KOTOMONO.CO – Dulu saat saya masih aktif di pers mahasiswa, senior saya bilang, “Manfaatkan waktumu selama menjadi pers mahasiswa. Karena kalau sudah masuk ke pers umum kamu akan kehilangan idealisme dan independensi”.
Saya paham yang dia maksud. Tapi saya kurang sependapat dengan hal itu. Maksud saya, kenapa seorang mantan pers mahasiswa bisa kehilangan idealisme dan independensi ketika masuk pers umum?
Pernyataan tersebut seolah menisbikan keberadaan pers umum yang punya idealisme. Selain itu, pernyataan tersebut juga seakan ingin mengklaim bahwa tidak ada pers yang ideal selain pers mahasiswa. Padahal, masih banyak media-media yang merawat independensi dan idealisme, tanpa saya harus menyebut medianya.
Kehilangan independensi dan idealisme tentu tidak. Mungkin bukan kehilangan, tapi pergeseran makna. Ketika menjadi pers mahasiswa pemahaman soal idealisme dan independensi ya seperti itu. Sementara, ketika menjadi wartawan profesional yang bekerja di pers umum, tentu pemahaman soal independensi dan idealisme berbeda.
Beberapa hari lalu, bos Kotomono alias bos saya membagikan pranala sebuah berita. Saat saya menulis ini kebetulan website tersebut tidak bisa diakses. Jadi, saya cari alternatif website lain yang sama-sama memberitakan hal itu. Saya menemukan berita tersebut selain di situs Pemkot Pekalongan juga di website Radio Republik Indonesia (RRI).
BACA JUGA: Mari Kita Sejenak Gelengkan Kepala untuk Vonis Bebas Dua Terdakwa Korupsi Bansos di Bandung Barat
Singkatnya, berita tersebut berisi anjuran Walikota Pekalongan, Aaf yang meminta agar berita nggak bikin gaduh. Saya males buat mengomentari anjuran itu. Selain mind blowing, anjuran itu susah dicari maksudnya. Berita bikin gaduh? Itu berita apa mahasiswa?
Namun dari berita tersebut ada satu informasi menarik yang, saya akan nyesel tujuh turunan kalau nggak me-notice informasi itu. Informasi tersebut adalah Pemkot Pekalongan dan wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah menjalin kerja sama yang baik. Hal itu diakui oleh Walikota Pekalongan itu sendiri.
Jarang saya temukan pemerintah daerah yang mengakui secara terang-terangan bekerjasama dengan wartawan. Kendati saya nggak nyebut nggak ada sama sekali lho ya. Ini sependek pengetahuan saya saja.
Menurut saya, ada pemerintah daerah yang mau mengakui bekerjasama dengan wartawan adalah fenomena monumental. Ini membuktikan bahwa wartawan sekarang sangat revolusioner. Wartawan nggak lagi menjaga jarak dengan pemerintah, seperti era Orde Baru.
Hal itu juga sekaligus membuktikan bahwa di laut yang kotor sekalipun ada mutiara yang bernilai harganya. Maksudnya, di antara banyak pemerintah daerah, dan bahkan pusat yang masih malu-malu menunjukkan kalau mereka menguasai media, Pemkot Pekalongan justru gentle mengakui.
Inilah yang patut kita rayakan. Zaman sudah reformasi total. Kerja wartawan kini, terutama di Pekalongan nggak terancam oleh pemerintah daerah. Bagaimana mau terancam kalau hubungan keduanya sangat mesra?
Jujur saja, jika wartawan harus menjaga jarak dengan pemerintah, itu sungguh merepotkan. Salah satunya bukan tidak mungkin si wartawan akan dilaporkan menggunakan UU ITE pasal pencemaran nama baik. Apabila beritanya dinilai merugikan.
Dulu ketika saya meliput di lingkungan Pemkot Pekalongan, saya pernah ngobrol dengan salah seorang wartawan. Katanya, menjadi wartawan daerah itu jangan jauh-jauh dari pemerintah daerah (Pemkot). Jika wartawan daerah jaga jarak dengan Pemkot, ia bakal kesulitan mendapat berita, karena aksesnya akan tertutup.
BACA JUGA: Kok Bisa Informasi Kebijakan Pemkot Pekalongan Nggak Sampai ke Warga?
Apa yang dikatakannya mungkin benar belaka. Saat liputan untuk majalah kampus, yang kebetulan mengangkat tema lokal, saya merasakan menembus pemerintah daerah itu susahnya setengah mampus. Beberapa kali mengirim surat, tapi beberapa kali juga saya melihat surat itu hanya ditaruh di meja resepsionis.
Padahal yang mau saya wawancarai itu baru kepala dinas, bukan walikota. Berhari-hari kirim surat tidak digubris, dan ketika saya tanya ke bagian resepsionis pasti alasannya macam-macam. Paling sering sih alasannya rapat, keluar kota, dan belum sempat ke kantor. Sebentar-sebentar, belum sempat ke kantor, lha selama ini kerjanya ngapain?
