KOTOMONO.CO – Saya masih belum bisa mengerti dengan fenomena yang sedang terjadi di masyarakat. Sejak maraknya media sosial, orang-orang mulai kehilangan privasi. Tidak sungkan membagikan apapun yang terjadi dalam hidupnya. Entah itu berita bahagia, bahkan yang sebaiknya tidak di-share sekalipun.
Seperti video yang viral belakangan ini. Beredar sebuah video di TikTok yang memperlihatkan seorang bocah laki-laki menangis dalam pangkuan perempuan. Pada caption yang dibubuhkan dalam video tersebut tertulis,
“Kayak mana ini solusinya. Pacar dua-duanya hamil semua. Ya Allah Gusti adikku..”
Ini videonya gaes, gimana pendapat kalian?? pic.twitter.com/Np62iqZzO9
— Kegoblogan.Unfaedah (@kegblgnunfaedh) April 3, 2023
Sampai di sini saja, apa yang kamu pikirkan?
Jikalau kamu sudah tidak bisa berkata-kata, tetap diam saja dan biarkan saya lanjutkan ceritanya. Saya yakin setelah ini kamu akan lancar berbicara mengeluarkan sampah serapah. Simak baik-baik.
Dalam video itu tidak banyak yang ditampilkan. Hanya tangisan anak laki-laki, dan sahutan menenangkan dari dua perempuan di sekitarnya. Saya kurang mengerti suara dua perempuan itu berasal dari kakak dan ibunya, atau bahkan tetangga, tidak ada keterangan jelas. Tapi yang pasti saya sangat mengerti dan mendengar dengan jelas kalimat yang diucapkan keduanya.
“…anak e wong meteng. Wis to ojo nangis to. Tinggal dikawinin aja. Wis to ojo nangis to. Cup cup cup cupp…”
Jawab suara dua perempuan tersebut bersahutan sambil setia mengelus kepala bocah yang sedang menangis sambil bersimpuh itu.
BACA JUGA: Childfree Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Adalah Menggugat Prinsip Orang Lain
Apakah mereka adalah jelmaan malaikat yang tingkat kesabarannya di luar nalar kita sebagai manusia? Hmmm. Yang jelas, selain jadi ingin berkata-kata, tanganmu juga tergerak ingin berolahraga bukan? Tahan ya, belajar dari ketenangan dua perempuan itu pokoknya. Hiks.
Demi Meningkatkan Exposure, Kelayakan Dilangkahi
Sebenarnya ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya banyak video beredar yang justru memperlihatkan kekeliruan. Video seorang ibu yang memberikan susu kental manis dan kopi untuk bayi, perundungan yang justru sengaja direkam, dan kekerasan yang dipertontonkan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada filter “kelayakan” dalam otak pengunggah atau pelaku.
Bagi saya, oknum —kita sebut demikian saja— tidak mengerti definisi benar, salah, dan aib. Imbasnya adalah penyebaran konten-konten yang bermuatan negatif. Urat malu mereka mungkin sudah tertutupi urat exposure. Apalah itu kesalahan, kekeliruan, hal memalukan, tindakan tercela, tak perlu lagi diindahkan. Yang terpenting exposure, viral, kemudian cuan dan ketenaran, mungkin?
Semoga ini hanya spekulasi tak berdasar saya saja. Sangat miris jika yang terjadi memang benar demikian. Termasuk yang terjadi pada video bocah lelaki yang menangis ketika mengetahui fakta dua kekasihnya hamil bersamaan. Apa yang dicari dari keputusan mengunggah video tersebut? Menarik simpati netizen? Menunjukkan support keluarga? Mengajarkan rasa tanggung jawab?
