KOTOMONO.CO – Setelah menyaksikan kawannya tak bernyawa karena diracun ketika sedang berjuang melahirkan bayinya yang sungsang, hati Nginang bergetar.
Bertambah tergoncanglah perasaanya saat bayi sobat karibnya itu ikut mampus.
Betapa seorang ibu tampaknya senantiasa menggandeng malaikat pencabut nyawa setiap kali hendak mengeluarkan buah hati dari perutnya. Apalagi bila memang ada yang menginginkan kematiannya. Tentu saja apakah malaikat itu bakal menarik jiwa orang hidup itu atau tidak, ini menjadi urusannya. Lebih tepatnya, urusan Tuhannya, Sang Pemberi Perintah.
“Heh, sudah dengar kabar belum?” kata seseorang.
“Kabar apa?” jawab yang lain.
“Sophia mati!”
“Sophia yang itu?”
“Iya, Sophia yang itu.” jawab yang lain.
“Maksudmu Sophia yang mantan preman di desa Nganu?” temannya coba memastikan, sebab lebih kurang ada lima Sophia yang terkenal di Kecamatan Ngamin di mana Desa Nganu berada.
“Hush! Jangan bilang begitu. Dia jadi preman, kan, biar kita hidup tentram.”
“Kok, kayak pemerintah saja kerjaannya, menentramkan rakyat. Meskipun, yah, meskipun sejarah mengatakan sebaliknya,” ujar seorang warga yang baru pindah.
“Hush! Ngawur! Sophia lebih hebat dari pemerintah. Bensin seliter saja dihargai Rp1.500. Malahan teruntuk mereka yang tak berpunya–saking melaratnya, bahkan ada yang sampai menggadaikan organ tubuhnya demi menyambung hidup–Sophia memberinya cuma-cuma.”
“Betul itu!” tiga orang menjawab serentak.
Sementara itu, di bawah sinar surya yang menyengat di hari pemakaman Sophia, kecuali dua orang tukang gali kubur itu, tak ada satu pun pelayat.
“Kok, mereka semua tega, ya? Sampai-sampai nggak ada yang ikut mengantarkan Nyonya Sophia ke peristirahatannya yang terakhir,” ujar salah seorang penggali kubur.
“Wah, sampean belum tahu ya? Wanita tinggi besar itu, kan, belum beristirahat. Setidaknya bukan yang terakhir. Ingat, dia akan selalu hidup di hati kita para anak buahnya,” temannya berkata setengah berbisik.
“Justru itu, harusnya mereka juga ikut memberi hormat. Nggak kayak gini, cuma kita berdua. Harga Nyonya tidak semurah itu, Bung. Mestinya masyarakat enam desa tumpah di pemakaman sempit ini.”
“Lho? Kamu nggak tahu kabar terbaru? Mereka semua, kan, sedang protes ke pemerintah, ke kantor kecamatan.”
“Hah?!”
Di saat yang sama di tempat yang berbeda, satu kilometer sebelah Selatan dari pemakaman, Nginang memimpin demonstrasi warga enam desa di kantor Kecamatan Ngamin. Paling sedikit lima ribu orang memadati tempat itu.
Mereka yang ikut demo berasal dari beragam kalangan, mulai dari pegawai negeri, guru honorer, mandor bangunan, mahasiswa, siswa sekolah menengah, pedagang, petani, tukang cukur, tukang las, montir mobil, tukang jagal sapi, dan orang-orang tanpa status yang nasibnya bahkan tidak akan pernah tercatat dalam buku sejarah.
Selama berdemo, ribuan warga, termasuk Nginang, membawa nisan kuburan serta mengenakan ikat kepala dengan kain kafan jenazah perempuan yang digalinya berjam-jam yang lalu dari kuburan Revolusi, sebuah pemakaman korban pembantaian massal puluhan tahun silam, yang berada tak jauh dari desa itu. Mereka mencakulnya dengan tangan telanjang sampai kuku-kuku mereka patah, setengah lepas, dan ada juga yang copot sama sekali dari jari tangannya.
