KOTOMONO.CO – Pertengahan Desember, Pak Kades Wuled mengirimi saya undangan. Beliau meminta saya turut hadir dalam acara syukuran pembangunan Pendapa Desa yang diberi nama Pendapa Ki Wanenpati. Saya pun hadir dalam acara tersebut.
Sesampai di lokasi acara, tampak oleh saya pendapa itu dipenuhi warga. Mereka duduk di atas kursi yang telah ditata. Begitu khidmat menyimak sambutan-sambutan dari para tokoh penting, mulai dari Pak Kades sampai Bupati Pekalongan.
Dari sekian urutan pidato itu, yang paling membuat saya terkesan adalah pidato Pak Kades. Di atas panggung, dengan mengenakan kain iket bertulis Ki Wanenpati, mula-mula ia sampaikan ucapan terima kasih dan segala macam ungkapan basa-basi yang memang diperlukan. Maklum, kalau sudah berhadapan dengan pejabat-pejabat, ungkapan basa-basi sepertinya sudah mendarah daging dalam tradisi perpidatoan negeri ini.
Tak heran jika kalimat-kalimat yang digunakan pun bisa membuat para pendengarnya lekas-lekas menguap. Bukan karena mengantuk, melainkan bosan dengan ungkapan yang demikian. Terutama, pada sebagian besar warga biasa yang tidak punya kepentingan apapun.
Tapi, karena seolah-olah itu sudah menjadi keharusan, maka basa-basi pun menjadi tampak wajar. Malah, kalau tak ada basa-basi dianggap kurang sopan dan kurang ajar.
Usai menyampaikan basa-basi, semula saya menduga, Pak Kades akan segera merampungkan pidatonya dan turun panggung. Dugaan saya meleset. Pak Kades rupanya masih melanjutkan pidatonya. Katanya, sembari mengulur waktu untuk memberi kesempatan Bupati yang tengah dalam perjalanan menuju lokasi.
BACA JUGA: Sosok Ki Ageng Cempaluk dan Asal-usul Desa Kesesi
Lantas, disampaikanlah oleh Pak Kades, alasan mengapa memilih nama Ki Wanenpati sebagai nama Pendapa Desa. Mulailah ia berkisah tentang si empunya nama itu. Bahwa, nama Ki Wanenpati adalah nama tokoh cikal bakal Desa Wuled.
Konon, menurut tuturan Pak Kades, tokoh bernama Ki Wanenpati merupakan salah satu senopati yang memimpin sepasukan laskar Diponegoro. Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, semua laskar Diponegoro melarikan diri dan menyebar ke seluruh penjuru Jawa. Termasuk ke Pekalongan.
Satuan laskar itu kemudian ada yang memilih melarikan diri ke Desa Wuled. Kala itu masih berupa hutan dengan jumlah penduduk yang masih sangat sedikit. Lalu, oleh Ki Wanenpati, kawasan hutan ini dibangun sebagai padepokan. Setidaknya, sebagai tempat huni bagi satuan laskarnya.
Upaya Ki Wanenpati membangun padepokan ini tentunya membutuhkan sarana prasarana pendukung. Tidak sekadar membangun pondok-pondok atau gubuk-gubuk. Salah satu yang sangat dibutuhkan adalah ketersediaan air.
BACA JUGA: Seni di Mata Pakdhe Joko Heru
Maka, bersamaan dengan pembangunan padepokan ini, Ki Wanenpati juga mulai membangun saluran air, berupa sungai kecil yang membelah Desa Wuled. Saluran air ini tak sekadar untuk kebutuhan sehari-hari laskarnya yang siap menghuni padepokan. Akan tetapi, juga akan dimanfaatkan sebagai penyediaan air bagi lahan pertanian dan perkebunan yang mereka kelola.
Sebagai pelarian, Ki Wanenpati sadar betul, terlalu berisiko jika semua kebutuhan sehari-hari mereka bergantung pada daerah-daerah lain. Dengan menggantungkan kebutuhan pokok kepada daerah-daerah lain, termasuk desa-desa sekitar, akan mudah bagi tentara Hindia Belanda mencium keberadaan mereka.
Untuk alasan itu, Ki Wanenpati mewajibkan kepada seluruh laskar agar menjadi pribadi yang mandiri. Mampu mengelola lahan pertanian dan perkebunan yang ada. Serta memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Kalaupun ada kelebihan dari hasil pertanian dan perkebunan mereka, tidak lantas digunakan sepenuhnya untuk diperdagangkan. Yang diperdagangkan, hanya sebagian. Sebagian lagi, disumbangkan kepada warga desa sekitar. Tujuannya, agar warga desa sekitar berkenan menolong mereka, menyembunyikan mereka dari kejaran tentara Hindia Belanda dan kroni-kroninya.
