KOTOMONO.CO – Saat menulis ini, saya sampai tidak menghitung ini adalah hari ke berapa pengumuman Piala Dunia U-20 di Indonesia batal. Namun, seingat saya, pengumuman dari FIFA itu sangat menggemparkan. Tidak hanya buat mereka para penggemar sepak bola dan Timnas Indonesia, tapi juga mereka yang hidupnya bahkan tidak pernah bersentuhan dengan sepak bola.
Mendadak tukang becak ngomongin bola. Orang-orang di pemerintahan ngomongin bola. Ngerumpinya tukang kebun dan pembantu di rumah orang kaya sudah beralih ke sepak bola. Ya, sepak bola memang sekuat itu. Pengaruhnya sebesar itu, Bung!
Apalagi ini adalah kompetisi yang ditunggu. Piala Dunia. Tidak mudah Indonesia lolos ke sana. Menjadi tuan rumah pun harus melalui proses yang sangat panjang. Ada hal-hal yang harus dilewati. Perlu persyaratan yang tentu saja lebih njelimet dari pembuatan KTP. Tapi persiapan yang sudah dilakukan sedemikian rupa sirna.
Venue yang sudah siap, dana yang sudah digelontorkan, komitmen yang sudah dibikin, semua itu sia-sia hanya dalam semalam. Penolakan keras terhadap Timnas Israel U-20 ditengarai menjadi penyebabnya. Namun, hal itu belum jelas betul. Sebab FIFA hanya menyebut dalam rilisnya “Karena situasi yang terjadi saat ini”.
Pernyataan itu bisa beragam maknanya. Tapi satu yang pasti: Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Bahkan sebelum peluit sepak mula kompetisi itu dibunyikan. Miris? Tentu saja. Tapi melihat situasi yang terjadi, Indonesia boleh jadi sangat pantas mendapatkannya.
Namun, tenang saja, tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi apakah Indonesia layak dicoret jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 atau tidak. Bukan itu yang menarik buat saya. Namun, yang menarik bagi saya adalah keadaan setelahnya. Kondisi selepas Indonesia dipastikan gagal tampil di Piala Dunia U-20.
Semua Kecewa
Setelah diumumkan tak lagi tuan rumah Piala Dunia U-20, semua orang kecewa. Presiden, Ketum PSSI dan anggotanya, pemain, pelatih, ofisial, rakyat Indonesia yang suka bola maupun yang hanya menggilai judinya, sampai bahkan orang yang menjadi biang keladi.
Semua kecewa. Seolah-oleh ini adalah kesalahan. Seakan-akan tidak pantas Indonesia dibeginikan. Tidak pantas Timnas Indonesia bernasib sial. Tidak lolos Piala Dunia jalur kualifikasi, masa juga tak lolos jalur tuan rumah?
BACA JUGA: Alasan yang Bisa Dipakai Shin Tae-yong atas Kekalahan Indonesia di Piala AFF
Mirisnya, kekecewaan itu seperti semu saja. Seperti tak terasa betul menyentuh hati. Ini mungkin perasaan saya saja. Boleh jadi yang berpikir demikian saya saja. Namun, lihatlah sekarang.
Kabar itu sudah lenyap ditelan isu lain. Pembicaraan itu sudah seperti lalu lintas di jam dua pagi sebuah kampung jauh dari kota. Sepi. Tapi bisa jadi ramai kalau muncul lagi isunya. Ada lagi yang membahas Timnas Indonesia.
Kekecewaan Pemain Semu
Setelah Piala Dunia U-20 resmi batal di Indonesia, para pemain Timnas Indonesia bersuara. Tentu saja lewat corong-corong yang bisa dijangkau. Ada yang lewat kolom komentar media sosial selaiknya warganet yang serba tahu. Ada pula yang sedikit mewah: datang ke stasiun televisi menjawab pertanyaan yang tak jauh dari premis “Apakah Anda kecewa?”.