Namun, hal itu berubah ketika saya liputan bukan untuk majalah kampus, tapi secara profesional. Saya mulai tidak menjaga jarak dengan pemerintah daerah, terutama dinas-dinas. Yang saya lakukan mendekati pegawai-pegawai kantor dinas yang hendak saya wawancarai. Tentu dengan metode tidak agresif dan cenderung manipulatif.
Benar belaka, berkat pendekatan tersebut saya jadi punya akses wawancara ke dinas-dinas terkait. Bahkan ketika saya masuk ke salah satu kantor dinas suasananya jadi hangat. Saya dan pegawai di sana bisa saling sapa.
BACA JUGA: Menumbuhkan Gerakan Literasi Tak Cukup dengan Gerakan Membaca
Meskipun berstatus wartawan, para pegawai tidak menatap sinis ke saya. Barangkali para pegawai itu menganggap bahwa wartawan bukan lagi ancaman yang bisa mengganggu stabilitas kegiatan mereka dengan satu tulisan berita. Ini menandakan dunia jurnalistik telah berkembang begitu pesat.
Jurnalis atau wartawan bukan lagi musuh pemerintah. Tapi ia justru sebagai teman ngobrol atau bahkan kekasih bagi pemerintah. Dari situ mungkin, kelak staf ahli sampai staf kepresidenan tidak lagi dibutuhkan. Semuanya bisa digantikan oleh PWI.
Kemesraan antara wartawan lokal dan pemerintah daerah ini jangan sampai dirusak oleh apa pun, termasuk tuntutan wartawan supaya menjalankan elemen jurnalisme dan kode etik. Sebab tidak ada kaitannya wartawan dekat dengan pemerintah dan elemen jurnalisme. Para wartawan, khususnya lokal, tentu saja memerhatikan kode etik jurnalistik dan elemen jurnalisme.
Interpretasi tentang elemen jurnalismenya menjadi lain, itu bukanlah persoalan. Misalnya, wartawan masih bisa kok independen meskipun ia dekat dengan pemerintah. Wartawan tersebut tetap nggak terpengaruh siapa pun dalam menulis berita. Pemerintah nggak bakalan ikut campur kok, toh wartawan sendiri yang nulis. Masak nulis berita sembari dilihatin walikota?
BACA JUGA: Pemkot Pekalongan Mau Meningkatkan Ekonomi, tapi Kok Malah Kebanyakan Pelatihan?
Walikota nggak cukup selo buat ngoreksi tulisan-tulisan para wartawan sebelum naik terbit. Jadi, santai saja, wartawan tetap independen. Perkara beritanya jadi seperti rilisan Humas Pemkot, itu soal lain.
Publik juga tidak perlu khawatir loyalitas wartawan jadi pindah ke pemerintah. Sebab, walaupun dekat dengan pemerintah, loyalitas wartawan tetap pada publik. Pemerintah itu kan pengambil kebijakan, sedangkan kebijakan itu buat siapa? Ya buat publik. Jadi kalau wartawan merapat ke pemerintah itu artinya loyalitas wartawan ke siapa? Pemerintah? Bukan! Ya ke publik lah.
Perkara wartawan harus jadi watchdog atau pemantau kekuasaan, itu gampang. Bagaimana memantau kekuasaan kalau wartawan dekat dengan penguasa? Mungkin pertanyaan tersebut menari-nari di benak kamu, ya kan?
Yaelah, bro, memantau itu ya lebih jelas kalau dari dekat. Coba wartawan kalau jaga jarak dengan pemerintah, ya dia bakalan susah buat ngawasin tuh pemerintah. Wong kalau kita lihat objek dari jarak jauh saja nggak kelihatan detailnya.
BACA JUGA: Kerja Baik Satpol PP Kota Pekalongan Perlu Kita Apresiasi Setinggi-tingginya
Dalam dunia jurnalistik investigasi ada teknik reportase melebur. Nah, para wartawan yang dekat dengan pemerintah sedang mempraktikkan itu. Para wartawan itu berbaur di pemerintahan supaya lebih proporsional dalam memantau kekuasaan.
Bukankah untuk mengetahui praktik prostitusi seorang wartawan mesti masuk ke tempat prostitusi? Perkara si wartawan justru menjadi pelanggan tetap, itu bisa diurus belakangan. Lagi pula itu terserah si wartawan.
Begitulah. Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan wartawan lokal sudah sewajarnya dirayakan. Inilah reformasi, inilah revolusi jurnalisme. Maka, saya usul selain bimtek yang formal, pemerintah bisa mengadakan acara kongkow santai bareng wartawan.
Nah, biar suasananya lebih cair bisa sekalian nanggap orkes dangdut. Jadi instansi pemerintah dan wartawan bisa joget bareng dengan riang gembira. Uhhh… mesranya…