KOTOMONO.CO – Masih Relevankah Presidential Threshold di Pemilu 2024?
Presiden pada umumnya diartikan sebagai pemimpin pada suatu negara yang berbentuk Republik. Berlandaskan ketentuan di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menjabarkan tentang Indonesia merupakan Negara Kesatuan berbentuk Republik.
Menurut Georg Jellineck menggolongkan sebuah pemerintahan yaitu bahwa apabila kehendak negara menjelma dari kehendak rakyat, maka dengan begitu dapet dikategorikan sebagai pemerintah rakyat. Dengan sebagai negara republik maka kekuasaaan di pemerintahan Indonesia diatur oleh seorang Presiden yang berdasakan pada UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) Presiden Indonesia menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Fuqoha, 2017).
Pemilihan Presiden di Indonesia pada umumnya dilakukan secara 5 tahun sekali. Pemilihan Presiden ini berlaku pada sejak tahun 2004, Pemilihan ini menggunakan model baru, karena pada tahun sebelumnya pemilihan berdasarkan ketetapan MPR atau dipilih oleh MPR. Namun, Pemilihan Presiden mulai dari tahun 2004 menjadi pemilihan berdasarkan hasil pemungutan suara atau pemilihan umum.
Pemilihan umum yaitu menggunakan model bahwa rakyat langsung bebas dapat memilih calon pemimpinnya. Sejak pemilihan Presiden dilakukan dengan langsung, timbul persoalan ambang batas dengan syarat yaitu mengajukan calon presiden dan wakil presiden dengan mengemukakan tiap kali Pilpres akan diselenggarakan.
BACA JUGA: Antara Cak Nur, Islam, dan Modernitas
Pada tahun 2004, terjadi ambang batas dengan pencalonan presiden sebanyak 10 persen. Dan secara tidak langsung angka tersebut mengalami kenaikan menjadi 20 persen di tahun 2009, dan berlanjut hingga saat ini (Ghoffar, 2018).
Presidential threshold merupakan rancangan tingkat ambang batas yang didukung oleh DPR, baik dari bentuk jumlah perolehan suara (ballot) maupun jumlah perolehan kursi (seaf) yang harus diperoleh oleh partai politik dalam peserta pemilu untuk bisa mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut maupun dengan gabungan partai politik.
Presidential threshold yaitu ketentuan tambahan yang digunakan untuk meregulasi tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) yang menjelaskan tentang “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik maupun gabungan partai politik dalam menjadi peserta pemilu sebelum diberlakukannya pemilu”(Ansori, 2019).
Memasuki masa pemilu yang sebentar lagi akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024. Membuat banyak partai politik bekerja ekstra untuk menyiapkan kandidat calon-calon yang akan diusung. Persiapan para partai tersebut dilakukan juga dengan mulai mengajak partai lain untuk berkoalisi karena untuk memnuhi ambang batas pencalonan atau yang sering disebut Presiden thereshold.
BACA JUGA: Belajar Mendidik Anak dari Ayah Bung Karno
Pada Pemilu 2024 bahwasanya hanya ada satu partai yang lolos dalam presiden thereshold dan tidak perlu untuk melakukan koalisi yaitu Partai PDIP karena di tahun 2019-2024 partai ini memenangkan pemilu dan mendapatkan 128 kursi DPR. Hal tersebut menguntungkan partai tersebut karena dapat mengusung calon dari anggotanya sendiri tanpa adanya ikatan dengan partai lain. Tentunya, dengan hal tersebut bisa menyebabkan adanya kecemburuan dari partai lain.
Di kalangan masyarakat yang setuju dengan pemberlakuan sistem ambang batas karena menurut mereka dengan diadakan pencalonan ambang batas (presidential threshold) tersebut untuk menciptakan suatu sistem Presidensial yang lebih kuat. Dengan adanya dukungan tersebut di Parlemen melalui ambang batas memudahkan para calon terpilih untuk melakukan program kerjanya di kemudian hari. Pihak yang setuju diberlakukan ambang batas yaitu Alm Tjahjo Kumolo yang kala itu mejabat sebagai menteri dalam negeri.
Menurut Tjahjo, dengan adanya ambang batas itu Pemilihan Presiden bisa dinilai memperkuat partai. Dengan begitu Presiden dan Wakil yang terpilih memiliki kekuatan yang terutama terjadi di dalam Parlemen, sehingga dengan presidential threshold menjadikan sistem pemerintahan Presidensial lebih kuat. Namun, terdapat juga pejabat partai tidak setuju dengan ambang batas tersebut.
Pejabat partai politik yang tidak setuju dengan ambang batas tersebut menggugat tentang presidensial thereshold dengan mengajukan gugatan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, upaya tersebut gagal karena mahkamah konstitusi menolak gugatan tersebut.
Gugatan yang ditolak MK yaitu tentang Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Penggugat tersebut yaitu antara lain Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo hingga wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fery Joko. Gugatan tersebut ditolak oleh MK karena dianggap tidak memiliki legal standing.
BACA JUGA: Sekelumit Tentang Potret Dinasti Politik di Indonesia
Ada juga enam partai politik nonparlemen yang berkoalisi untuk mengajukan gugatan tersebut yaitu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan Partai Bulan Bintang (PBB) (Rachman, 2022) dalam berita TEMPO.
Tentunya dengan diberlakukannya presidensial threshold maka memiliki dampak yang positif maupun negatif. Jika ditinjau dari segi positif tentu hal ini akan memudahkan menyaring calon Presiden dan Wakil Presiden di dalam pemilu. Sedangkan untuk segi negatif memberikan efek tentang hak mencalonkan diri pada pemilu karena sulit untuk harus memenuhi ambang batas yang telah ditentukan.
Dengan demikian, maka sudah seharusnya partai politik merekrut calon yang diusungkan dengan lebih berfokus kepada pemimpin yang berkompeten, berkredibilitas, dan memiliki visi misi untuk terciptanya kesejahteraan masyarakat di Indonesia ke depan.