KOTOMONO.CO – Cak Kendor mendadak terbangun dari tidur. Wajahnya dipenuhi bulir-bulir keringat. Istrinya yang tidur di sampingnya pun ikut terbangun. Jam menunjukkan pukul 3 pagi lebih sedikit. Seharusnya beberapa menit lagi waktu sahur.
“Ada apa mas?” Tanya sang istri sembari mengucek matanya.
“Anu, dik, mas ngimpi sesuatu,” Cak Kendor menjawabnya dengan kebingungan.
“Ngimpi apa tho, Mas?”
“Mas ngimpi disiksa di neraka, dik,” jawab Cak Kendor.
“Neraka? Emang mas sudah pernah ke neraka kok tahu itu neraka?”
“Kamu itu ya, wes mas tak ke kamar mandi dulu,” kata Cak Kendor.
“Yawes. Tak siapkan makanan dulu ya, Mas. Bentar lagi sahur,” kata sang istri tersenyum.
Cak Kendor beranjak dari ranjang, begitu pula istrinya. Ia melangkah ke kamar mandi, sedangkan istrinya pergi ke dapur untuk melihat bahan makanan apa yang bisa dimasak.
BACA JUGA: Jika Miskin Itu Takdir, Buat Apa Bersedekah pada Orang Miskin?
Kurang dari setengah jam, istri Cak Kendor sudah selesai menyiapkan makanan. Cak Kendor dan istri pun makan bersama. Saat menikmati makanan, Cak Kendor menceritakan apa yang baru saja ia impikan.
“Mas ngimpi ibadah mas ndak diterima Gusti Allah, dik,” kata Cak Kendor. Istrinya tersenyum.
“Masak Gusti Allah ndak menerima ibadah sampeyan, Mas? Nggak mungkin deh rasanya,” kata sang istri sembari mengunyah makanan.
“Ibadah mas kurang, dik. Selama Ramadan ini saja mas lebih banyak mbecak daripada ibadah di musala,” kata Cak Kendor. Istrinya asyik makan.
“Pokoknya besok mas mau berhenti mbecak,” kata Cak Kendor.
“Sek, mas. Kalau sampeyan ndak mbecak, kita mau makan apa?”
“Ya kan masih ada stok, dik. Itu kemarin kan uang dari Pak Dumadi masih ada,” kata Cak Kendor.
“Iya sih. Tapi kalau uang itu habis gimana, Mas?”
“Kamu ndak usah khawatir, dik. Kalau mas dan kamu itu rajin ibadah, Insya Allah, Gusti Allah pasti bakal mbantu,” kata Cak Kendor.
Benar saja, hari itu Cak Kendor sungguh-sungguh tidak berangkat mbecak. Bahkan sejak Subuh, Cak Kendor hanya di musala. Ia tak beranjak dari situ sebelum pada akhirnya pulang setelah pukul 8 pagi.
“Assalamualaikum,” Cak Kendor mengetuk pintu rumahnya.
“Wa’alaikumusalam,” jawab sang istri seraya membuka pintu.
“Kok baru pulang, Mas?” Tanya sang istri.
“Kan tadi mas sudah bilang, kalau mas mau fokus ibadah,” kata Cak Kendor.
“Mas, tadi ada Bu Roh datang ke rumah. Bu Roh tadi minta diantar ke pasar. Karena mas bilang ndak mau mbecak, yawes tadi Bu Roh tak bilangin gitu,” kata istri Cak Kendor.
“Oh yawes bener. Kalau bisa siapapun yang cari mas, bilang saja mas udah ndak narik lagi,” kata Cak Kendor.
“Kalau ndak narik, lalu mau apa?”
“Loh kok kamu tanya lagi. Kan sudah mas jelaskan berkali-kali,” kata Cak Kendor.
“Maksudnya, ini kan masih pagi. Sampeyan mau ngapain kalau ndak narik?”
“Mas mau ke kamar saja ah. Ditanya mulu, mas males…”
Cak Kendor pun beranjak menuju kamarnya. Ia meninggalkan istrinya yang tengah duduk di ruang depan.
***
Pagi berganti siang. Azan Zuhur berkumandang keras dari corong musala. Cak Kendor berkesiap menuju musala. Ia begitu antusias ingin cepat sampai. Langkah kakinya terburu-buru.
Sampai di musala ia melihat Ustaz Ndirin. Beberapa jamaah juga sudah tiba. Sebagian sedang menjalankan salat sunah, sisanya duduk-duduk saja menanti iqamah. Karena Cak Kendor ingin sekali mencapai titik terbaik dalam beribadah, ia pun ikut salat sunah.
BACA JUGA: Gegayaan Nyumbang Uang untuk Mushola, Padahal Mushola Itu Rumahnya Sang Maha Kaya
Tak lama, waktu salat pun tiba. Melihat Cak Kendor begitu antusias, Ustaz Ndirin pun mempersilakannya untuk menjadi imam. Cak Kendor ragu. Meski awalnya dia semangat, masih ada titik keraguan dalam hatinya untuk jadi imam.
Ustaz Ndirin meyakinkannya. Dan Cak Kendor pun mau jadi imam. Cak Kendor maju, takbir ia kumandangkan. Dua tangan ia angkat.
“Allahu Akbar.” Cak Kendor takbir, eh tapi nggak jadi. Para jamaah mengikuti membatalkan takbirnya.
“Allahu Akbar.” Cak Kendor takbir lagi, dan membatalkan lagi. Jamaah menirukan Cak Kendor.
