Aku emang suka ngomong kasar gini, kalau nggak suka ya udah!
Aku sih nggak munafik ya, emang julid gini orangnya, yang penting jadi diri sendiri!
Nggak usah munafik deh! Kalau suka ghibah, ya ghibah aja!
KOTOMONO.CO – Sekilas, ungkapan-ungkapan itu menunjukkan sikap jujur. Ya nggak sih? Tapi, kalau dicermati lagi, ungkapan-ungkapan itu bisa saja diidentifikasi sebagai pembenaran. Seseorang yang mengatakan demikian boleh jadi sedang ingin mendapatkan persetujuan dari orang lain atas perilakunya yang kurang baik itu. Atau, sekurang-kurangnya mendapatkan pemakluman dari lawan bicara.
Tujuannya, agar perilaku tersebut dapat diterima lawan bicara. Dengan demikian, si pengucap dapat dengan leluasa mempertahankan kebiasaan buruk itu di hadapan lawan bicara. Atau minimal perilaku itu tidak dipermasalahkan. Selain itu, boleh jadi pengucapan kalimat-kalimat itu sebenarnya semacam usaha agar si pengucap mendapatkan pengakuan.
Dalih “menjadi diri sendiri” tak jarang digunakan. Setidaknya, untuk meneguhkan seolah-olah pernyataan “jujur” itu memberi kesan, bahwa apa yang dilakukannya itu tidak keliru. Lebih-lebih si pengucap menunjukkannya dengan sikap yang berani.
Tapi, apa sih sebenarnya “menjadi diri sendiri” itu? Apa ya begitu itu?
Menjadi diri sendiri tentu dimulai dari mengenali diri sendiri. Artinya, mengetahui apa dan siapa diri kita sesungguhnya. Nggak cukup dengan mengerti siapa nama kita, di mana tempat dan tanggal lahir kita, warna kesukaan, makanan kesukaan atau hobi.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Mengenali diri sendiri berarti boleh dimulai dari mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada di diri kita. Dengan kelebihan itu, kita boleh jadi bisa melakukan banyak hal untuk diri sendiri maupun untuk orang-orang di sekitar. Begitu pula dengan kekurangan yang ada di diri kita. Kita bisa memanfaatkan kekurangan kita agar tidak menjadi penghalang kita dalam mencapai cita-cita, juga bagi orang di sekeliling kita.
Nggak cuman di situ, mengenali diri sendiri juga perlu usaha untuk memahami apa yang sebenarnya diri ini inginkan dan apa yang sebenarnya diri ini butuhkan. Hal ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang terjadi antara kita dengan diri kita sendiri. Kita harus mampu menumbuhkan kemampuan mendengar dan memahami apa yang dikatakan oleh diri sendiri demi kebaikan diri sendiri dan orang lain.
Nah, dari sinilah akhirnya kita tahu. Ternyata, agar bisa mengenali diri sendiri, kita juga butuh dukungan dari orang-orang di sekeliling kita. Nggak bisa dilakukan sendiri. Bahkan, kalau mau jujur, karakter yang ada pada diri kita bisa jadi bukan murni lahir dari diri kita. Akan tetapi, itu dibentuk oleh lingkungan.
Misal, saat ini kamu adalah orang yang pendiam. Padahal, dulu kamu periang. Nah, perubahan karakter ini bisa saja diakibatkan dari sikap orang-orang di sekeliling yang dulu merespon sikapmu itu. Orang-orang di sekelilingmu merasa kalau tingkah kamu itu over. Makanya, mereka tak jarang memberimu kritik.
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki pun Dirugikan oleh Patriarki
Lama-lama kamu sendiri nggak tahan dengan kritik itu. Lalu, kamu mulai mengubah sikap dan kebiasaanmu. Sejak saat itulah, sikapmu berubah menjadi pendiam.
Begitu pula sebaliknya, kamu yang sekarang orang yang keras, bisa jadi karena kamu merasa bahwa sikap lembutmu kerap dimanfaatkan orang lain. Kelembutanmu diinjak-injak orang lain. Dari pengalaman itu, kamu lantas mengubah sikap dan kebiasaan.
Perlu diketahui, di antara banyak orang, rupanya masih banyak yang selalu merasa rendah diri, minder, dan tidak mampu. Padahal, oleh orang lain, ia memiliki sesuatu yang istimewa. Seperti kita tahu, kepribadian setiap orang itu berbeda-beda dan unik serta layak dihargai.
Namun, kepribadian itu akan menjadi sesuatu yang unik dan berharga apabila dukungan dari lingkungan juga positif. Disadari atau tidak, keberadaan orang-orang di sekitar kita merupakan salah satu faktor yang cukup besar pengaruhnya bagi upaya membangun kepribadian kita. Oleh sebab itu, membangun kebiasaan yang baik dalam memberi penilaian pun sangat diperlukan.
Kritik boleh dan harus ada. Namun, kritik tidak berarti sebagai hinaan atau semacam cemoohan. Kritik mestinya diberikan sebagai upaya untuk saling memotivasi satu sama lain.
Jelas sudah, bahwa rupanya “menjadi diri sendiri” itu bukan berarti menolak kritik dan saran. Akan tetapi, ia juga mesti terbuka terhadap kritik dan saran orang lain. Utamanya, sebagai cara ia dalam menempatkan diri secara tepat.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Perilaku buruk, sudah sepatutnya bukan untuk dijadikan kebanggaan. Sebaliknya, perilaku yang buruk itu mulai dikikis dan dihindari. Sebab, “menjadi diri sendiri” itu bukan berarti harus bersikap cuwek terhadap orang lain. Akan tetapi, juga mesti memahami orang lain.
Di sinilah, kita perlu lebih bisa mengelola hati dan pikiran kita. Hidup berdampingan dengan orang lain menuntut kita untuk mampu mengendalikan dua hal tersebut agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain. Dewasa tidak menuntut kita untuk menjadi orang lain, lebih tepatnya pandai memilih dan memilah. Lagipula apa salahnya menutupi dan mengubur dalam-dalam sikap dan kebiasaan yang dapat menyakiti orang lain?
Menjadi diri sendiri adalah seni untuk bersikap baik dengan apa adanya serta berusaha mengendalikan sikap atau kebiasaan yang kurang baik agar tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Keep positive, bestie!