KOTOMONO.CO – Di belahan dunia mana pun, yang namanya legenda selalu akan melahirkan sosok pahlawan. Tokoh utama dan tokoh sentral yang kelak dikenal sebagai pemberi solusi. Nah, ngomongin pahlawan, nggak jarang asumsi kita selalu merujuk pada sosok manusia istimewa. Tetapi, bagaimana jika pahlawan itu bukan manusia? Apa yang bakal terjadi?
Dunia itu serba mungkin. Sosok pahlawan mungkin saja bukan dari bangsa manusia. Tetapi, mungkin banget kalau ia adalah seekor anjing, harimau, kuda, atau yang lainnya. Sebab, dunia nggak cuman dihuni oleh manusia. Nggak heran kalau kita pernah mendengar kisah persahabatan seorang manusia dengan binatang. Polisi dengan seekor anjing misalnya.
Mereka bisa saja bersahabat dan saling mendukung tugas satu sama lain. Apalagi seekor anjing bisa dilatih untuk menjadi pelacak kejahatan. Makanya, jangan heran kalau ada kisah heroik yang sosok pahlawannya bukan manusia. Seperti kisah legenda yang satu ini. Kisah legenda asal-usul Dukuh Loboyo di Desa Losari, Kecamatan Ampelgading, Pemalang.
Desa ini terletak di sebelah selatan Desa Ujunggede dan sebelah baratnya, ada kelokan sungai dengan arus yang cukup deras, yaitu Kali Comal. Sementara sebelah selatannya, ada Desa Banglarang. Nah, kisah ini dimulai dari Kali Comal yang dikenal sebagai salah satu sungai besar di jajaran Pantura Jawa Tengah.
BACA JUGA: Mengenal Sasat, Tradisi Sumpah Serapah di Pedalaman Pekalongan
Sekitar bulan September 2019 lalu, di sungai ini sempat muncul berita heboh tentang kemunculan tiga ekor buaya. Bagi warga Dukuh Loboyo, kemunculan buaya di sungai itu diyakini sebagai pertanda akan datangnya marabahaya. Kepercayaan ini tak lain diilhami oleh kisah asal usul Dukuh Loboyo.
Alkisah, pada zaman yang nggak terkalenderkan, di era orang belum suka joget-joget di depan handphone, seekor buaya yang menghuni sungai Comal keluyuran. Mungkin ia sedang mencari mangsa. Atau mungkin saja sedang mencari tempat yang enak buat berjemur. Atau sekadar refreshing setelah sekian lama mengurung diri di rumah.
Nah, saat dia menemukan tempat yang enak buat nongkrong, segeralah ia menepi. Dengan keempat kakinya, ia berjalan menyusuri bantaran sungai. Menikmati view yang indah dan instagramable. Saking asyiknya menikmati pemandangan tepian sungai itu, ia tak sadar kalau di sebelahnya ada sebatang pohon tua yang nyaris roboh. Dan benar saja, pohon tua itu pun roboh.
Sadar akan robohnya pohon tua itu, sang buaya buru-buru menyelamatkan diri. Sayang, ukuran tubuh besarnya membuat langkah kakinya tak cukup cekatan untuk berlari. Batang pohon tua yang besar itu menindih tubuhnya. Apes. Keinginannya untuk menikmati masa cuti bersama yang panjang itu pun jadi rusak gara-gara pohon tua yang roboh itu.
Selain karena batang pohonnya besar, cabang-cabang pada pohon itu pun menyulitkan tubuhnya untuk bergerak. Sedikit gerak, ujung salah satu cabang yang tajam itu malah menekan tubuhnya. Sakitlah tubuhnya. Sedikit gerak lagi, ujung cabang yang lainnya juga menekan tubuhnya yang besar itu. Ah, rasanya jadi serba salah. Diam pun ia justru merasa tertekan. Sulit bernapas. Tapi tak ada pilihan lain, ia hanya bisa diam dan pasrah.
BACA JUGA: Mbah Warijah, Arsitek Desa Rowoyoso yang Ditipu Kompeni
Meski sebenarnya ia juga cemas, kalau-kalau keadaannya yang begitu itu justru akan membuatnya terancam dibunuh oleh manusia. Maklum, sebagai buaya, ia sadar, kalau ia itu dianggap bahaya bagi manusia. Makanya, sebenarnya ia merasa tak nyaman dengan keadaan yang ia alami itu. Tapi apa boleh buat. Bubur tak mungkin dimasak lagi jadi nasi. Kalau tak mujur, nasibnya berujung mati.
Dalam diamnya itu, sang buaya cuma pasrah pada nasib. Kalau mujur ia selamat. Kalau tidak, maka sudah pasti ia akan hilang dalam peredaran dan lenyap dari kehidupan. Ia hanya bisa mengerang kesakitan.
Rupanya suara erangan buaya itu didengar oleh seseorang. Segera, ia mendekati sang buaya. Ia tak tega melihat penderitaan sang buaya itu. Ingin rasanya menolong sang buaya itu. Tetapi, ia tak bisa begitu saja menolong. Salah-salah, ia sendiri yang kena celaka. Maklum, buaya kan binatang buas. Apalagi ada pepatah bilang, selepas buaya bebas, manusia pula yang hempas. Makanya perlu mengatur strategi dan taktik untuk menolong buaya itu.
Nah, saat itulah terjadi semacam perundingan diplomatis di antara keduanya. Tokoh lelaki desa itu mengajukan persyaratan kepada buaya. “Aku akan menolongmu, tapi kamu harus berjanji tidak akan mencelakaiku. Bagaimana?Deal or no deal?” usul lelaki itu.
