KOTOMONO.CO – Kayaknya sih gitu. Kayaknya lho iku juga mung jarene~
Keriuhan berebut susu beruang sempat sampai di percakapan sehari-hari. Lantas kenapa masyarakat kita mudah menerima informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya?
Jauh sebelum Pandemi Corona, saya sudah sering memperoleh informasi untuk segera membeli dan meminum susu beruang tatkala sakit tiba. Tentu saja, informasi ini dibagikan orang-orang yang peduli dengan orang disekitarnya demi kesehatan saya juga. Meski, saya juga mempercayainya supaya orang yang merekomendasikan ini segera berhenti dengan omelan bawelnya.
Jika mau disadari betul, rasa susu beruang ini sebagaimana lumrahnya susu murni. Ya, tentu saja bisa dibilang kesegaran yang dirasakan. Tak ada rasa dan tak berbau. Ini serupa air mineral lumrahnya ya? Memang begitu, kemurnian yang sesungguhnya.
Orang yang juga menyadari jika pembelian susu beruang menguras kantong, tentu segera beralih ke minuman susu kemasan yang memiliki muatan lebih banyak. Tentu saja, setelah mempelajari ‘cara emak-emak’. Yakni membandingkan harga, kuantitas isi, beserta kandungannya. Ada loh minuman susu murni yang berisi satu liter misalnya. Cukup untuk sekitar 5x minum per gelas. Harganya pun sekitar 2x harga susu beruang. Tentu berhemat banyak dong jadinya.
Bayangkan kemurnian susunya sama dan kuantitasnya lebih banyak. Meski begitu memang mengandung resiko. Jika susu beruang, bisa sekali minum dan selesai. Susu kemasan satu liter ini, rawan basi akibat lupa dituang lantas diminum selama beberapa hari. Karena daya tahan setelah dibuka katup tutupnya hanya sekitar tiga hari saja.
Tidak Ampuh
Keriuhan itu sampai pula ditelinga seorang penyintas Covid-19 bernama Mega Amalanda. Seperti dicatat laman tribunnews dan grid.id, Mega sempat menghabiskan susu beruang 3x sehari disertai Vit C 1000mg di setiap harinya, namun tetap saja terpapar virus corona.
Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang terbawa isu dan terprovokasi dengan aksi panic buying sia-sia saja. Mereka tidak menyadari, sedang tersandera oleh overclaim yang diberikan produk tertentu atau harapan semu dengan meminum satu jenis produk sudah menyelesaikan masalah kesehatan.
BACA JUGA: Tips Jaga Kesehatan Tubuh dan Mental Saat Pandemi
Hal ini mengingatkan, tentang kesehatan atau kesembuhan tak datang dengan satu bagian saja. Sepertinya, kita perlu menengok beberapa aspek, diantaranya asupan konsumsi, pola gerak badan, bersih diri disertai mengondisikan mental.
Jawa dan Proses Pemulihan Diri
Dalam masyarakat Jawa, konsumsi jamu misalnya diminum dalam kurun waktu 2-3 hari sekali sebelum makan. Hal itu dikatakan Inggrid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI). Bahkan jika mampu setiap hari meminum jamu, diperbolehkan.
Saya sendiri menyadari minum jamu biasanya jika sehabis bepergian dari luar kota atau cukup lama berkeliling beberapa lokasi dalam sehari itu. Menjelang pulang, saya sempatkan untuk mampir ke warung jamu. Pilihan paling mudah, tentu saja STMJ (Susu Telur Madu Jahe) yang dirasa komplit kandungan dan manfaatnya. Dalam benak saya, ini mencegah jatuh sakit atau paling sederhana badan pegal yang memicu lemahnya sistem imun dalam tubuh. Mudahnya, ben ora ngreges.
