KOTOMONO.CO – Sore hari, hampir semua warga Kampung Lewah mengerubuti mushola. Hari itu memang tidak ada pembagian sembako, sedekah, atau bagi-bagi minyak goreng gratis. Yang terjadi warga kelihatan marah sekali. Mereka memaki-maki seseorang dari luar mushola.
“Cak! Cak! Metu, Cak! Ojo sembrono sampeyan!” teriak satu warga.
“Sampeyan metu o, Cak!!!” teriakan warga yang lainnya lagi.
Cak Kendor yang berada di dalam mushola tak berbuat apa-apa. Ia tidak terusik sama sekali atas teriakan warga itu. Cak Kendor belum kepikiran untuk keluar dari mushola memenuhi permintaan warga.
“Keluar, Cak! Kalau ndak mau, sampeyan tak paksa keluar, Cak!” teriak seorang warga.
“Ini ada apa, sih?” tanya Lek Wari.
“Iki lho, Cak Kendor Adzan Ashar kok pakai langgam Jawa,” jawab Pak Dumadi.
“Lho, apa salahnya, Pak?” tanya Lek Wari.
“Iya, ndak tahu saya. Wong saya ke sini itu karena ikut-ikutan warga yang lainnya,” kata Pak Dumadi.
Cak Kendor tetap di dalam. Ia tak sedikit pun bergelagat menuju pintu mushola. Alih-alih keluar, Cak Kendor malah mendekat ke lemari Al-Qur’an. Ia mengambilnya satu, membacanya.
Tak sabar, warga pun akhirnya masuk ke mushola. Berduyun-duyun. Seorang warga mendekati Cak Kendor. Merampas Al-Qur’an yang sedang ia baca dan menyerahkannya ke warga lainnya. Warga itu menarik tangan Cak Kendor. Memaksanya berdiri dan seperti hendak memukul.
“Sabar, Gum!” Lek Wari mencoba mencegah warga yang ternyata namanya Bogum itu memukul Cak Kendor.
“Saya ndak bisa sabar. Wong iki ngaco!” teriak Bogum, menuding-nuding Cak Kendor.
“Saya ndak maling duit sampeyan, Gum,” kata Cak Kendor. Kali ini ia berani menjawab.
“Sampeyan tenan njaluk tak antemi pancen, Cak!” Bogum makin tersulut emosi. Lek Wari mencegahnya lagi. Warga lain yang kepingin ikut menghantam Cak Kendor dicegah Pak Dumadi.
“Tenang, bapak, ibu, kita tunggu Ustaz Ndirin saja,” kata Pak Dumadi.
“Ah, kelamaan. Saya mau tanya ke sampeyan, Cak, kenapa sampeyan adzan pakai langgam Jawa? Kan ndak sesuai syariat,” tanya Bogum.
“Lho? Kata siapa? Islam itu kan menyesuaikan. Kalau kita tinggal di Jawa, adzan pakai nada Jawa yo ndak masalah,” kata Cak Kendor.
“Ndak masalah mbahmu, Cak!”
Pukulan Bogum nyaris mendarat ke muka Cak Kendor. Beruntungnya Ustaz Ndirin segera datang.
“Eh, ustaz,” kata Bogum. Wajahnya tersipu malu.
“Ini mushola, Gum. Bukan arena tinju. Lagipula ndak ada Deddy Corbuzier di sini. Kamu ndak bakal masuk Youtube,” kata Ustaz Ndirin.
“Tapi, ustaz…”
“Tapi, apa?” tanya Ustaz Ndirin.
“Cak Kendor ini sembarangan, ustaz. Masa adzan pakai nada Jawa,” kata Bogum. Ustaz Ndirin melirik ke arah Cak Kendor.
“Mengapa begitu, Cak?” tanya Ustaz Ndirin.
“Kan kita bukan tinggal di Arab, ustaz. Kita tinggal di Jawa, jadi ndak ada salahnya dong adzan pakai Bahasa Arab. Wong Islam itu tidak harus Arab,” kata Cak Kendor.
Ustaz Ndirin meminta semua warga duduk dengan tenang. Beberapa menit lagi iqamah. Ustaz Ndirin tak mau masalah ini berlarut-larut.
“Sampeyan benar, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Lho, benar dari mananya, ustaz?” Bogum menggugat.