Ada sebagian dari mereka, karena tak kuat lagi, yang akhirnya minta tolong pada kawan terdekat. Kemudian, didorong oleh rasa solidaritas yang kuat, rekan itu dengan rela mencangkul makam pilihan si peminta bantuan dengan hanya kesepuluh jari-jarinya yang semua kukunya telah ambyar.
Situasi di kecamatan makin lama bertambah panas. Kantor itu akhirnya tak mampu lagi menampung massa sebanyak itu. Mereka sampai merangsek ke dalam kantor, naik ke atap, duduk di atas mobil-mobil pejabat kecamatan, dan bergelantungan di rangka kayu bangunan. Sambil menggendong penanda kubur itu dengan tangan kanannya, mereka juga mengacungkan tinju kirinya yang berlumuran darah ke udara seraya meneriakkan keadilan.
Dengan cepat media sosial mengabarkan, ribuan warga merusak kuburan, mencuri kain pembungkus jenazah, mencabuti batu nisan, dan berdemo di depan Kecamatan Ngamin. Berita itu, bila pantas disebut demikian, segera viral. Ia menjadi topik yang paling dibicarakan dalam dua jam terakhir.
Salah satu wartawan media online datang meliput peristiwa unjuk rasa itu dan mewawancarai beberapa orang. Ia penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?
“Itu bukan hak saya untuk menjawab. Sampean tanyakan saja ke wakil pemimpin kami, dia yang merupakan satu-satunya kaki tangan Nyonya Sophia: Nginang,” kata seorang demonstran.
“Saya belum pernah ketemu Nginang, mas. Tapi yang saya dengar, dia itu seorang lelaki pendek, jalannya pincang, matanya sipit sebelah, dan selalu berada di depan,” ungkap seorang guru honorer yang bolos kerja demi memperjuangkan kebenaran.
“Orangnya di depan sana, pak,” ujar yang lain kepada juru warta itu.
Pewarta itu, yang ternyata bernama Jono Sukeno Rapopo, berusaha keras menembus kerumunan yang begitu rapat lagi mampat.
Paru-paru Jono seperti tak tahan dengan udara di tengah keramaian yang pengap. Ia heran bagaimana mungkin mereka sanggup bertahan demikian lama dan tampak tak begitu kesulitan bernapas. Malahan, teriakan mereka semakin menjadi-jadi saja seakan-akan oksigen di sekitarnya hanya boleh dihirup oleh para demonstran, dan bukan untuk orang asing seperti diri Jono.
Jono makin ingin tahu apa yang membuat mereka berdemo. Ia lantas terus maju, mendorong orang-orang yang pakaiannya penuh dengan noda tanah, juga yang ujung-ujung jarinya merah kehitam-hitaman.
“Apa mereka nggak merasakan sakit?” tanyanya dalam hati.
Akhirnya, sampailah Jono di barisan terdepan. Ia melihat seorang lelaki bertubuh pendek dan bermata sipit sebelah sedang berteriak lantang. “Diakah Nginang?” gumam Jono.
Selama unjuk rasa, Nginang terus memanggul karung kecil berwarna merah gelap, basah, dan berbau amis. Ukurannya tidak lebih besar dari helm. Bentuknya juga tak beraturan, seolah diisi dengan berbagai benda secara asal.
“Mereka membunuh sahabatku, Sophia,” jawab Nginang setelah berhasil dibujuk Jono untuk ditanyai.
“Apakah Anda punya bukti?” Jono melirik karung itu. Ia tak kuat dengan aroma yang menusuk hidungnya.
“Mengapa butuh bukti? Lihat saja mereka,” Nginang mengarahkan dagunya ke arah massa, “Merekalah buktinya.”
“Mengapa Sophia dibunuh?”