Upaya membersihkan diri, sekira puluhan tahun lalu sudah dilakukan masyarakat jawa. Ibu saya bercerita sewaktu kecil mengenai banyaknya gentong yang diletakkan di depan rumah. Buku Istilah Peralatan Hidup Tradisional Masyarakat Jawa di Daerah Temanggung (2007) yang diterbitkan Balai Bahasa Jawa Tengah memasukkan istilah Padasan. Lantas mencatat Padasan biasanya diletakkan di luar rumah dan di dekat sumur, terkadang malah ditempelkan di bibir sumur.
Padasan selalu diletakkan di pinggir sumur agar mudah mengisinya. Karena tempatnya yang sebesar gentong kecil, Padasan tidak bisa menampung banyak air. Kira-kira hanya cukup dipakai untuk wudu maksimal tiga orang airnya sudah habis. Oleh karena itu, Padasan harus sering diisi.
BACA JUGA: Ati-ati, Gabutisme Pandemi Covid 19 Mulai Mewabah
Ahmad Hambali, seorang kawan yang seringkali saya ajak berdiskusi juga menambahkan gentong air itu biasanya terbagi dua tipe, tipe pertama, untuk membasuh tangan dan kaki. Sedangkan, tipe kedua, untuk dapat digunakan menghilangkan dahaga dengan meminum air dari gentong tersebut. Bahkan gentong tersebut disediakan memang untuk orang yang melalui depan rumah si empu gentong. Sehingga, tanpa kulo nuwun atau meminta ijin sudah diperbolehkan, siapapun orang yang akan menggunakan gentong itu.
Tersebutlah, upaya ini dapat disebut sebagai sedekah dengan membantu sesama manusia membersihkan diri, syukur-syukur dapat menyucikan diri. Tanpa memandang, apakah pria atau wanita, apakah kaum pribumi, orang pendatang, kaum cina, kaum arab dan sebagainya. Betapa kelapangan hati orang-orang Jawa terdahulu. Sementara kini, demi alasan kepraktisan telah berganti berupa keran air yang tidak memerlukan orang untuk mengisi ulang gentong tersebut.
Bagi orang Jawa yang beragama Islam, seperti dikutip dari Semedi dalam Kebudayaan Jawa (2008) penelitian yang dilakukan oleh Diah Pitaloka, semedi dilakukan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Dengan pengaruh dari kebudayaan Jawa yang masih melekat dan pemahaman tentang Islam sesuai dengan keyakinannya. Yaitu Islam yang masih memelihara antara tradisi kebudayaan yang dipadukan dengan pengamalan syariat-syariat agama, serta ilmu kebatinan (olah jiwa).
BACA JUGA: Dear Calon Pengguna Shopee Paylater, Cermati Hal-hal Ini Agar Tagihanmu Nggak Membisul
Dalam ilmu kebatinan, Niels Mudler dalam buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1980) menyebutkan tapa atau semedi sendiri bertujuan untuk membersihkan diri. Sementara itu Franz Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (2003) menyebutkan tapa yang dilakukan orang Jawa bukanlah suatu tujuan pada dirinya sendiri melainkan maksudnya ialah untuk menguasai tubuhnya sendiri, untuk mengatur serta membudayakan dorongan-dorongan (nafsu-nafsu) dan bukan untuk meniadakannya.
Dalam prakteknya, seperti dicatat Niel Mulder, semedi merupakan bagian dari empat tahap bagi seorang ahli kebatinan untuk membawanya sampai kepada “Hakekat Tertinggi”. Tahap mistik yang paling rendah adalah menghormati dan hidup sesuai hukum-hukum agama, tahap kedua sering disebut tahap tarekat dimana kesadaran tentang hakekat tingkah laku tahap pertama harus diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Seperti contoh pepatah kaum abangan yang berbunyi, “Tuhan tidak dijumpai di Mekah melainkan dalam batin sendiri”. Tahap ketiga, hakekat, adalah tahap menghadap kebenaran. Tahap terakhir dan tertinggi ialah makrifat, dalam tahap ini jiwa seseorang terpadu dengan jiwa semesta.