BACA JUGA: Efek Domino Aduan Inisial APA, Cinta itu Buta Tapi Jangan Buta-Buta Amat
Sampai detik ini saya masih tidak bisa memahaminya. Tujuan tersebut hanyalah semu jika pokok permasalahan yang dilakukan oknum sangat tidak bisa ditolerir. Pun caranya. Seperti pada kasus kekerasan Mario Dandy, apakah kita bisa melihat jiwa kepahlawanan (melindungi kekasihnya) setelah dia menganiaya David sampai koma? Lalu, bisakah kita melihat support system yang baik setelah mendengar kalimat “yasudah, tinggal dikawinin saja,”?
Ada alasan di balik perilaku seseorang. Dan inilah yang semestinya kita wanti-wanti sebagai pengguna media sosial. Apa yang kita rekam akan tersebar dan dilihat oleh dunia. Kalau teman saya bilang, Tuhan menutupi aibmu tapi kau malah menyebarluaskannya melalui TikTok. Duh, goblok.
Tidak Semua Orang Layak Menjadi Orang Tua
“Any man can be a father, but it takes someone special to be called dad”.
Saya mendapat quote itu dari postingan Instagram. Entah sumber aslinya dari mana, saya terkesima sejak kali pertama membacanya. Bagi saya, quote ini sangat menampar. Sekalipun saya perempuan, masih muda, belum menikah, dan memiliki anak. Kalau diringkas, dalam kacamata saya berarti semua orang akan menua dan bisa memiliki anak tapi tidak semuanya layak menjadi orang tua.
Sebab menjadi orang tua tidak sesimpel sel sperma kamu berhasil membuahi indung telur, atau mengandung anak sembilan bulan kemudian melahirkannya ke dunia. It’s motherfucking hard!
BACA JUGA: Himbauan Tidak Memperlihatkan Gaya Hidup Mewah Itu untuk Kebaikan Bersama Kok!
Banyak yang perlu dipertimbangkan saat kita memutuskan memiliki anak. Kesiapan mental kedua pasangan, finansial, juga pendidikan yang akan diberikan sepanjang kehamilan sampai anak tumbuh besar. Orang tua bisa saja berhenti membiayai anak saat mereka sudah tumbuh dewasa, tapi tanggungjawab moral akan ada seumur hidup.
Kalimat “tinggal dikawinin saja” dalam video tersebut terdengar begitu enteng. Meleburkan beban tanggungjawab yang super besar dalam membangun rumah tangga dan menjadi orang tua. Mirisnya, kalimat itu dilontarkan oleh orang dewasa kepada anak lelaki yang sudah melakukan kekeliruan.
Mungkin dalam perspektif beberapa pihak, menikahkan dua anak yang sudah berhubungan seks dan hamil adalah bentuk dari tanggungjawab. Tapi bukankah lebih banyak kacamata lain yang lebih bijaksana untuk semua pihak? Well, ini sebenarnya masalah yang kompleks. Parenting, pendidikan seks, pengawasan orang tua, kultur sosial, pergaulan, termasuk ekonomi. Belum lagi jika kita menyinggung soal agama. Wah, bisa lebih panjang lagi.
BACA JUGA: Memahami Aksi Mendadak Klaim Pejabat: Jangan Mikir Pendek!
Oleh sebab itu, tanggungjawab yang besar ini baiknya ditanamkan lingkungan kepada anak sejak dini. Sebelum mereka bisa berbuat seenaknya tanpa memikirkan dampaknya dan kembali menjadi beban keluarga. Spill lah mereka bahwa seks yang tidak teredukasi bisa berdampak panjang.
Menikah yang dianggap sangat enteng sementara kesiapan psikologis dan finansial belum matang, akan berlarut-larut menjadi bola salju yang membawa masalah lebih besar ke depannya. Apalagi saat mengunggah video demikian kepada khalayak umum. Saya khawatir virus berbuat seks kemudian menganggap enteng pernikahan semakin meluas dan dianggap sebagai hal wajar. Pun dengan tindakan mengunggah hal tidak layak lainnya.
Apakah kita tidak bisa berkaca terlebih dahulu saat memutuskan berbuat sesuatu?