Sang buaya sebentar berpikir. Seharian ia tak mendapatkan mangsa. Masa begitu ada kesempatan begini ia sia-siakan? Tapi, kalau ia tidak menyepakati usulan itu, sangat mungkin ia akan celaka atau mati sia-sia.
“Apalagi yang kamu pikirkan? Persyaratan yang aku ajukan jelas. Apa kamu berpikir masih akan memangsaku?Kalau itu yang kamu pikirkan, maka aku akan biarkan kamu mati sia-sia dan menjadi bangkai di sini. Bagaimana?” tanya lelaki itu.
BACA JUGA: Pangeran Lancur dan Kisah Munculnya Desa Tengeng Wetan
Kata-kata bangkai membuat sang buaya merasa ngeri. Dalam bayangannya, bangkai itu kematian yang sia-sia dan tak ada sedikit pun kewibawaan. Sebagai kepala suku para buaya, ia tentu tak mau mati sia-sia seperti itu. Lantas, ia pun menyepakati permintaan itu.
“Baiklah, saya sepakat. Sekarang tolonglah saya, segera,” pinta sang buaya.
Lelaki itu tampak belum yakin dengan jawaban sang buaya. “Apa kata-katamu bisa aku pegang?” tanya lelaki penolong itu.
“Saya bersumpah akan memegang kata-kata saya!” kata sang buaya itu tegas.
Lelaki itu pun segera memeriksa batang pohon itu dan memperkirakan cara yang tepat untuk menolong sang buaya. Diperiksanya seluruh bagian. Tetapi rupanya, ada bagian yang tak bisa dilepaskan dari jerat batang kayu besar itu. Lalu, kepada buaya itu ia pun menyampaikan perihal itu.
“Hmm… agaknya sulit untuk melepaskan tubuhmu dari batang kayu besar ini. Kayu ini tak bisa diangkat,” ucap lelaki itu.
“Terus, apa yang mesti saya lakukan?”
“Satu-satunya cara, hanya dengan memotong salah satu kakimu, kau akan selamat. Bagaimana?” tanya lelaki penolong itu.
Sontak, sang buaya terkejut mendengar itu. Ia bayangkan bagaimana jadinya jika ia tak lagi punya ekor. Apa kata dunia? Apa pula kata teman-teman satu gengnya?
“Apa tidak ada cara lain?”
“Tidak!” lelaki penolong itu menukas.
Cukup lama sang buaya membiarkan kebisuan merajai perbincangan mereka. Ia masih memikirkan apa gerangan yang akan terjadi jika ia pincang. Ia tak kuasa menahan rasa malu di hadapan teman-teman koloninya. Tetapi, ia juga tak mau mati sia-sia dan membusuk tanpa penghormatan. Apalagi mati dikeroyok warga desa. Itu sungguh memilukan.
“Cobalah pikirkan cara lain, Tuan,” pinta sang buaya memelas.
“Sudah aku pikirkan. Tetapi tak ada. Kecuali kau rela menjadi bangkai di sini,” jawab lelaki itu.
Sejenak sang buaya tanpa kata-kata. Tetapi, rasa-rasanya memang ia tak punya pilihan lain, kecuali menuruti saran lelaki penolong itu. “Baiklah, saya serahkan sepenuhnya pada Tuan. Apapun itu, saya terima,” kata buaya itu pasrah.
Adegan amputasi kaki buaya itu pun berjalan lancar. Meski diselingi suara nyaring erangan buaya yang kesakitan. Tetapi, setelah itu sang buaya lega. Terbebas dari jerat batang kayu pohon loh.
“Sekarang kau bebas. Dan seperti yang kita sepakati tadi, kau tak akan mencelakaiku kan?” ucap lelaki penolong itu mengingatkan.
“Tentu, Tuan. Saya akan mematuhi perjanjian itu. Dan satu hal lagi Tuan, sebagai rasa terima kasih, sejak saat ini saya berjanji akan melindungi warga desa ini dari ancaman bahaya. Saya akan perintahkan kepada seluruh bangsa buaya di sungai ini untuk tidak memangsa warga desa dan akan setia menjaga desa. Kalau kami muncul ke permukaan sungai, itu artinya ada tanda bahaya. Dan lekas-lekaslah warga desa untuk menyelamatkan diri sebelum bahaya itu datang,” ikrar sang buaya.
BACA JUGA: Nyadran Gunung, Kekayaan Wisata Budaya Desa Silurah
Lelaki setengah baya itu pun menghormati sumpah setia sang buaya. Dan benar saja, janji itu ditepati. Hingga kini, menurut kepercayaan masyarakat Dukuh Loboyo, ketika mereka mendapati kemunculan buaya di sungai, itu menjadi tanda akan ada banjir atau ancaman bahaya lainnya. So, kalau kamu mampir ke Dukuh Loboyo jangan heran kalau di pintu gerbang desa ada tugu buaya buntung di sana. Ya setidaknya itu sebagai penghormatan juga bagi makhluk Tuhan yang bernama buaya, karena telah berkontribusi bagi warga desa.
Kalau dicermati lagi, kisah ini sebenarnya juga mengandung pesan, agar warga desa Loboyo turut menjaga kelestarian sungai. Menjaga kelestarian alam. Bagaimanapun, alam itu ada untuk kelangsungan hidup manusia. Alam itu ada jauh sebelum manusia ada. Keberadaan alam sebagai ciptaan Tuhan patut dijaga. Sementara keberadaan makhluk-makhluk selain manusia adalah bagian dari cara alam menjaga keseimbangan alam. Tinggal bagaimana manusianya saja sih. Apakah mau atau tidak?