Ada peristiwa di tahun 2002 yang tidak dapat dijelaskan secara medis dialami Caknun. Dengan wajah pucat pasi, dikisahkan dalam buku Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib (2019) ditulis oleh dr. Ade Hashman, Caknun kehilangan 26 kg dengan menyisakan bobot 46 kg. Saat diperiksa dr. Bambang Supriyadi, Sp.Rad(K) dari RSUP dr. Sardjito melalui pemeriksaan diagnostik dengan radioaktif (Pc99) mengatakan, menemukan adanya unsur logam (dicurigai semacam zat uranium) pada kelenjar tiroid Emha sehingga menyebabkan intoksikasi pada organ tersebut. (hlm. 37)
Seperti diungkapkan dr. Ade, saat ilmu medis sudah angkat tangan, dan tidak ada lagi ikhtiar yang mampu dilakukan, tepat pada momen itulah kita harus menyerahkan seluruh sepenuhnya kepada Allah. Berpakaian rapi dengan peci berwarna merah-putih khas Maiyah, Cak Nun kemudian menjalani tarekatnya sendiri. Ia duduk bersila di bawah pancuran air di kamar mandi. “Merapal doa, berzikir, dan menjalin kemesraan dengan Allah” (hlm. 40).
Usai melakukan tarekat itu Cak Nun sembuh total. Badannya kembali pulih. Ia beraktivitas seperti biasa, menemani rakyat kecil di acara Maiyah, baik di dusun maupun kota. Bagi dr. Ade, pengobatan paling besar adalah sebuah proses, termasuk dalam konteks komunikasi. “Saya percaya bahwa proses penyembuhan bukan hanya melibatkan peristiwa fisik, melainkan jauh lebih kompleks dari itu. Manusia tak sekadar otot, tulang, dan darah. Penyembuhan melibatkan unsur mental, bahkan bertautan dengan hal-hal spiritual. Sejatinya, penyembuhan merupakan ‘peristiwa langit’. Obat bukan faktor utama kesembuhan. Obat adalah wasilah yang logis dalam upaya penggalian ijtihad terhadap sunatullah untuk menuju proses penyembuhan” (hlm. 43).
BACA JUGA: Ternyata, Sel-sel Kekebalan Tubuh Bisa Dilatih dan Diprogram agar Bisa Lebih Agresif Melawan Infeksi
Berkeinginan sehat, mempunyai harapan sembuh memang doa yang banyak melangit selama kurun waktu belakangan ini. Namun, menisbikan Sang Maha Pemilik Alam Semesta beserta sesama manusia sampai-sampai kita kalap untuk melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri sendiri. Sementara orang lain mungkin membutuhkan, barang yang sengaja kita beli banyak lalu ditimbun, baik itu berupa masker seperti pada tahun lalu, atau pada saat ini seperti beragam jenis susu dan obat yang beberapa diantaranya misalkan memerlukan resep dokter.
Sejak semula saya menulis ini dengan berulangkali memasukkan diksi ‘menyadari’ dan ‘kesadaran’ berujung pada meditasi atau berdiam diri di tempat yang kita kira nyaman, berasal dari prinsip dasar meditasi yang dicatat DR. dr. Bondan A. Suryanto, MA. yaitu, rileks (ketenangan), konsentrasi (fokus), dan imajinasi (inovasi, kreativitas, pencitraan, pembayangan) untuk menjadi gantungan asa.
Masyarakat kita kerap kali latah mengikuti ungkapan yang dikemukakan orang lain di tempat biasa manusia berkerumun, seperti Poskamling di malam, Dagangan Sayuran di pagi, dan kini selalu ada di genggaman dengan jejaring grup Whatsapp bersama tetangga. Ini pun masih belum jauh dari budaya Jawa: Getok Tular alias ‘jarene’. Ya kalo bener, eh ternyata gengsi saja. Khawatir malu karena nggak bisa mengikuti tren yang sedang berkembang. Kayaknya sih gitu. Kayaknya lho iku juga aku mung krungu jarene~.