KOTOMONO.CO – Menyandang gelar sebagai Homo Socius, manusia adalah satu mahluk yang mampu membangun hubungan sosial dengan manusia lainnya sampai membentuk suatu tatanan masyarakat. Ada kalanya ketika bermasyarakat timbul perselisihan antar manusia. Dari sinilah bermunculan produk-produk hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga masyarakat, juga hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan yang telah disepakati.
Yang unik adalah ketika terlibat sengketa dengan orang lain, ada masyarakat yang lebih memilih menyelesaikan masalahnya dengan cara bersumpah atas sesuatu. Dengan berharap kedua belah pihak menjadi yakin, bahwa semua itu hanya salah paham semata.
Nah, pada bulan Juni tahun 1897 silam ada seorang kontrolir Belanda bernama Samuel Cohen FZN menuliskan hal menarik saat berkunjung ke distrik Doro, Pekalongan.
Cohen menemukan suatu tradisi yang unik, tradisi itu bernama “sasat” yang kerap dilakukan oleh masyarakat Doro dalam menyelesaikan masalah dengan orang lain. Oleh Cohen, berdasarkan catatan sezaman, tradisi semacam itu juga ditemukan di Lampung, Minahasa, Kajang, dan Papua.
Selain istilah Sasat beberapa orang menyebutnya dengan nama “Tjorekan Lemah“, sebagian orang lagi menyebutnya sebagai “Sumpah” saja.
Tradisi sumpah serapah ‘Sasat’ adalah ucapan sumpah serapah atas nama bumi dan langit bahwa yang bersangkutan tidak melakukan apa yang dituduhkan orang lain kepada dirinya. Sasat terpaksa dilakukan ketika ada suatu permasalahan yang tak kunjung usai antara si penuduh dan si tertuduh.
BACA JUGA: Punden Makam Sampel Desa Lolong Kabupaten Pekalongan, Kuno kah?
Dalam Taal Land en Volkenkunde edisi 1898 merekam sebuah percakapan saat terjadi cekcok antar warga, dan berakhir dengan sumpah Sasat, kurang lebih demikian isi percakapannya.
(SP = Si Penuduh, YT = Yang Tertuduh)
SP: Apa kowe mau mrene? (Apa tadi kamu kesini?)
YT: boten, kenging napa si? (tidak, kenapa sih/)
SP: Jarit ku ilang ka (Pakaianku hilang)
YT: Lo, dika ndakwa kula? (Lho, kamu mendakwa saya?)
SP: Iya, sabab anakku weruh, kowe mau mrene! (Iya, sebab anakku melihat kamu tadi kesini!)
YT: Ah boten, wantun Sasate (Ah tidak, berani berucap Sasat)
SP: Mana wis, Sasat ta saiki (Sudah sana, Sasat lah sekarang)
YT: Yen kula estu mendet gadahan dika, ampun ngasi menangi dina ngesuk bumi langit nyeksenana, aja ngasi menangi dina ngesuk, aja ngasi ngingoni anak rabiku, wani lebur tumpur wani tumpes kelor, ora kaya dipanganna larane wong jaman mengko. (Apabila saya benar-benar mengambil kepunyaan milik mu, tidak akan melihat hari esok, bumi dan langit menjadi saksi, tidak akan melihat hari esok, tidak akan bisa mencari nafkah untuk anak istriku, berani hancur lebur berani habis-habisan, mengalami penyakitnya dikemudian hari).
Prosesi sumpah Sasat umumnya dilakukan di perempatan jalan desa dan di saksikan oleh pengulu (ahli agama?) setempat. Setelah pengucapan sasat akan dibuat semacam goresan pada tanah berbentuk Cakra, dari sinilah istilah “Tjorekan Lemah” itu muncul.
Ada kasus lain yang agak berbeda, di mana proses Sasat tidak dilakukan oleh kedua belah pihak antara si penuduh dan si tertuduh, melainkan diwakilkan kepada orang lain. Sumpah Sasat seperti ini dikenal dengan sebutan istilah Nasatake atau Njiraltake. Lain lagi dengan permasalahan yang melibatkan kerabat sendiri dan tetangga dekat yang disebut dengan nama Sasal Sasatan.
Hal yang boleh dibilang sedikit ekstrim dari prosesi sumpah Sasat ini adalah “nguntal tanah pejaratan”. Yaitu si tertuduh diminta memakan tanah dari pemakaman dan minum air dari sumber air dekat makam orang suci di desanya. Biasanya dilakukan ketika masalahnya sangat pelik, seperti perselingkuhan dan semacamnya.
BACA JUGA: Situs Gumuk Sigit Desa Rejosari Bojong Kabupaten Pekalongan
Samuel Cohen menuliskan masyarakat percaya jika setelah Sasat dilakukan dan si tertuduh benar-benar melakukan kesalahan, biasanya akan segera mengalami kelumpuhan dan perutnya membusung.
Berkaitan dengan sumpah seperti ini, memang masyarakat Jawa telah mengenalnya sejak dulu kala. Dalam beberapa prasasti era Jawa kuno, sudah ada istilah Sapatha atau kutukan bagi siapapun yang menggangu ketetapan tanah sima (tanah sima merupakan tanah perdikan dengan rangkaian prosesi adat).
Tanpa disadari tulisan Cohen tersebut tidak banyak diketahui dan telah berusia seabad lebih, apakah tradisi Sasat kini masih eksis di masyarakat Doro atau masyarakat Pekalongan pada umumnya?