Seharusnya ini adalah hari-hari paling menggembirakan bagi Karnoto Plenyok, bujang tua yang pada akhirnya berani menikahi gadis pujaan, seharusnya. Namun, ternyata ada beberapa hal remeh yang justeru membuatnya naik pitam.
Tentu mudah mendapatkan gadis dengan usia jauh di bawahnya bila dia bekerja di kantor pemerintahan walaupun hanya sebagai pekerja outsourching, yang di mata si Gadis dan orang tuanya suatu saat di masa depan Karnoto Plenyok akan diangkat jadi PNS. Hal yang sengaja tidak diceritakan kepada si Gadis dan orang tuanya adalah bahwa tidak ada aturan kalau pekerja outsourching seperti dirinya nanti akan diangkat PNS.
Dengan gaji yang hanya 60% dari apa yang dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan praktis dia tidak akan cukup uang untuk persiapan pernikahan sendiri, yang pada akhirnya mendorongnya untuk menyelenggarakan maleman manten seminggu sebelum akad, seperti yang dilakukan beberapa orang lain untuk menggalang modal nikah.
Paginya, sehari setelah segala keribetan malam sumbangan itu Karnoto Plenyok terduduk diam, dipandanginya setumpuk sumbangan dari pada tetangga: beberapa karung beras, beberapa karung gula pasir setengah kiloan, beberapa slop rokok berbeda merk, dua peti telur ayam mentah, roti es dan palmes masing-masing satu kaleng, dan lain-lain.
Matanya memerah, pipinya kadang bergetar, rahang mengeras dan giginya rapat menahan segala amarah.
“Seharusnya Mae tidak perlu menerima ini semua, sumbangan cuma omong kosong, orang-orang itu cuma ngutangi!”
“Aku cuma perlu orang-orang itu mengembalikan apa yang pernah aku titipkan, tanpa perlu menambah lagi daftar utang yang harus aku bayar di masa depan.” terusnya.
Ibunya yang dipanggil Mae itu tampak lebih renta dari biasanya, rambutnya dibiarkan terurai, uban memenuhi bagian ubun-ubun, dengan mata berkaca-kaca dipeganginya buku catatan bersampul Pendekar Yoko dan Bibi Lung yang telah usang di tangan kiri, sedangkan di tangan kanan menggenggam bolpoin, yang sesekali digunakannya untuk menggores huruf-huruf balok ke buku catatannya.
Buku itu berisi daftar panjang orang-orang yang pernah menyumbang dan dia sumbang di masa lalu, nama-nama itu bersanding dengan besaran sumbangan yang pernah dia terima atau dia titipkan, baik berupa uang maupun barang, ada yang sudah dicoret artinya lunas, ada yang masih baru, bahkan di halaman-halaman awal pun sudah ada daftar nama yang tidak akan pernah dicoretnya karena orangnya telah merantau jauh hingga hilang kabar, bila ada nama yang ternyata telah meninggal tapi masih punya kerabat keluarga dia masih punya harapan sumbangannya akan dikembalikan, dengan malu-malu Mae akan menunjukkan buku catatan usangnya ke anaknya atau saudaranya atau ke ahli waris lainnya.
“Mae cuma menagih sumbangan ke orang-orang yang pernah Mae sumbang, bila ada kerabat dan teman baik memberi sokongan tentu Mae tidak bisa menolaknya, mereka sendiri yang mau.” jawab Mae, batang bolpoinnya licin dan lembab karena keringat.
“Tetap saja mereka itu ngutangi, yang suatu saat harus aku bayar, dengan harga yang nanti pasti lebih mahal, dumeh dadi wong duwe! Ora ikhlas nulung malah nyengsaraake!” Karnoto Plenyok masih menahan banyak kegeraman.
Inginnya mengamuk dan mengeluarkan segala kalimat pedas yang terus saja membuncah di dadanya, meski tidak ditujukan pada Mae, tapi saat itu hanya Mae yang ada di situ, dia tidak mau menyakiti Mae lebih banyak lagi, karena hanya Mae satu-satunya orang tua yang masih dimilikinya.
“Mereka berniat menolong Kar,” jawab ibunya yang semakin lama semakin menunduk, “Niat nulung.” ungkap Mae lagi.
Mae menunggu jawaban, namun jawaban yang diterimanya hanya keheningan, dibiarkannya keheningan itu untuk beberapa lama, semakin lama keheningan itu semakin baik, dan dia tidak mau mengubahnya, sampai-sampai dia merasa kalau goresan bolpoin di bukunya itu terlalu berisik, hingga dia letakkan buku dan bolpoinnya ke lantai dengan sangat hati-hati. Keheningan itu hampir mirip retihan bara dalam sekam, hanya dibutuhkan sedikit saja embusan angin untuk mengubahnya menjadi kobaran api. Dalam hati Mae terus berdoa pada Gusti Pengeran, “Adem, adem, adem. . .”
Kedua bola mata Mae berkaca-kaca, tidak semata berasal dari kesedihan, tapi juga keharuan yang begitu dalam. Sekuat tenaga terus ditahannya agar air matanya tidak bocor keluar, dia tahu anaknya akan bertambah dongkol bila melihat ibunya menangis.
Dulu sekali sewaktu masih kanak-kanak Karnoto bertingkah laku seperti anak perempuan, begitu kemayu, dalam gerak tubuh dan juga perkataanya, plenyak-plenyok seperti perempuan, sehingga temannya yang paling mbeling menamainya Karnoto Plenyok, nama itu terus menempel sampai dewasa. Sebab alasan itulah mengapa sebutan plenyok itu melekat begitu eratnya pada nama Karnoto.
Sang ibu berharap dengan pernikahan itu julukan plenyok pada anak semata wayangnya bisa hilang dan dilupakan, dan dia tidak perlu lagi menanggung malu karena anak bujang yang sudah berumur itu belum juga menikah. “Lerep, lerep, lerep. . .” doanya dalam haru keheningan.
Beberapa jenak kemudian, keheningan itu dipecahkan oleh ketukan di pintu depan, terlihat dari kaca jendela yang buram sosok Budi Panut, Mae sedikit lega. Budi Panut lebih tua dari Karnoto Plenyok, juga belum pernah menikah, hidupnya santai, yang kadang bagi sebagian orang menganggapnya sebagai parasit, walaupun begitu dia sangatlah setia pada pertemanannya. Segala urusan tetek-bengek pernikahan Karnoto Plenyok selalu ditemani dan dikerjakan bersama Budi Panut. Orangnya gampangan, tidak pamrih, dan tidak pernah membuat kawan-kawannya merasa tidak enakan.
“Maaf Kar, kemarin-kemarin belum sempat ngasih sumbangan,” kata Budi Panut setelah mereka duduk-duduk di serambi rumah sambil menikmati secangkir kopi instan, “Semalam nomerku tembus, jadi bisa buat nyokong. Ini satu slop Surya. Tadi sudah tanya ke warungnya Yu Sri, kalo diduitkan jadi segitu.”
“Ya,” jawab Karnoto Plenyok sambil menerima beberapa lembar lusuh uang, “Terima kasih.”
Di mata Karnoto Plenyok deret angka maupun warna uangnya seakan meluntur, tanpa perlu repot-repot dihitung lagi, dijejalkan langsung ke saku belakang celananya, dalam-dalam.
***
Pekalongan, 26 Juli 2022.