BACA JUGA: Satu Negeri Banyak Ratu
Pada saat membangun saluran air itu, rupanya ada salah satu batang pohon yang menghalangi. Oleh Ki Wanenpati, pohon itu ditebang dan disingkirkan. Namun, setelah berkali-kali ditebang, pohon itu tak juga menunjukkan tanda menyerah. Satu pun bagian tubuh pohon itu tak menampakkan luka bekas bacokan.
Sebagaimana orang Jawa dulu, Ki Wanenpati berpikir, mungkin saja kegagalan usahanya menyingkirkan pohon itu karena ia belum meminta izin kepada semua mahkluk yang menghuni hutan. Tanah, air, tumbuhan, batu, dan sebagainya. Sehingga, sikap pohon itu menentang usaha Ki Wanenpati di dalam membangun padepokan.
Ki Wanenpati lantas mengambil langkah untuk bernegosiasi dengan pohon tersebut. Ia meminta izin kepada pohon tersebut agar merelakan dirinya ditumbangkan demi kebutuhan padepokan. Namun, negosiasi itu gagal mencapai kesepakatan. Sikap pohon tersebut masih kukuh dengan pendiriannya. Ia tidak mau ditebang apalagi disingkirkan dari tempatnya tumbuh.
Tak kehilangan akal, Ki Wanenpati kemudian membelokkan saluran air yang dibangun bersama laskarnya. Langkah ini ia lakukan untuk menghormati kehidupan yang berlaku di desa yang ia bangun. Ia sadar, bahwa di dalam setiap usaha manusia membangun apapun itu, mestinya tidak mengganggu ekosistem yang berlaku.
BACA JUGA: Kegelisahan Pak Hadi Pranggono dalam Sebuah Puisi
Sebaliknya, hubungan manusia dengan alam mestinya dijalankan secara selaras dan seimbang. Manusia, tidak boleh tamak dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia, tidak boleh egois, hanya mempertimbangkan kebutuhannya tanpa memperhitungkan kebutuhan makhluk-makhluk lainnya yang memiliki hak yang sama sebagai ciptaan Tuhan.
Dalam kesadaran itu, ia kemudian menemukan sebuah pemahaman baru tentang kehidupan. Bahwa keuletan manusia di dalam berusaha, ada keuletan yang juga mesti dihormati dan dihargai. Yaitu, keuletan alam di dalam memelihara dan menjaga dirinya sebaik-baik mungkin guna menjaga keselamatan manusia pula. Sejak itu pula, ia kemudian menamai desa yang dibangunnya itu dengan nama Wuled.
Kisah itu dituturkan Pak Kades Wasduki Jazuli dengan cukup apik. Membuat saya tak jadi mengantuk dan menyimaknya dengan saksama. Terlebih, ketika Pak Kades menyebutkan, jika kisah itulah yang selanjutnya menjadi pelecut semangat Pak Kades membangun pendapa. Ia ingin memberikan penghormatan sekaligus penghargaan kepada tokoh cikal bakal desa. Selain itu, pendapa tersebut nantinya juga akan menjadi bagian dari upaya desa mengungkit ekonomi warga dengan semangat kemandirian yang diletakkan oleh Ki Wanenpati sebagai dasar awal pembangunan desanya.
BACA JUGA: Ketika Mas Dudung Bertutur tentang Proses Kreatifnya
Pidato Pak Kades pun mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari warga dan para tamu. Termasuk, Pak Antono (Bupati Pekalongan periode 2011-2016) yang turut serta memberi sambutan. Sayang, saat Pak Kades menyampaikan pidato, Bupati Pekalongan belum nampak hadir. Sehingga, kisah inspiratif tadi tak sempat disimak beliau.
Selepas acara, saya sengaja menemui Pak Kades secara pribadi. Saya sampaikan, pidato Pak Kades cukup membuat saya terkagum. Paling tidak, Pak Kades berhasil menyampaikan pesan dari kisah Ki Wanenpati kepada seluruh hadirin. Itu jauh lebih dari cukup dan penting untuk dijadikan ingatan kolektif warga. Supaya warga tidak hanya menjadi tahu, melainkan pula dapat menjalankan amanat dari pendiri Desa Wuled. Selamat, Pak Wasduki.