“Allahu Akbar.” ketiga kalinya Cak Kendor takbir dan membatalkannya lagi.
“Cak! Sampeyan niat jadi imam ndak?!” Teriak Sibul.
“Iyo. Nek ndak bisa ngimami yowes Ustaz Ndirin wae!” Teriak Kang Sepat.
“Sudah… Sudah, Cak,” kata Ustaz Ndirin menenangkan dan memberi isyarat pada Cak Kendor.
Zuhur pun dilanjutkan. Dan Ustaz Ndirin yang akhirnya jadi imam. Usai salat, Cak Kendor tak langsung pulang. Ia duduk di masjid. Itikaf, ya mungkin itu yang sedang dilakukannya. Ia itikaf cukup lama, sampai Ustaz Ndirin selesai membaca satu juz Al-Qur’an.
“Cak,” sapa Ustaz Ndirin.
“Eh, ustaz…”
“Sampeyan kok masih di sini, emang ndak narik, Cak?” Tanya Ustaz Ndirin.
“Anu, saya sudah ndak narik lagi, tadz,” kata Cak Kendor.
“Loh, kenapa begitu?” Ustaz Ndirin penasaran.
“Saya mau fokus ibadah, tadz,” kata Cak Kendor.
Ustaz Ndirin tersenyum.
“Kerja itu ya juga ibadah, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Mbecak itu ndak ada hubungannya dengan Gusti Allah, tadz. Cuma mengejar uang, duniawi,” kata Cak Kendor.
“Sampeyan sudah punya istri kan, Cak?”
“Kok malah yang ditanya istri to, tadz?” Cak Kendor heran.
Ustaz Ndirin tersenyum kembali.
“Kalau sampeyan ndak narik, lalu istri sampeyan mau dinafkahi pakai apa? daun singkong? Atau mau sampeyan nafkahi Al-Fatihah setiap hari?”
“Wah bisa ya tadz menafkahi istri pakai Al-Fatihah?” Tanya Cak Kendor.
“Sangat bisa, Cak. Tapi istri sampeyan wajib mati dulu,” kata Ustaz Ndirin.
“Wah yo ndak gitu juga, tadz. Saya ndak mau kehilangan istri saya,” kata Cak Kendor.
“Makanya kerja, Cak. Nafkahi istrimu. Itu perintah Gusti Allah. Wajib bagi suami menafkahi istrinya,” kata Ustaz Ndirin.
“Saya takut ibadah saya kurang, tadz. Makanya saya pengin perbanyak ibadah. Mengaji, itikaf, mendengar pengajian, salat,” kata Cak Kendor masih ngeyel.
BACA JUGA: Akui Saja Kalau Puasa Itu Memang Tidak Menyenangkan
“Ibadah nggak usah ngoyo gitu, Cak. Kalau ibadah-ibadah yang sifatnya sunah ditinggalkan ndak dosa kok. Malah kalau sampeyan mengerjakan ibadah sunah tapi lalai untuk mencari nafkah, sampeyan dosa, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Oh ya, tadi sampeyan mau takbir diulang-ulang terus, kenapa Cak?” Ustaz Ndirin mencoba menggeser pembicaraan.
“Anu, setelah takbir saya merasa kok belum khusyuk. Saya masih memikirkan sesuatu,” kata Cak Kendor.
“Terus sampeyan mengulanginya buat apa?” Tanya Ustaz Ndirin.
“Biar sempurna dong, tadz. Karena kalau salatnya sempurna kemungkinan diterimanya besar,” kata Cak Kendor.
Ustaz Ndirin kembali tersenyum untuk kesekian kalinya.
“Kalau begitu takarannya, salat saya juga kemungkinannya malah ndak diterima, Cak. Wong saya itu jarang khusyuk,” kata Ustaz Ndirin.
“Masak sekelas ustaz, salat ndak khusyuk?”
“Saya itu kalau salat ndak pernah pengin khusyuk, Cak. Ya kemungkinannya ndak khusyuk sih, wong saya orang biasa-biasa saja,” kata Ustaz Ndirin.
“Ustaz itu ya bukan orang biasa,” kata Cak Kendor. Ustaz Ndirin pun tersenyum lagi.
“Saya itu bukan nabi, Cak. Jadi rasanya saya ndak pantes menuntut supaya sholat saya sempurna,” kata Ustaz Ndirin.
“Kalau saya ngotot pengin sholatnya sempurna, saya berarti sombong. Nabi pantas sempurna, karena beliau punya pengikut. Perilaku dan perkataannya jadi pedoman. Wajar kalau mesti sempurna,” kata Ustaz Ndirin.
“Sebagai manusia biasa, Cak, saya sudah cukup bahagia dapat kesempatan sholat. Masih punya waktu buat sholat saja, itu sudah anugerah bagi saya. Kalau saya mau sholat saja risau, memikirkan diterima tidaknya, ya itu justru menguntungkan setan, Cak,” kata Ustaz Ndirin.
“Kok bisa begitu, tadz?”
“Kalau saya sholat, terus cemas dengan sholat yang saya lakukan itu berarti saya akan menganggap sholat itu masalah. Karena saya jadi memikirkan macam-macam. Itu bikin pikiran saya ndak karuan, hati saya merasa was-was. Maka sholat itu menjadi masalah. Dan itu cita-cita setan,” tandas Ustaz Ndirin dan lekas pamit meninggalkan musala karena ada urusan.
*Catatan: Diolah dari keterangan yang disampaikan oleh Gus Baha.