“Karena dia menunjukkan kebenaran, dia membuat kami sadar akan kedudukan kami, dia membuat kami sanggup hidup mandiri tanpa perlu uluran mereka. Dia, di mata mereka, adalah duri dalam daging, tukang kritik, penjahat licik. Dan…” Nginang tertunduk.
Jono menunggu.
“…karena dia seorang wanita,” lelaki pendek itu melanjutkan, “dan tengah hamil. Bagi mereka, menghabisi wanita pemberontak, apalagi yang berbadan dua, adalah suatu kemuliaan tersendiri. Entah ajaran darimana itu.”
Nginang terbatuk hingga badannya tertekuk, lalu bersin setelah menghirup udara berdebu tebal.
Setelah meludah, Nginang melanjutkan, “Karena itulah kami membawa nisan dan kafan jenazah perempuan sebagai simbol perlawanan. Perempuan adalah kami. Perempuan bukan sekadar jenis kelamin. Ia tak lain merupakan kehidupan itu sendiri. Dan kami ingin terus hidup yang bukan sekadar hidup, sebab kami manusia, bukan monyet.”
“Dari tadi Anda menyebut ‘mereka’. Memangnya siapa mereka itu?” tanya Jono.
“Di sana, di balik kantor itu, berkumpulah siapa-siapa yang kami sebut ‘mereka’.”
“Maksud Anda, pejabat kecamatan?”
“Jangan salah, Bung. Mereka itu bisa pejabat, pengusaha, LSM, mungkin juga sahabat saya sendiri atau orang-orang yang merasa kepentingannya lebih urgen daripada kehidupan kami.”
“Mengapa tidak Anda laporkan saja?”
“Apakah setelah dilaporkan, kehidupan kami bakal balik seperti dulu?”
“Tapi waktu tak bisa diputar lagi. Tidak mungkin mengharapkan itu terjadi. Bukankah hukum akan menggilas mereka?”
“Anda berbicara seolah-olah bagian dari mereka,” sindir Nginang.
“Baik,” Jono membetulkan letak kacamata hitamnya. Ia sedikit tersinggung, lalu melanjutkan pertanyaannya, “Benarkah Sophia sehebat itu hingga ditakuti oleh siapa yang Anda sebut ‘mereka’?”
“Dengar, ya, saudara wartawan. Pemimpin kami ini, Sophia, tumbuh tinggi, terlalu tinggi malah. Sedemikian menjulang hingga ia menjadi satu-satunya orang yang merasakan embusan angin yang kencang bagai semburan mesin jet. Sedemikian mencakar langit tubuhnya, sampai-sampai penglihatannya terlalu luas dan mendalam. Orang bilang tatapannya seperti elang. Keistimewaan itulah yang membikin mereka takut.”
“Anda jugakah yang menyuruh mereka menggendong nisan dan mengikat kening mereka dengan kain kafan?
“Tidak. Saya cuma usul. Mau disetujui silakan, tidak juga nggak apa-apa. Terserah. Tapi lihat, mereka memilih menghargai hidup, sebab itu mereka memakai kain kotor itu.”
“Lalu, benda apa yang ada di dalam karung Anda?”
“Oh, ini?” Nginang mengangkatnya setinggi kepala Jono, “Ini simbol saja. Simbol perlawanan saya terhadap mereka.”
Hampir saja Jono muntah. Ia lalu menutup hidungnya dengan dua jari sambil bertanya dengan suara sumbang, “Mengapa tidak membawa seperti teman Anda?”
“Tidak, ah. Saya suka paranoid dengan benda-benda yang berbau kuburan, jenazah orang, dan pocong-pocongan. Ngeri.”
Orang ini sinting, pikir Jono. “Lantas, apa sebenarnya isi karung ini?”
Tiba-tiba saja Nginang tersenyum mirip anak kecil yang ketahuan mencuri uang ibunya sambil menjawab, “Kepala ikan.”