KOTOMONO.CO – Sebuah perjalanan selalu menghadiahkan sebuah pertemuan berkesan dengan manusia-manusia baik di luar sana. Salah satu yang mungkin tidak akan saya lupakan adalah bertemu sepasang kakek-nenek di Jalan Serenaru. Mereka menjadi salah satu variabel yang membuat perjalanan sepuluh hari di Labuan Bajo menjadi tak terlupakan.
Kami pertama kali bertemu hanya sekilas saja, saat saya diantar oleh seorang teman untuk menitipkan beberapa tas milik saya dan seorang lagi sebelum bertolak ke Desa Wae Rebo selama dua hari. Kami memutuskan untuk menitipkan beberapa barang dan hanya membawa barang seadanya untuk mengurangi beban selama trekking sejauh 5 km menuju Desa Wae Rebo nanti.
Selain menitipkan barang, saya tidak menyangka pertemuan pagi kurang lima menit itu akan mengantarkan pada pertemuan-pertemuan lain dengan banyak cerita setelahnya.
Dua hari setelahnya, tepatnya sepulang dari Wae Rebo, kami singgah sebentar di rumah Oma Maria sekadar berberes-beres dan melepaskan penat. Oma menyambut kami dengan ramah. Sialnya, saya sempat terjatuh karena hilang keseimbangan di depan rumah oma –yang menjadi bulan-bulanan kawan perjalananku, Kak Riyadi selama beberapa waktu.
Oma tinggal di rumah sederhana dengan kesan nyaman, seperti rumah nenek di kampung. Begitu sampai, saya yang pertama mandi dan mencuci beberapa pakaian kotor sementara teman-teman lainnya bercerita bersama sepasang suami istri itu sambil melepas lelah di ruang tengah.
Sudah lama sejak terakhir kali saya mendengar seseorang bercerita dengan begitu bersemangat. Opa Hendrik dan Oma Maria yang dahulunya merupakan pelaku ecotourism menceritakan banyak hal perihal kegiatan pengembangan masyarakat dan konservasi burung di kampung mereka, Sano Nggoang, Manggarai.
Bersama organisasi konservasi Burung Indonesia, Oma Maria dan Opa Hendrikus berkontribusi dalam pengembangan masyarakat selama beberapa tahun di daerah mereka.
BACA JUGA: Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia yang Multidimensi dan Idealis
Sore itu, Oma menunjukkan dua album dengan sampul yang sudah terkelupas. Bagian dalamnya juga sudah menguning, begitu pun foto-fotonya yang mulai memudar.

Oma Maria bercerita banyak pada setiap halaman albumnya. “Dulu, kami ada beberapa kegiatan pemberdayaan di kampung. Sering juga banyak peneliti burung yang datang. Semuanya diantar sama Bapak.”
“Oma sejak tahun berapa Kerjasama dengan LSM burung, Oma?”
“Sejak 2010 kami sudah Kerjasama dengan pihak LSM Burung. Beberapa kali juga kita adakan beragam kegiatan di desa, termasuk menyambut dan menyediakan tempat tinggal bagi peneliti atau wisatawan yang berkunjung.”
Lebih lanjut, Oma menceritakan beragam kegiatan yang ia lakukan selama periodenya sebagai ketua kelompok perempuan di desanya, seperti pelatihan bahasa inggris bagi warga dan perempuan di desa ini, kegiatan pembersihan sampah, hingga menjadi tuan rumah bagi beberapa acara selama kurun periode 2010-2014.
“Nah, kalau ini foto saya bersama bule yang sempat tinggal tiga bulan mengajar bahasa inggris di kampung kami,” jelasnya, menunjuk sebuah foto buram yang memperlihatkan Oma Maria dan seorang wanita kaukasian yang berfoto dengan saling merangkul akrab.
Berbeda dengan Oma Maria, sang suami, Opa Hendrikus juga berkontribusi sebagai seorang pemandu lokal di Danau Sanonggoang, Manggarai. Opa biasanya memandu para wisatawan, pemerhati, maupun peneliti burung yang tertarik dengan berbagai spesies burung endemik Sano nggoang. Meski tidak seterkenal Komodo, tetapi ragam spesies burung yang ada di sini, termasuk gagak flores dan flores monarch asli menarik minat wisatawan.
BACA JUGA: Peneroka Musik Kasidah Modern Pertama di Indonesia Ternyata Orang Pekalongan
“Kadang saat membawa tamu, kami bisa tinggal di hutan berhari-hari untuk sekedar mengamati burung. Karena aktivitas ini butuh keterampilan sendiri, saya sering memberikan arahan sebelum masuk ke hutan, seperti tidak bergerak secara tiba-tiba, tidak menggunakan pakaian terang, dan banyak lainnya.”

Sore itu, Opa Hendrikus bercerita dengan penuh antusias, termasuk memberikan kami teropong hitam yang cukup berat untuk dicoba.
“Lalu sekarang sudah tidak di desa kah, Opa, Oma?”
“Ya begitulah Nak. Sejak pandemi, kami memutuskan pindah ke Labuan Bajo. Apalagi anak kami melahirkan dan butuh bantuan merawat cucu kami. Sekarang ya begini saja. Kadang kalua ada yang butuh tukang urut, atau tanaman-tanaman herbal, saya carikan.”
Semenjak pandemi covid-19, Opa dan Oma meninggalkan kampung mereka dan menetap di Labuan Bajo. Berbekal pengetahuan Opa tentang tanaman herbal, Opa sering menyediakan aneka herbal bagi pelanggannya. Namun Opa juga masih tetap membuka jasa pemandu lokal, terutama bagi orang-orang yang hendak menyaksikan langsung beragam spesies burung endemik di Danau Sanonggoang.
BACA JUGA: Maestro Tari Bali Ni Ketut Arini, Sang Penjaga Tradisi Bali
Di suatu siang saat Opa sedang keluar dan saya akrab berbincang dengan Oma, saya tertohok dengan perkataannya yang begitu dalam.
“Oma kenapa baik sekali sama kami yang pendatang ini Oma? Apalagi kami tidak bisa kasih apa-apa.”
Oma menggeleng. “Tidak, anak. Saya dan Opa selalu percaya kalau kedatangan kalian itu bukan kebetulan, melainkan sudah rencana Tuhan. Disini kami layani dengan sebaik-baiknya juga sebagai bentuk pelayanan kami ke Tuhan”.
Sungguh pertemuan singkat yang menciptakan banyak kenangan dan cerita. Sampai jumpa kembali Oma Maria dan Opa Hendrik.