Kotomono.co – Sudah sepekan lebih lebaran berlalu, namun kenangan yang muncul masih sangat melekat di kepala. Pun pada konten-konten yang sudah mendulang ribuan views. Saking berkesannya (entah baik ataupun buruk), pengalaman lebaran tidak sungkan dibagikan melalui media sosial. Sebagai manusia yang banyak salahnya, mari kita fokus pada pengalaman buruk saja. Capek sih jadi baik mulu.
Maksudnya, alih-alih menemukan banyak konten positif, saya justru lebih sering mendapati konten dengan kesan negatif saat lebaran kemarin. Konten ini kebanyakan diunggah oleh kalangan muda dengan berbagai latar belakang. Lelaki, perempuan, lajang, bahkan orang yang sudah berumah tangga. Sangat disayangkan, momen Idul Fitri yang suci justru meninggalkan kesan yang kurang baik bagi beberapa orang.
Berawal dari Kumpul Keluarga
Jauh sebelum lebaran, seorang teman bercerita bahwa dia berharap mendapat shift tepat hari H. Ia mengaku malas harus berhadapan dengan keluarga besar dengan banyak pertanyaan yang mengantre di belakangnya. Pengalaman ini tentu tidak sekali dua kali saja terjadi. Sudah seperti rutinitas obrolan kumpul keluarga saat lebaran. Karena sedang merasa berat dengan hidupnya, teman saya justru berharap bisa menghilang sejenak saat momen itu datang kelak.
Tuhan menjawab doanya. Tepat malam lebaran, dia dapat shift malam dan mau tidak mau, harus ijin kumpul keluarga karena perlu istirahat untuk shift selanjutnya. Dia datang kepada saya dengan semangat saat menceritakan “keberhasilannya”. Apakah memang semengerikan itu agenda kumpul keluarga?
BACA JUGA: 4 Hal yang Paling Menyebalkan Saat Berselancar di Twitter
Rupa-rupanya kisah demikian juga saya dapatkan di ruang obrolan aplikasi burung biru. Banyak akun yang menyebutkan bahwa mereka malas menghadapi serentetan pertanyaan yang akan didapati saat kumpul dengan keluarga besar.
Momen kumpul yang sangat jarang tersebut biasanya diisi dengan basa-basi yang kemudian berujung pada introgasi pencapaian. Serentetan pertanyaan tersebut alih-alih disebut sebagai pertanyaan mananyakan kabar, lebih cocok disebut dengan intorgasi yang memaksa “tersangka” mengaku.
Keluarga dan Mulut Toxic-nya
Kerja di mana sekarang?
Udah bener-bener kerja di sana ngapain resign?
Calonnya orang mana?
Kapan nih nikahnya? Jangan kelamaan lho.
Itu si kakak nggak minta adek emang? Nambah momongan aja mumpung masih muda.
Udah ngisi belum? Mbuk ya itu berobat ke sana, tetangga tante bisa hamil lho.
Itu si A kemarin baru ngelamar pacarnya, kamu kapan?
Si B udah ambil KPR lho, kamu masih mau ngontrak terus bentar lagi kan lahiran.
Mungkin bagi sebagian orang pertanyaan tersebut biasa saja. Namun bisa menjadi sangat sensitif ketika dilontarkan secara langsung. Terlebih jika penanya adalah seseorang yang paham keadaan sebenarnya.
Dengan dalih basa-basi, menanyakan kabar, atau menjalin kedekatan, keluarga bisa menjelma sebagai racun mematikan. Pertanyaan itu laiknya bom yang pada akhirnya hanya menumpas semangat pihak lain menikmati kebersamaan tersebut. Hal demikian yang pada akhirnya membuat orang-orang ingin meghilang saat lebaran, rela bekerja bahkan sengaja tukar shift demi kabur dari keluarga sendiri.
Sebab Keluarga, Bukan Berarti Harus Tahu Segalanya
Yang tidak disadari oleh banyak orang yaitu bahwa sebenarnya kita tidak berhak menanyakan privasi orang lain. Sekalipun keluarga sendiri. Jalinan kekerabatan tidak lantas bisa menembus dinding batas tersebut sehingga kita bisa dengan seenaknya melontarkan pertanyaan apa pun. Apalagi kalau hanya bisa bertemu saat momen-momen besar tertentu saja.
Dibanding menanyakan hal sensitif, alangkah lebih baik saling menghargai, membahas sesuatu yang lebih berkesan sehingga suasana hangat dan interaksi yang terjalin tidak menimbulkan rasa sungkan ke depannya.
BACA JUGA: Insecure? Nih, 5 Tips Meningkatkan Kepercayaan Diri
Kita tidak pernah mengatahui apa yang sudah dilalui orang lain. Sikap mereka yang terlihat baik-baik saja di luar, bukan berarti mencerminkan keadaan hatinya. Keteguhan tiap orang berbeda, oleh karenanya lebih baik menjaga ucapan agar tidak mengusik ketenangan orang lain.
Jika lebaran atau momen kumpul keluarga lainnya justru dihindari sebagian orang, lantas apa makna keluarga sesungguhnya? Mereka bahkan tidak nyaman berada di satu forum dan memilih kabur. Hal-hal yang terlihat sepele seperti ini mungkin sering diabaikan, karena toh yang merasa terganggu hanya orang-orang tertentu. Tapi dengan mengatasnamakan manusia dan keluarga, lebih baik memperbaiki dibanding merusak keakraban satu sama lain.
Buat kamu yang kadung tidak nyaman karena pertanyaan kerabat sendiri, nggak apa-apa. Kita masih punya kesempatan untuk terus memperbaiki diri dan mengupayakan hal-hal baik dalam hidup. Janji nggak nanya aneh-aneh atau kabur lagi di lebaran tahun depan?