan perguruan tinggi yang melebihi kapasitas lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, setiap dibukanya lowongan pekerjaan, siapapun akan berebutan untuk mendapatkan kesempatan itu.
Kendati begitu, ada pula situasi lain yang perbedaannya terlampau senjang. Yaitu, para sarjana yang masih muda usianya beradu cepat untuk melangsungkan ijab kabul di hadapan penghulu. Alasan mereka pun bermacam-macam. Mulai dari pertimbangan agama sampai hal-hal yang sekait dengan masalah ekonomi yang dihadapi.
Bahkan, beberapa teman saya ada pula yang menjatuhkan pilihan untuk dipersunting laki-laki idamannya, jauh sebelum sempat ia mengenakan toga. Sah-sah saja sih pilihan itu. Toh mungkin saja mereka mantap dengan pilihan itu, apapun alasannya.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Menyaksikan kejadian-kejadian itu, pada akhirnya saya pun memahami, setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Pekerjaan atau karir, bagi perempuan seperti saya, mungkin saja bukan satu-satunya jalan atau anak tangga menuju kesuksesan. Ia hanya salah satu jalan yang disediakan oleh kehidupan.
Sebab, ada jalan lain pula yang disediakan oleh kehidupan bagi perempuan. Jalan itu pun tak sedikit yang memilihnya. Yaitu, memilih menjadi seorang Ibu.
Perlu saya garis bawahi, kata “Ibu” di sini bukan sekadar sapaan. Melainkan Ibu dalam makna yang sesungguhnya. Seorang perempuan yang mengandung bayi dan melahirkannya. Kemudian mengurus dan membesarkannya.
Pilihan ini saya jumpai pada beberapa teman saya. Begitu ia lulus dengan menyandang gelar sarjana, ia menikah. Setelah itu, ia menjadi seorang Ibu. Ada juga yang setelah lulus dan berkarir, tiba-tiba meninggalkan meja kantornya dan memutuskan untuk menimang-nimang anaknya di atas gendongannya.
Pilihan ini, bagi saya pribadi menarik untuk diurai. Sebab, menurut hemat saya, Ibu adalah keterpilihan.
Masyarakat ikut memikirkan
Menjadi Ibu tulen—terutama bagi para sarjana—agaknya cukup menyedot perhatian besar dari masyarakat di sekitar kita. Berpasang-pasang mata akan menyorot kepada perempuan berijazah S1, S2, bahkan S3 yang memilih “berkantor” di rumah. Beratus atau beribu mulut pula tak jarang memperdengarkan ungkapan bernada kasihan kepada ratusan atau ribuan pasang telinga.
Sungguh, bagi saya, ini menunjukkan betapa jabatan sebagai Ibu Rumah Tangga adalah jabatan yang mahal. Selalu diperbincangkan, cepat pula merambat perbincangan itu ke segala penjuru mata angin. Tak jauh beda dengan jabatan Presiden. Selalu menghiasi setiap obrolan di warung, pasar, terminal, tempat-tempat ibadah, bahkan di depan toilet umum sekalipun.
Jadi, bagi perempuan yang memilih Ibu Rumah Tangga sebagai karir puncaknya, tak perlu berkecil hati. Anggap saja yang mereka bicarakan itu adalah wujud perhatian besar atas apa yang kita pilih. Bisa jadi, perbincangan itu muncul karena sesungguhnya mereka memiliki keinginan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga. Namun, waktu belum memberi lampu hijau. Dengan demikian, menjadi Ibu boleh diartikan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terpilih.
Mengurangi Jumlah Pengangguran
Mungkin Anda bertanya, apa hubungannya antara Ibu Rumah Tangga dengan populasi pengangguran? Iya kan?! Sederhana saja. Saya ajak Anda bermain statistik pada level yang paling sederhana. Bahkan lebih sederhana dari yang paling sederhana.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah pengangguran di Indonesia pada bulan Agustus 2021 pada kisaran angka 9,1 juta jiwa. Jumlah itu dinyatakan menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada pada angka 9,77 juta jiwa. Lalu, apa yang menunjukkan penurunan itu?
BPS mengungkap fakta menarik soal yang satu ini.Bahwa ternyata, penurunan angka pengangguran itu lebih dikarenakan jumlah tenaga kerja laki-laki yang terserap lebih banyak dibandingkan perempuan.