Pertanyaan itu menurut saya sangat menyebalkan. Malah kalau bisa nggak usah ditanyakan saja. Kera di hutan pun boleh jadi malas untuk menjawabnya. Apakah Anda kecewa? Ya jelas. Pemain pasti kecewa. Gitu kok ndadak ditanyakan segala. Etapi, ada satu yang menarik dari sesi wawancara itu, terutama yang berasal dari salah satu pemain Timnas U-20 yang mengeluh.
Katanya, si pemain ini sudah mencurahkan seluruh tenaganya, pikirannya, badannya untuk Timnas Indonesia. Bahkan dia sampai rela meninggalkan sekolah demi Timnas Indonesia. Ya, Tuhan, Dik, betapa mulianya kamu.
BACA JUGA: Ratu Tisha Tak Masalah Jadi Waketum Dua, tapi Masalah Bagi Sepak bola Indonesia
Entahlah. Saya juga bingung mau berkomentar bagaimana. Si pemain selayaknya politikus yang lihai memanfaatkan kesempatan. Memanfaatkan momentum. Padahal itu adalah hal yang biasa saja dan sudah menjadi konsekuensi sebagai pemain tim nasional. Lagi pula kalau Anda bermain di Timnas Indonesia, lantas bisa seenaknya meninggalkan pendidikan, gitu? Yo ndak, to!
Memang, terlalu banyak tipu-tipu di bangku sekolah. Tapi nggak usah pakai alasan karena membela timnas, jadi nggak sekolah. Karena bermain bola, sekolah ditinggalkan. Lagi pula, ya, Dik, ada banyak pesepakbola yang tetap bermain bola sekaligus menempuh pendidikan. Tanya saja ke pemain Brighton, Kaoru Mitoma.
Sampai sini, saya rasa adik kita yang satu ini lebih dominan membela egonya daripada membela Timnas Indonesia. Apa yang dikatakannya menunjukkan hal itu. Namun, nggak apa-apa, Dik. Semuanya juga gitu, kok. Mereka awalnya mendukung, tiba-tiba menolak ketika kompetisi tinggal sebentar lagi.
Lambe Politikus
Sebelum ini, ada hitam di atas putih. Ada perjanjian di mana pemimpin daerah mendukung penuh Piala Dunia U-20. Tapi apa yang terjadi? Justru ketika hampir terlaksana, berbalik. Alasannya sungguh picisan: menolak keberadaan Timnas Israel.
Lha, mbok kira ini kompetisi mbahmu, apa!? Bisa seenaknya pilah-pilih peserta seperti memilih baju di toserba. Tapi munculnya suara dari politikus itu sangat politis. Tentu saja. Politikus ya politis. Kalau penyair baru puitis.
BACA JUGA: Penyebab Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Bebas, Begini Tanggapan Angin
Kalau benar, sampai di sini suara-suara itu ternyata untuk kepentingan partai. Kepentingan golongan. Lebih mengerucut lagi. Itu adalah kepentingan pribadi. Yang mereka bela adalah egonya, bukan Timnas Indonesia.
Timnas Indonesia tetap sendiri. Ia berdiri sendiri. Ia tidak dibela, bahkan oleh komponennya sendiri. Oleh instrumennya sendiri. Pemain? Sudah kelihatan! Pelatih? Sosok pelatih yang satu itu sudah lebih sering muncul di televisi daripada Gita Gutawa.
Pengurus? Apalagi itu! Penikmat sepak bola? Mereka hanya ingin menikmati sepak bola, tidak dengan tim nasional. Kalau Timnas kalah, mereka belum tentu menikmatinya. Sebagian dari mereka mengaku penggemar Timnas Indonesia ketika menang. Atau ketika bisa mengalahkan Thailand. Presiden? Ah, yang benar saja!
Demikianlah, saudara-saudara. Silakan renungkan sendiri. Siapa sebenarnya yang kita bela. Tim Nasional Indonesia, atau ego kita sendiri?