KOTOMONO.CO – Apalagi kalau bukan kota kreatif namanya? Wong Kota Pekalongan itu selalu punya cara tersendiri agar disegani dunia. Meskipun dunia yang dimaksud baru sebagian kecil saja, sebutlah UNESCO. Dan itu pun diingat hanya sesekali; pada momen-momen tertentu saja, plus dirayakan oleh orang-orang tertentu juga.
Lha mana ada masyarakat akar rumput dan pesisir kota merayakan itu? Wong posisi masyarakat akar rumput ini kerap nggak dianggap membangun kota.
Walaupun begitu, kota yang penuh dengan intrik ini tetap berinovasi, termasuk salah satunya dalam sektor pariwisata. Saya sudah pernah menulis kalau sektor pariwisata adalah sektor yang tak mungkin luput dari perhatian Pemkot Pekalongan. Ya meskipun saya rasa Kota Batik itu nggak pantes dijadikan kota wisata.
Sebentar, kalau saya bilang begitu, nanti ada yang ngamuk. Lho, kan Pekalongan punya makam waliyullah, itu bisa dijadikan wisata religi, lho! Jangan sok tahu anda! Tiap hari banyak pengunjungnya!!!
Aduh… saya kok sampai hari ini masih bingung, kok ada ya orang yang masih ngotot bilang Kota Pekalongan cocok jadi kota wisata hanya karena ada makam wali yang bisa dibikin wisata religi? Saya juga bingung sama frasa “wisata religi” itu sendiri. Wisata itu kan hubungannya sama rekreasi, nah kalau ziarah itu rekreasinya dari mana? Entar bukannya seneng malah sedih meratapi dosa-dosa yang pernah dibuat.
Lantaran begitu fokus pada sektor pariwisata, Pemkot punya cara yang nggak ngotak sama sekali untuk bikin area wisata. Coba ngana pikir, peradaban manusia dari abad mana yang bikin tempat wisata saat daerahnya masih dilanda bencana alam: banjir rob? Lalu coba kalian ingat-ingat lagi, dari zaman Pithecantropus Erectus sampai Homo Sapiens, mana golongan yang memilih membangun wisata yang konon untuk perekonomian daripada memperbaiki pasar sebagai pusat perekonomian rakyat?
BACA JUGA: Memahami Logika Pemerintah Membangun Wisata Air Pekalongan Saat Rob Belum Tertangani
Kalian bisa simpan jawaban kalian, tapi saya akan sampaikan jawaban pribadi saya. Ya, golongan itu adalah Pemerintah Kota Pekalongan. Pemikiran Pemkot Pekalongan dalam pembangunan wisata betul-betul di luar kotak. Sebuah daya jelajah otak yang melampaui zaman purba sekalipun. Mau bukti? Nih saya sodorkan buktinya, tapi saran saya persiapkan Panadol.
Beberapa lahan di Kota Pekalongan yang mulanya produktif jadi mangkrak akibat diterjang rob. Salah satu yang parah adalah di Kelurahan Degayu yang 10 tahun sudah tak menghasilkan. Memperbaikinya? Ah, jelas itu buang-buang waktu saja. Toh nanti bakal diterjang rob lagi, terlebih Kota Pekalongan kan diprediksi tenggelam.
Tentu daripada memperbaiki yang mangkrak agar jadi lumbung padi lagi, atau serius mengatasi rob, sekitar 200 hektare lahan yang tak produktif justru membuka kesempatan Pemkot untuk mengepakkan sayap kepariwisataan di Kota Batik. Caranya, dengan mengubah lahan mangkrak itu menjadi area wisata.
“Melalui tinjauan langsung ini maka bisa diketahui kondisi riil di lapangan untuk menentukan langkah selanjutnya terkait pemanfaatan lahan persawahan yang sudah lama mangkrak tersebut,” kata Wakil Walikota Pekalongan, Salahudin seperti dikutip Antara.
“Pemkot akan membantu memfasilitasi dan memberikan stimulan dalam membangun infrastruktur di sekitar lokasi itu. Apabila, gagasan itu dapat diwujudkan maka masyarakat bisa membuat ‘homestay’ atau kolam ikan di sekitar area itu,” katanya.
BACA JUGA: Bu Risma yang Kecewa Bantuan di Pekalongan Tak Sesuai Adalah Sosok yang Kita Nanti-nantikan
Benar pak, saya setuju. Daripada sekadar merusak pemandangan mata, sawah-sawah yang nggak berfungsi itu memang lebih baik dibikin area wisata. Pemkot Pekalongan ini sudah seperti atlet panahan saja, sanggup membidik dengan cermat peluang di depan mata.
Nggak usahlah sampai memikirkan nasib si empunya lahan. Toh, mereka sudah meninggalkan lahannya itu dan bukankah semua yang ada di Kota Pekalongan ini milik pemerintahnya? Pasti si empunya lahan sepakat lah kalau lahannya dibikin tempat wisata. Kalaupun nggak, ya anggap saja sepakat. Gitu aja kok repot.
Cara Pemkot menambah area wisata yang semacam itu patut kita acungi jempol kaki. Bahkan cara yang dilakukan Pemkot Pekalongan ini bisa ditiru kota-kota lain dalam membangun area wisata. Tapi saya kira bukan itu saja, cara ini juga bisa dipakai ketika ingin membangun proyek-proyek lain yang sama-sama mendatangkan cuan.
Sejak zaman Cornelis de Houtman sampai era Luhut Binsar Pandjaitan, pembangunan-pembangunan yang dicanangkan pemerintah acap kali terhalang sengketa lahan. Penolakan warga sering terjadi ketika lahan mereka hendak digusur untuk kepentingan proyek. Bahkan ironisnya sampai merenggut nyawa.
Nah kalau lahannya nggak dipakai, kecil kemungkinan timbul penolakan terhadap proyek. Jadi aparat tidak perlu sampai bentrok dengan warga. Warga pun juga tak perlu menyemen kakinya. Apa yang hendak dilakukan Pemkot Pekalongan ini sangat cerdas. Berusaha memanfaatkan lahan yang rusak gara-gara rob untuk dibikin area wisata.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pemkot Pekalongan Punya Buzzer
Dengan kata lain, rob yang tak kunjung usai ini nyatanya nggak merugikan-merugikan amat. Rob bisa saja melumpuhkan aktivitas warga, menghanyutkan rumah-rumah, menyulap ratusan hektare sawah menjadi tambak, dari agraris menjadi maritim. Namun rob juga membantu membuka lahan untuk pariwisata.
Saya jadi menaruh curiga, boleh jadi sesuatu yang mangkrak, apapun itu nantinya akan dibikin area wisata oleh Pemkot Pekalongan. Mungkin sasaran berikutnya adalah Eks Pasar Banjarsari yang pernah kebakaran itu. Ya barangkali akan dibikin panggung stand up comedy, lalu para pejabat yang bakal open mic.
Jika semua yang mangkrak-mangkrak itu disulap menjadi area wisata, saya sih setuju-setuju saja. Asalkan yang mangkrak dan yang disulap jadi area wisata itu bukan skripsi mahasiswa.