Memang, fakta ini tak bisa dijadikan alasan mengapa menjadi Ibu Rumah Tangga itu penting. Tetapi, mungkin saja pilihan para perempuan yang bergelar sarjana untuk menjadi Ibu Rumah Tangga membuka peluang baru bagi kaum laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Sekurang-kurangnya, pilihan ini telah mengurangi beban mental kaum laki-laki dalam persaingan bursa kerja. Dengan kata lain, perempuan dengan pilihannya menjadi Ibu Rumah Tangga tulen telah mendorong para pencari kerja lebih bersemangat untuk lepas dari jerat pengangguran.
Tidak semua wanita yang sudah menikah, bisa.
Menetapkan Ibu Rumah Tangga sebagai karir bukanlah pilihan mudah. Faktanya, sekalipun sudah menikah dan memiliki anak, tak sedikit pula perempuan yang enggan melepas pekerjaan dan karirnya sebagai pekerja. Alasannya bisa bermacam-macam.
Keadaan ini menunjukkan bahwa memilih Ibu Rumah Tangga sebagai karir utama—bahkan satu-satunya—adalah bentuk keistimewaan, sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada yang “terpilih”. Lebih-lebih dengan menengok konsekuensi yang mesti ditanggungnya. Belum lagi dengan mempertimbangkan keadaan hidup yang menimpanya.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Mesti dicatat, perempuan yang “terpilih” sebagai Ibu tulen itu tak mesti hidup dalam keadaan ekonomi yang sudah mapan. Gelar sarjana tak menjamin bahwa hidupnya serba kecukupan. Tetapi, itu bukan berarti pula, bahwa pilihan menjadi Ibu Rumah Tangga tulen adalah wujud keterdesakan. Tidak semuanya bisa dipukul rata atawa digebyah uyah.
Teman saya, yang mantap memilih berkarir sebagai Ibu Rumah Tangga hidup dalam keadaan pas-pasan. Dia sarjana. Lulusan terbaik di kampusnya. Pernah bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah negeri, hampir jadi PNS. Tetapi, begitu anak pertamanya terlahir, ia banting setir menjadi Ibu tulen.
Dalam keadaan yang pas-pasan, dengan segenap jiwa-raganya, ia membesarkan anak-anaknya. Sementara, suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta berlabel lembaga pendidikan. Gajinya tak cukup membuat dompetnya tampak tebal.
Lalu, apa yang membuat teman saya memilih menjadi Ibu? Jawabannya sungguh membuat saya tercengang. Ia ingin membesarkan dan mendidik kedua anaknya sendiri. Ia tak ingin membebani orang tuanya dengan menitipkan anak-anaknya. Dan, ia tak ingin anak-anaknya tak terdidik dengan baik.
Tetapi, pilihan teman saya itu pilihan yang bagi ukuran awam sulit dilakukan. Tersebab itu, tak bisa pula hal itu dipaksakan kepada semua orang. Saya sangat menaruh hormat pada teman saya itu.
BACA JUGA: Hei, Para Suami! Jangan Bebani Istrimu Pakai Alat Kontrasepsi
Dan, pada akhirnya, saya juga mesti memberi hormat kepada teman-teman lain dengan pilihan yang berbeda. Bahwa menjadi sarjana dengan karir yang cemerlang sudah pasti menjadi dambaan bagi setiap orang. Lebih-lebih bagi perempuan yang telah menikah dan dikaruniai putra-putri. Pilihan itu juga baik. Apalagi jika diikuti dengan sikap yang proporsional dalam mencurahkan perhatian kepada anak-anak dan rumah tangga mereka.
Mengejar karir boleh saja sampai setinggi-tingginya. Namun, mempertahankan kehangatan pelukan seorang Ibu kepada anak-anaknya dan menjaga keharmonisan dalam keluarga mesti menjadi perihal yang dijunjung tinggi pula.
Pun sarjana yang memilih “berkantor” di rumah. Bukanlah sebuah dosa. Seorang Ibu Rumah Tangga tulen tentu memiliki waktu yang bisa lebih dikelola dengan baik untuk mengurus keluarga dan membagi kebahagiaan pada anak-anak mereka. Boleh juga, berbagi pengalaman dan pengetahuan saat berjaket almamater di rumah dengan anak-anaknya, supaya mereka juga tahu apa yang pernah ibunya ketahui.
Banyak cara yang bisa dilakukan seorang manusia untuk berguna bagi kehidupan. Banyak jalan pula untuk bisa dipilih. Yang penting, jalani dengan segenap rasa penuh bahagia.
*Tulisan Kolom Dunia Perempuan yang Ditulis oleh Hikmah Husna.