“Benar. Agama itu ya menyesuaikan tempatnya. Misalnya, sunnahnya berbuka puasa kan kurma, tapi karena kurma mahal, dapatnya susah, kita boleh kok berbuka dengan pisang godok. Insya Allah ganjarannya sama,” kata Ustaz Ndirin.
“Itu kan kurma ustaz,” kata seorang warga.
“Betul. Sampeyan itu sebenarnya boleh-boleh saja Cak mau adzan pakai nada apa pun. Jawa boleh, Sunda boleh, bahkan mau pakai nada-nada gereja ndak masalah,” kata Ustaz Ndirin.
“Kok gitu, ustaz?” Bogum masih tidak terima. Pak Dumadi memotongnya. “Dengarkan dulu, Gum,” kata Pak Dumadi.
“Tapi itu kalau sampeyan adzannya di rumah sampeyan sendiri, Cak. Misalnya di kamar sampeyan sendiri atau ruang makan sampeyan sendiri terserah…” kata Ustaz Ndirin.
“Lanjutkan, ustaz,” sela Lek Wari.
“Kalau di mushola, sampeyan ya pakainya adzan yang seperti biasanya saja, Cak. Pakai nada Arab, jangan pakai nada Jawa, Sunda, atau apa pun itu,” kata Ustaz Ndirin.
“Alasannya, ustaz?” tanya Cak Kendor.
“Wooo… salah kok ndadak njaluk alasan!” teriak Bogum. Lek Wari kini giliran yang menyelanya. “Wes tho, Gum,” katanya.
“Begini, Cak. Orang-orang di sini itu sudah terbiasa dengan adzan pakai nada Arab,” kata Ustaz Ndirin.
“Lho bukannya Islam itu tidak harus Arab, ustaz?” tanya Cak Kendor.
“Betul. Tapi juga tidak meninggalkan Arab,” kata Ustaz Ndirin.
“Maksudnya, taz?” kali ini Pak Dumadi yang ikut bertanya.
“Pencapaian menggunakan Arab dan Jawa itu berbeda,” kata Ustaz Ndirin.
“Pencapaian? Pencapaian yang bagaimana, taz?” tanya Lek Wari.
“Gusti Allah memilih Arab itu kan artinya dalam hal-hal tertentu pencapaian kita untuk sampai ke Gusti Allah itu memang harus menggunakan Arab. Entah bahasanya, entah nadanya,” kata Ustaz Ndirin.
“Begitu ya, ustaz,” kata Cak Kendor.
“Iya. Jadi ada kalanya kita menggunakan Arab, ada kalanya kita meninggalkan Arab. Sebab, persentase pencapaian vertikal horizontalnya berbeda,” kata Ustaz Ndirin.
“Berarti kita ndak bisa pakai nada Jawa dong ustaz kalau adzan? Kalau mengaji bagaimana?” tanya Cak Kendor.
“Orang sebenarnya boleh pakai nada Jawa atau nada Sunda ketika adzan misalnya. Atau ketika mengaji, misalnya. Tapi itu orang-orang yang sudah mencapai finis. Sudah tinggi derajatnya,” kata Ustaz Ndirin.
“Sedangkan kita ini kan masih tahap berjuang. Masih tahap berkeinginan agar sampai kepada ridho Allah. Jika Gusti Allah menghendaki pakai Arab, ya Arab. Pokoknya kita manut saja kan enak,” kata Ustaz Ndirin.
“Nah, gitu rungokne, Cak!” Bogum tampaknya masih kesal pada Cak Kendor.
“Sederhananya gini, Cak,” kata Ustaz Ndirin. “Gimana, ustaz?” tanya Cak Kendor.
“Di kampung sini itu, orang-orangnya sudah terbiasa menggunakan nada Arab. Jadi kita ya mengikuti budaya di sini saja. Jadi, Islam itu tidak harus Arab, Cak. Tapi bukan berarti kita meninggalkan Arab. Unsur Arab tetap ada di Islam. Itu yang harus kita pegang, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Udah, sekarang, sampeyan iqamah, Cak!” pinta Ustaz Ndirin.
“Udah biar saya saja, taz,” saut Lek Wari. “Nanti sama Cak Kendor iqamahnya malah dibikin versi Madura. Bisa repot nanti.”
Mendengar kalimat itu, seluruh warga pun tertawa. Cak Kendor ikut terkekeh. Sementara Bogum masih sedikit gusar. Barangkali dia punya dendam sendiri dengan Cak Kendor.
——————————————————
Disarikan dari keterangan yang disampaikan Emha Ainun Nadjib.