KOTOMONO.CO – Menyebut nama Kelurahan Kebulen mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Karena memang Kelurahan Kebulen merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Pekalongan Barat.
Berdasarkan data dari Kelurahan Kebulen, wilayah ini memiliki luas 33,50 kilometer persegi. Dimana sebelah Timur berbatasan dengan Landungsari, sisi utara berbatasan dengan Sapuro, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Jenggot. Sementara sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Medono. Biasanya dalam penamaan sebuah kelurahan, diambil dari para tokoh setempat atau aktivitas yang menjadi ciri khas dari wilayah itu sendiri, termasuk juga penamaan untuk Kelurahan Kebulen ini.
Menurut cerita dari orang orang yang tinggal dikelurahan tersebut, bahwa dulu banyak warga setempat yang bermata pencaharian sebagai pembuat batu bata. Dimana dalam pembuatan batu bata ini ada proses pembakaran, yang menyebabkan asap mengepul kemana kemana. Dan lokasi pembuatan batu bata itu berdekatan dengan sungai yang ada di wilayah itu.
“Yang saya tahu dari orang tua dulu itu, karena disini tempatnya orang bikin boto (batu bata) dipinggir kali, kebul kebul ning jejer kalen (banyak asap didekat sungai), sehingga dinamakan KEBULEN ”, kata warga dan sekaligus kyai di Kelurahan Kebulen yang bernama Zamruddin.
Sementara itu,warga asli Kebulen mbah Maghfud atau masyarakat sekitar memanggilnya Maghpul juga membenarkan, bahwa dulu mata pencaharian warga Kebulen adalah membuat batu bata. Bahkan kesohoran batu bata asal Kebulen cukup terkenal. Pembelinya juga datang sendiri untuk mengambilnya.
Baca juga : Sejarah Pasar Sentiling (Banjarsari) Pekalongan
‘‘Lha kae pabrik es, kota kabeh, omah cino cino kae njuguke boto dek kene kabeh, Kebulen kabeh sing nggawe awit simbahe aku’’(Artinya pabrik pabrik yang ada di Kota Pekalongan rumah rumah orang Cina di Kota semua membelinya dari Kebulen, karena memang dulu pembuatan batu bata sudah ada sejak kakek saya) Mbah Maghfud atau Maghpul yang kini usianya sudah 73 tahun itu juga menjelaskan, bahwa dirinya dulu juga mempunyai lahan untuk membuat batu bata sendiri.
Namun tempat pembuatan batu bata atau linggan yang dimilikinya kini digunakan untuk berkebun namun linggannya saat ini juga masih ada, yaitu di dekat tempat tinggalnya. Sampai dengan saat ini lokasi pembuatan batu bata atau masyarakat sekitar menyebutnya ‘linggan’ masih bisa dijumpai di kelurahan tersebut, tepatnya berada di Kebulen Gang 12 dekat Pondok Pesantren Al Iman.
Kini meskipun sudah tidak banyak aktifitas pembuatan batu bata, karena masyarakatnya sudah beralih profesi di meubeler dan pembuatan kain dengan alat tenun bukan mesin (ATBM), tetapi setidaknya lokasi ini menguatkan asal usul penamaan Kelurahan Kebulen.
Masih berkaitan dengan cerita diatas, ada cerita yang menyebutkan bahwa pada intinya di wilayah ini dulu tertutup dengan kebul (asap) sehingga disebut dengan kekebulan yang akhirnya dipersingkat dengan kata kebulan. Nah dari kata kebulan inilah dialek masyarakat Pekalongan sering mengucapkan huruf a dengan sedikit mendekati huruf e akhirnya berubah menjadi Kebulen.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Noyontaan Kota Pekalongan
Selain dengan kedua cerita diatas ada nara sumber yang menyebutkan bahwa Kebulen sebenarnya adalah untuk mengenang kepala desa pertama yang berasal dari wilayah kampung Kebulen yang kini menjadi wilayah Kertoharjo. Diceritakan bahwa tidak ada warga yang mampu atau cakap untuk menjadi kepala desa kecuali jika orang tersebut adalah warga dari Desa Kebulen Watujoyo. Akhirnya diangkatlah seorang pemberani dari Kebulen Watujoyo untuk menjadi lurah pertama desa Kebulen.
Sejarah Kelurahan Kebulen memiliki cerita lain yang cukup menarik untuk diungkap yakni cerita tentang kampung Sogaten. Kampung ini terletak di sebelah utara Jalan Jendral Sudirman berhadapan dengan kantor Kelurahan. Nama Sogaten berasal dari Kyai Sogati, seorang tokoh yang diperkirakan adalah pengikut dari Pangeran Diponegoro. Beliau terpaksa lari hingga Pekalongan untuk menghindari kejaran dari tentara Belanda.
Di Pekalongan beliau tetap berjuang namun tidak seperti ketika bersama Diponegoro hingga akhirnya oleh pihak Belanda tidak dianggap membahayakan sampai akhirnya meninggal dan di kuburkan di Kebulen. Wilayah sekitar tempat tinggalnya disebut dengan Sogaten. Namun kini mana kelurahan Kebulen sudah tidak ada lagi, karena awal tahun 2015 ada kebijakan Pemerintah Kota Pekalongan melakukan penggabungan kelurahan.
Baca juga : Sejarah Kampung Sepuran dan Jalur KA Dalam Kota Pekalongan
Yang mana Kebulen digabung dengan Sapuro , sehingga kini namanya menjadi kelurahan Sapuro Kebulen. Berdasarkan data dari Kelurahan setempat, jumlah warga Kebulen yang tercatat ada 5.840 jiwa. Dan kini, sejak digabung dengan Kelurahan Sapuro, data hingga April 2015, jumlahnya bertambah menjadi 11.836 jiwa.
Sumber : Laela – Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan.